Televisi dinilai oleh masyarakat sebagai kotak ajaib yang mampu mempengaruhi sugesti dan alam pikiran masyarakat, hal itu dikarenakan bahwa sebuah televisi selain memberikan informasi secara aktual dan faktual, televisi juga menyajikan acara yang sifatnya menghibur. Televisi telah menjadi bagian dari suatu kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk yang paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat yang menjadi target audiensnya, untuk masuk dalam jebakan melalui iklan televisi hingga pada akhirnya nanti pemirsa rela merogoh kantongnya, hanya untuk mengikuti apa yang ditawarkan melalui rangkaian gambar fantastik yang telah dikonstruksi maknanya. Iklan televisi telah berkolusi dengan industri media televisi serta ideologi yang tertanam, banyak mencerminkan budaya dan faham kapitalisme dan komsumerisme pada setiap pesan yang terselip dalam produk citraanya, akan berdampak pada penciptaan “gaya hidup” di masyrakat yang cenderung konsumtif. Dampak yang ditimbulkan dari pengaruh iklan televisi yang terselip dalam tayangannya itu, merupakan cerminan budaya baru yang lagi ngetred hasil lansiran Global Kapitalism Ideology. Dan kenyataan ini merupakan keadaan yang kontradiktif terhadap budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keluhuran budi pekerti, sifat sabar dan norma kesantunan yang kita banggakan selama negeri ini didirikan. Hegemoni budaya kapitalis yang terlahir merupakan cerminan dari realitas kehidupan baru, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dengan tingginya intensitas itu, telah dikwatirkan banyak pihak akan melindas kebudayaan sebelumnya yang sudah tertanam dengan mapan dalam relung-relung kehidupan masyarakat. Guna mencegah dan meminimalisir dampak negatifnya, maka diperlukan suatu sikap yang arif dalam melihat, mencerna dan memahami hegemoni budaya asing ini dengan cermat, agar tidak terbius dari racun-racun iklan televisi yang tak luput dari penglihatan masyarakat sehari-hari.
Kata Kunci : Iklan, Televisi, Citra, Gaya Hidup, Ideologi, Hegemoni
Pendahuluan
Masih teringat dengan kata-kata Head Line dari sebuah iklan televisi
yang diucapkan seseorang aktor dalam selaan pogram acara dengan kata
”Pilih Phanter Pasti Bener”, ”Orang Pintar Pasti Minum Tolak Angin”, ”di
Lapangan Nike Adalah Raket keDua Para Juara”, ”Taklukkan tantangnganmu”
dan ”Yang Lain Jelas Ketinggalan” serta sederetan kata-kata imajiner
yang mengudang perhatian seseorang itu, telah terpampang jelas dalam
ilusi gerakan para aktor dari berbagai angle camera dan bidang, garis,
warna, ruang, tekstur serta komposisi dalam irama dinamisasinya animasi
teks media yang mengadung pesan terselubung dan terselip dalam kemasan
produk, telah terpancar dalam layar kaca serta dalam hitungan detik
tanpa disadari masuk dalam pikiran kita lewat lensa mata, ketika kita
sedang duduk di kursi sofa sambil makan lemper hasil dari kiriman
tetangga yang sedang mengadakan selamatan.
Penyajian iklan televisi yang informatif dan persuasif serta dikemas
secara menarik dengan menampilikan gambar yang spektakuler hasil
perekayasaan gambar dengan sentuhan teknologi audio visual yang
mevisualisasikan beragam cerita dibalik beraneka ragamnya kebutuhan
hidup, mulai dari kalangan bawah sampai kalangan teratas, telah
mengantar keinginan kita untuk memiliki dari produk yang ditawarkan
tersebut. Berbagai macam produk kebutuhan, mulai dari kebutuhan primer
demi kelangsungan hidup sehari-hari sampai dengan kebutuhan mewah demi
naiknya identitas diri di mata masyarakat, telah membayang-bayangi dan
mencuci otak kita, agar kita ikut larut di dalam buaian ceritanya dan
berakhir dengan tindakan untuk membeli dari produk yang setiap detik dan
menit itu, telah tertangkap oleh mata kita tatkala kita sedang
menikmati program acara televisi dengan santainya. Tiap hari dan tiap
menit mata kita disuguhi oleh ratusan illustrasi terselip dalam kemasan
produk yang diklankan lewat layar kaca dan tanpa sadar kita telah
terbius oleh rayuan, bujukan serta tipuan yang menggoda pikiran kita
untuk membelinya.
Iklan televisi sebagai salah satu bagain yang tak terpisahkan dari
rangkaian tayangan program acara televisi, di mana kemunculannya selalu
menghiasi dalam hitungan menit di sela-sela ketika kita sedang
menyaksikan Sinetron ”Si Markonah Penyambung Lidah Wanita”, di salah
satu sudut ruangan tamu di mana televisi bertengger di depan sofa.
