Cuaca
ekstrem hujan lebat disertai kilat dan angin kencang terjadi di hampir seluruh
wilayah Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Fenomena tersebut telah memicu
bencana hidrometeorologi seperti banjir, angin kencang, dan tanah longsor.
Pekan
lalu, banjir dan tanah longsor melanda sejumlah tempat di Indonesia seperti di
Jakarta, Kalimantan, Bali dan Aceh. Bukan hanya menelan harta benda, banjir dan
tanah longsor tersebut juga merenggut korban jiwa. Bencana ini diperkirakan berlanjut
ke banyak daerah lain, karena cuaca ekstrem diprediksi baru akan mencapai
puncaknya pada Desember 2022 ini, hingga awal tahun 2023.
Bila
dicermati, bencana banjir yang tak pernah absen dari wilayah Indonesia bukan
hanya karena faktor alam. Faktor manusia
juga kian memperparah bencana ini.
Seperti
halnya banjir bandang di Lebak yang menerjang ratusan rumah warga dan fasilitas
umum pada tanggal 9 Oktober 2022 lalu. Peristiwa tersebut bukan hanya
disebabkan oleh cuaca ekstrem, namun justru dipicu kerusakan lingkungan hidup
yang semakin masif akibat tangan-tangan manusia. Hal ini seperti yang
diutarakan oleh anggota Badan Pengelola Geopark Bayah Dome dan Geologis
Sanggabuana Institute, Iqbal Assegaf dikutip dari banten.tribunnews.com
(12/10/2022) bahwa banjir yang menerjang lima kecamatan di Kabupaten Lebak
akibat dampak kerusakan lingkungan pada hulu sungai dan titik Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
Kerusakan pada titik KBAK membuat proses endokarst dan eksokarst-nya tidak berfungsi.
Ditambah lagi hilangnya beberapa wilayah Cagar Alam Geologi dan dijadikan
fungsi lain.
Intensitas
dan frekuensi banjir yang terus meningkat di hampir seluruh wilayah Aceh
akhir-akhir ini juga akibat ulah manusia. Hulu permasalahannya adalah kerusakan
hutan parah di Aceh akibat perambahan, alih fungsi hutan, perkebunan sawit dan illegal logging. Hal ini seperti yang
diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Aceh, dikutip dari laman
kompas.com (9/10/2022) bahwa kerusakan lingkungan dan kebijakan tata ruang
menjadi penyebab banjir setiap tahun di daerah Aceh.
Begitu
pula banjir yang melanda sejumlah daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur,
Kalimantan Tengah serta di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dinilai sebagai
akibat deforestasi dan pertambangan. Hutan-hutan di kawasan Kalimantan tersebut
sudah habis lantaran Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
Industri (IUPHHK-HTI) banyak diberikan kepada perusahaan. Akibat lahan konsesi
lebih banyak dibanding dengan hutan yang ada itu, resapan air pun turut
berkurang. Imbasnya, ketika musim hujan tiba, air yang turun tidak dapat
terserap.
Kawasan
wisata Kota Batu dan pemukiman masyarakat adat Suku Tengger di Kabupaten
Lumajang, Jawa Timur, juga tak luput dari banjir bandang akibat buruknya penataan
ruang baik karena alih fungsi lahan resapan untuk hotel, wisata buatan dan
peruntukan lain.
Pembangunan
proyek infrastruktur wisata dalam kawasan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru) yang mengabaikan etika lingkungan, tentunya tidak hanya berdampak erosi
ekologi, tapi juga mengakibatkan erosi kultural. Meski secara aturan proyek ini
tak menyalahi karena dibangun di zona pemanfaatan, namun proyek ini dinilai
melukai nilai-nilai kepercayaan masyarakat Tengger, karena kawasan tersebut
terdapat situs Kutugan yang dipercaya orang Tengger sebagai area yang sakral.
Kearifan Lokal yang Tergerus
Kerusakan
lingkungan hidup yang semakin masif menjadi fakta bahwa pemerintah masih gagap dan
gagal untuk menanggulanginya. Pembangunan ekonomi cenderung mengabaikan aspek
keseimbangan lingkungan. Pada level slogan dan jargon, pemerintah sepertinya
sangat peduli untuk menyelamatkan lingkungan. Namun pada level implementasi,
tidak ada program nyata untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Apalagi kerusakan
ini disempurnakan dengan penegakan hukum lemah dan kebijakan penataan ruang
yang salah. Sehingga ketika ada cuaca esktrem, daya dukung ekosistem kolaps dan
mengakibatkan bencana ekologis berulang.
