Tujuan utama anggaran negara—yakni
untuk kesejahteraan rakyat—belum sepenuhnya dihayati dan dilaksanakan
oleh para penyelenggara negara, khususnya para gubernur, bupati, dan
wali kota. Korupsi besar-besaran dan penyalahgunaan anggaran di daerah
harus dihentikan lewat sebuah sistem yang benar.
Langkah
pemerintah pusat untuk memangkas dana alokasi umum (DAU), seperti
tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2016 tentang
Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum (DAU) Tahun Anggaran
2022 dinilai tepat. Berdasarkan PMK 16 Agustus 2020 itu, pemerintah akan
memangkas DAU sebesar Rp 19,418 triliun untuk 169 daerah, terdiri atas
26 provinsi, 26 kota, dan 117 kabupaten.
Pemangkasan itu
diharapkan bukan saja untuk menghemat anggaran, melainkan untuk
memastikan bahwa anggaran negara benar-benar dibelanjakan untuk
kepentingan rakyat.
Demikian rangkuman pendapat pengamat keuangan
publik dari Pusat Telah dan Informasi Regional (Pattiro) Maya Rostanty,
pakar otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Syarif Hidayat, Manajer Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi, dan Direktur Eksekutif
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng
kepada SP di Jakarta, Selasa
Maya Rostanty
mengatakan, penundaan penyaluran sebagian DAU harus menjadi momentum
penghematan anggaran oleh pemerintah daerah (pemda). Pemda perlu
mengalokasikan anggaran secara tepat. “Bisa dikatakan selama ini
transfer daerah dari pusat itu setiap tahun selalu naik. Di sisi lain,
memang ada juga proses-proses di daerah yang masih perlu diperbaiki.
Misalnya, bagaimana mengalokasikan anggaran secara tepat, menentukan
prioritas yang kriterianya kepentingan masyarakat,” katanya.
Meski
begitu, kata Maya, komunikasi dari pemerintah pusat belum utuh terhadap
pemda yang DAU-nya ditunda. “Memang pusat kemudian mengatakan, dana di
daerah itu besar, sehingga sepertinya tidak masalah kalau DAU-nya
ditunda. Tetapi, kalau kita melihat respons kepala daerah, seperti ada
yang kurang pas dari kebijakan pusat,” ujamya.
Maya mengatakan,
memang seharusnya daerah memaklumi kondisi perekonomian yang saat ini
sedang sulit sehingga pemerintah memangkas anggaran, tidak hanya di
daerah, tetapi juga di pusat. Namun, ujarnya, jika kebijakan penundaan
DAU itu sudah diberi tahu dulu ke daerah, klarifikasi dulu, tentu daerah
akan lebih mudah untuk melakukan mitigasi.
Dikatakan, dalam
kondisi adanya penundaan pencairan, lazimnya pemda mengamankan belanja
pegawai. Sebab, bila gaji pegawai ikut tertunda, tidak menutup
kemungkinan terjadi gejolak di daerah.
Direktur Jenderal Bina
Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek mengatakan,
komponen DAU sebagian besar memang digunakan untuk belanja gaji dan
tunjangan. Meski ada penundaan, ujarnya, gaji pegawai harus tetap
dibayarkan. “Namanya gaji pasti harus dibayarkan. Itu prioritas, tidak
boleh tertunda,” katanya.
Donny membenarkan jika pemda akan
mengalami kendala pembayaran pekerjaan proyek-proyek. “Implikasi
penundaan ini, ruang fiskal sangat terbatas, karena banyak pekerjaan
yang sudah dilakukan, sudah berjalan. Bila setelah ditagih tidak ada
anggaran, jadi utang plus penalti,” katanya.
Menurutnya, langkah
terbaik bagi pemda saat ini adalah efisiensi. Pemda bisa melakukan
restrukturisasi belanja atau mengurangi belanja-belanja yang tidak
perlu, seperti perjalanan dinas, pembelian kendaraan yang tidak
produktif, dan pengetatan anggaran.
“Proyek-proyek yang sudah
berjalan, sudah lelang, dan sudah dilaksanakan, bisa saja
direstrukturisasi. Tetapi nanti itu menjadi kewajiban dan akhirnya pemda
tidak memiliki likuiditas baik, sehingga jadi kewajiban di tahun
berikutnya,” kata dia.
Langkah Tepat
Menurut Apung, penundaan pencairan DAU harus menjadi momentum bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tepat, sehingga program-program prioritas bagi rakyat bisa terwujud. “Selama ini, perencanaan anggaran di daerah biasanya hanya copy paste dari anggaran sebelumnya, ditambah politisasi untuk bagi-bagi proyek kepentingan. Sehingga, banyak program yang prioritas malah tidak tercapai. Penyerapan rendah dan sisa lebih anggaran menumpuk,” katanya.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mendorong pemerintah pusat untuk mengevaluasi dan mengarahkan pemerintah daerah agar melakukan efisiensi dalam penggunaan anggaran. Langkah itu penting agar penundaan pencairan DAU tidak mengganggu belanja prioritas daerah.
Pemerintah Pusat, kata dia, tidak hanya mengeluarkan kebijakan penundaan pencairana DAU, tetapi juga mengarahkan pemerintah daerah. “Mudah-mudahan kebijakan ini (penundaan pencairan DAU) tidak mengganggu belanja prioritas daerah. Karena itu, penting sekali bagi pemerintah pusat agar tidak hanya mengeluarkan kebijakan, tetapi juga mengevaluasi dan mengarahkan daerah agar kemudian pemda tidak terlalu jauh mengganggu belanja prioritas,” ujarnya.
Menurut Endi, ada tiga belanja prioritas daerah, yakni pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, baik inffastruktur di bidang pertanian, irigasi, jalan, dan energi. Jika efisiensi diserahkan kepada pemerintah daerah saja, ujarnya, besar kemungkinan belanja prioritas daerah terganggu.
Diakui, penundaan pencairan DAU menjadi pil pahit bagi daerah. Apalagi, penundaan terjadi pada saat musim puncak penyerapan anggaran di daerah. Pemerintah daerah, kata dia, pada semester 2, mulai Juli sampai pertengahan Desember, sedang giat melakukan penyerapan anggaran.
Dalam konteks ini, pemda mengalami kebingungan. Sebagian proyek sudah melewati tahapan pralelang, lelang, sudah ada yang tanda tangan kontrak, bahkan sudah ada yang jalan. Sementara, pemerintah pusat hanya mengatakan proyek tersebut dibayar separuhnya dan sisanya dibayar tahun depan.
Namun, menurut pakar otonomi daerah dari LIPI Syarif Hidayat, pemotongan DAU tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan di daerah. Dia menilai, Kementerian Keuangan telah melakukan pemotongan anggaran secara proporsional. Pemotongan anggaran daerah itu lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin di daerah, seperti kebutuhan rumah tangga, anggaran perjalanan dinas, dan rapat.
“Saya kira kalau daerah mampu memaksimalkan anggaran yang ada, tidak akan berpengaruh banyak terhadap belanja infrastruktur. Ini lebih kepada anggaran rutin, termasuk biaya perjalanan,” katanya. Pemda bisa melakukan penghematan terhadap belanja-belanja yang tidak terlalu mendesak sehingga penggunaan anggaran akan lebih tepat sasaran untuk kepentingan rakyat.
0 comments:
Post a Comment