Televisi telah menjadi bagian penting dari suatu kehidupan masyarakat
modern yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan,
juga sebagai suatu alat promosi produk paling ampuh dalam menggiring
pikiran masyarakat yang menjadi target audiensnya. Kita tanpa sadar
telah diperdaya oleh keberadaan iklan televisi untuk masuk dalam
jebakannya, melalui rangkaian gambar yang menarik hingga pada akhirnya
nanti kita terprovokasi olehnya dan rela merogoh kantong, hanya untuk
mengikuti tawaran melalui citraan gambar yang fantastik itu. Derasnya
intensitas Iklan televisi yang dilancarkan melalui media layar kaca itu,
telah sedikit banyak mempengaruhi para pemirsa untuk mengikuti jejak
dari illustarsi yang telah mengopsesi para pemirsa lewat citraan
produknya itu, demi mendapatkan tuntutan ”gaya hidup” yang notabene
bagian penting dari kehidupan masyarakat modern. Dewasa ini fenomena
gaya hidup masyarakat modern dengan keragaman kompleksitas problema yang
ada, telah terserap oleh sebagian besar masyarakat, hal ini dapat
terjadi tidak lain dan tidak bukan dari pengaruh tayangan televisi yang
dilihatnya. Gejala ini dalam perkembangannya, begitu pesat masuk dalam
relung-relung kehidupan dari semua lapisan masyarakat, keberadaannya
tumbuh subur di masyarakat perkotaan bahkan hingga kini telah
mengepedemi sampai tingkat pedesaan, menyerang siapa saja yang menjadi
targetnya, tak peduli anak-anak, kaum remaja bahkan orang tuapun
terseret dan telah menjadi mangsa dari proses modernisasi gaya hidup.
Derasnya durasi penayangan iklan televisi dari berbagai macam merek
produk, ditengah selipan acara-acara di televisi yang kita tonton setiap
hari, telah berdampak pada meningkatnya gaya hidup masyarakat dan
bercermin pada citraan iklan televisi. Segala macam apa yang dicitrakan
oleh beragam produk konsumtif lewat iklan televisi, akan ditiru oleh
masyarakat dan dianggap sebagai alat untuk peningkatan kualitas
identitas diri, dalam kehidupan masyarakat modern yang semakin lama
cenderung menuju ke arah kehidupan glamour dalam masyarakat kapitalis
dan hanyalah melahirkan manusia-manusia konsumtif dan hedonis. Lihat
saja cerminan realitas kehidupan remaja dewasa ini, seringnya di
kalangan remaja, gonta ganti assesoris mulai dari kemasan handphone,
gelang, kalung, cincin ,minuman kaleng, tas, sepatu sampai pakaian ala
artis idolanya serta rambut dengan warna warni bagaikan toko cat mowilex
berjalan, setiap saat berseliweran di tengah kehidupan kita.
Penggambaran tentang penganalogian dampak yang ditimbulkan oleh iklan
televisi tidak berhenti di situ saja, para anak-anak sekolah dasarpun
ikut bergaya memakai Handphone yang tergolong mahal harganya. Fenomena
ini akan mengejutkan lagi ketika sikap para orang tua merasa gatal
terbius oleh kegombalan iklan televisi dan ikut-ikutan mempercantik
dirinya, ia tak mau kalah dengan anak gadisnya dengan memotong rambutnya
gaya seorang artis idolanya menjadi bergelombang bagai rangkaian
serutan kayu jati yang melambai-lambai tertiup angin mamiri. Begitu
dasyatnya pengaruh iklan televisi terhadap pencitraan gaya hidup
seseorang, hingga sampai-sampai orang mau mengeluarkan segala macam
kemampuan, meskipun dalam perjanannya diwarnai dengan susah payah untuk
meraihnya, demi untuk mengikuti trend gaya hidup yang sudah menjadi
bagian penting dalam masyarakat modern. Kenyataannya terkadang apa yang
telah mereka keluarkan dengan susah payah, tidak sebanding dengan apa
yang mereka dapatkan… alias gagal total…emang enak dipermainkan oleh
gaya hidup hasil lansiran oleh kaum kapitalisme itu…hheeeiii…!!!
Pengaruh Iklan Televisi bisa membentuk gaya hidup masyarakat modern, hasil dari pengaplikasian faham kapitalisme dalam industri budaya khususnya media massa, hingga terlahir generasi penerus berjiwa konsumtif dan hedonis.