Kearifan
lokal saat ini sesungguhnya sangat dibutuhkan untuk mendeteksi dini bencana
alam bahkan mencegahnya secara bersama. Kearifan lokal sejatinya warisan
leluhur yang mengajarkan arti penting menjaga alam. Namun kearifan lokal dari tahun ke tahun kian
terkikis, bahkan lambat laut akan hilang atau dihilangkan secara sistematis.
Kearifan lokal dalam kontribusi terhadap alam tidak pernah ditindaklanjuti
secara nyata oleh pemerintah, terlebih dalam menentukan kebijakan pembangunan
yang seharusnya bisa diambil menjadi sample
masa depan dalam menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana alam.
Masyarakat
adat Baduy di Kabupaten Lebak Provinsi Banten misalnya, mereka masih teguh
memegang kearifan lokal pikukuh karuhun
(tradisi leluhur). Kesejahteraan masyarakat dimaknai sebagai menjaga
kelestarian dan kesinambungan alam sebagaimana mestinya, sebagaimana awalnya
diciptakan. Salah satunya adalah dilarang memanfaatkan hutan titipan (leuweung titipan) untuk kepentingan
pribadi, seperti menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan
lainnya. Hutan titipan dianggap sebagai pusat bumi dan disucikan oleh Suku
Baduy. Oleh karena itu, hutan titipan harus dijaga, tidak boleh rusak. Seperti
ungkapan “Lojor henteu beunang dipotong,
pendek henteu beunang disambung” (panjang tidak boleh dipotong dan pendek
tidak boleh disambung). Filosofi masyarakat Baduy tersebut memiliki komitmen
yang kuat dan tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan
lindung.
Sejak
masa silam masyarakat adat Aceh juga sangat peduli terhadap penataan ruang dan
pengelolaan lingkungan. Mereka memiliki kearifan lokal dalam hal mengelola dan
menjaga hutan yang telah dipraktikkan turun temurun yang dikenal dengan Hukum
Adat Uteun (hutan). Hukum Adat Uteun (hutan) tersebut dipimpin oleh Petua Uteun atau Pawang Uteun (Panglima Hutan). Sejumlah tugas utama Panglima Uteun
adalah mengelola hutan adat (meuglee),
mengawasi dan menerapkan adat glee,
berwenang memungut wase glee (segala
hasil hutan seperti madu, rotan, damar, dan sebagainya), serta menjadi hakim
dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.
Masyarakat
adat Suku Tengger sejak berabad-abad lalu sangat dekat dengan alam. Mereka
tidak bisa dipisahkan dengan hutan, sumber mata air, sawah, dan satwa lainnya.
Karena itu, dalam aturan tidak tertulis dan sangat dihafal terutama oleh para
dukun adat dan digetuk tularkan ke masyarakat melalui mulut ke mulut, terdapat
larangan-larangan seperti tidak boleh menebang pohon sembarangan, terutama yang
berada di dekat sumber mata air. Bahkan, orang Tengger diharuskan menanam pohon
yang sama dua kali lipat jika terpaksa melakukan penebangan pohon.
Suku
Dayak juga memiliki kearifan lokal dalam menjaga alam. Suku Dayak menanamkan
dalam benak bahwa alam adalah tumpuan. Sehingga mereka sangat hati-hati dan
selektif dalam mengolah lahan dan hutan. Mereka membedakan lahan yang boleh
digunakan untuk pertanian atau keperluan sehari-hari. Selain lahan dan hutan
produksi, orang Dayak mempunyai daerah hutan terlarang yang disebut Tana Olen. Hutan adalah berkah bagi
orang Dayak.
Berdasarkan
uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa kearifan lokal sebagai warisan leluhur
telah mengajarkan masyarakat untuk hidup harmonis dan serasi sesama umat
manusia, Tuhan, dan alam sekitarnya. Maka sudah saatnya manusia Indonesia
kembali mengkaji atau memahami tuntunan-tuntunan hidup implisit yang terkandung
dalam kearifan lokal, serta menjadikan kearifan lokal sebagai pegangan dalam
melaksanakan pembangunan berkelanjutan, agar wilayah Indonesia tidak didera
aneka bencana di masa mendatang.
Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
1. Alumni Pascasarjana Universitas Sumatra Utara
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
0 comments:
Post a Comment