1. Penerapan Simbiosis Mutualisme dalam Penanaman Ideologi
Industri Media Televisi dalam melangsungkan kehidupan penyiarannya,
perlu adanya “Interpendensi Media dengan Para Pemasang Iklan” sebagai
penyuplai dana atas hidupnya program tayangan sebuah perusahaan
penyiaran. Tindakan kompromi antara industri media televisi dengan para
perusahaan pemasang iklan perlu dilakukan, guna kelancaran usaha atas
hidupnya kedua perusahaan tersebut, yang saling berpengaruh perannya
dalam menyajikan informasi dan hiburan pada masyarakat. Dari kerjasama
tersebut maka terjadi suatu hubungan simbiosis mutualisme, di mana kedua
belah pihak sama-sama mendapat keuntungan dari bidang usaha yang
dijalankannya. Bagi industri media khususnya televisi, tentunya akan
mendatangkan omset yang tinggi hasil pemberian kompensasi para pemasang
iklan, lewat sisipan iklan dari produk acaranya. Demikian juga bagi para
pemasang iklan, akan mendapat keuntungan dalam rangka promosi produk
yang mereka iklankan itu telah ditonton oleh masyarakat, dimana dampak
yang ditimbulkan bisa mempengaruhi para pemirsa televisi yang jumlahnya
jutaan pasang mata terfokus dalam pesan dibalik produknya. Penayangan
iklan semakin efektif hasilnya terutama pada jam-jam sibuk (primer time)
yang segmentasi pemirsanya sangat lengkap dalam kategori usia maupun
status sosialnya. Hal inilah yang dikatakan oleh Jean Seaton tentang
Determinisme “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan
kelas yang berkuasa” (Graeme Barton, 2008). Penjelasan di atas
mengisyaratkan bahwa media selaku pemegang kekuasaan penyebaran
informasi secara cepat dan didukung dengan penyuplai dana lewat
kompensasi sarana penyebaran jaringan pemasaran suatu produk, dimana
targetnya hampir menunjukkan tanda-tanda kesamaan tujuan.
Dalam perspektif komunikasi, iklan televisi merupakan rangkaian pesan
misterius yang terselubung dalam suatu alur cerita dengan pelansirannya
lewat pemancaran gelombang elektromanetik kepada khalayak, untuk
memberikan informasi suatu produk atau menawarkan suatu produk dan jasa
lewat biasan iklan televisi. Dalam proses penyebarluasan informasi yang
tercermin dalam iklan televisi, diperlukan suatu strategi atau cara yang
jitu dalam melumpuhkan pikiran para pemirsa, agar mau membeli produk
yang ditawarkan. Bagaimana sebuah iklan televisi dirancang dengan
berbagai macam perekayasaan konsep dan eksekusinya, hingga dapat
merangsang dan mempengaruhi alam pikiran para pemirsanya. Diperlukan
pendekatan secara persuasif dalam menciptakan “pencitraan sebuah produk”
yang akan ditawarkan, hingga pada akhirnya masyarakat begitu percaya
dan yakin untuk mau mengikuti jejak rangkaian cerita yang
divisualisasikan lewat tayangan televisi tersebut. Pencitraan suatu
produk dalam iklan televisi dapat diciptakan melalui cara persuasif dan
bukan dengan cara kekerasan, tindakan ini merupakan suatu cara efektif
dalam penerapan ideologi pada suatu produk dalam tingkatan terikatnya
posisi dengan pencitraan terhadap produknya. Pada titik tertentu atas
pelansirannya itu, dilakukan secara terus menerus, hingga nantinya
produk tersebut akan dapat menciptakan suatu pencitraan atas kelas-kelas
dominan dalam lingkungan masyarakat, hal itu disebabkan sebagai dampak
dari pemakaian produk yang telah dicitrakan itu. “Ideologi merupakan
suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya oleh seseorang atau kelompok
orang tertentu tanpa dirinya bersikap kritis lagi dan menerima segala
pemikiran tersebut sebagai sesuatu hal yang seolah-olah sudah semestinya
dilakukan…” (Iwan Gunawan, 2010). Pemikiran ini mengurai bahwa apa yang
dicitrakan oleh tayangan iklan, khususnya iklan televisi telah diyakini
dan dipakai produknya oleh sebagian besar masyarakat dalam mengangkat
eksisitensi dan simbol pencitraannya dari para pemakai produk tersebut.
Bagaimana suatu realitas dibangun melalui tayangan iklan televisi hingga
mampu hidup dalam atmosfir pemikiran pemirsa, hal itu membuktikan
betapa dasyatnya pengaruh iklan televisi dalam persepsi pemirsa,
sampai-sampai pemirsa begitu yakin dibuatnya tanpa harus melakukan
perlawanan. Dengan kreatifitas tinggi dalam mevisualisasikannya yang
dikemas secara menajubkan dalam alur dramatiknya sebuah cerita, sebuah
iklan telah mampu menghadirkan suatu realitas dunia imajinasi semata,
menjadi suatu realitas baru dan terkesan seoalah-olah terlihat nyata,
berkat pencitraan dari sebuah produk disertai terselipnya ideologi media
yang ditanamkan lewat sebuah iklan. “Dibutuhkan cara dan tehnik untuk
menyebarkan dan mempromosikan ideologi. Ideologi bisa disebarkan dengan
paksaan dan kekuasaan…” (Ellul. 1973). Kenyataan ini menjelaskan bahwa
Ideologi yang disebarluaskan lewat tayangan televisi, adalah melalui
sistem kekuasaan. Dengan kekuasan media yang ada dalam genggamannya,
maka ideologi apapun yang ditanam lewat tayangan tersebut dapat terserap
dengan sendirinya oleh berbagai kalangan masyarakat, dari tingkatan
usia maupun status sosialnya bersamaan dengan penangkapan pesan yang
dikomunikasikan.
Bagi Industri media televisi yang menjadi mitra kerja para pemasanag
iklan, tentunya akan menciptakan suatu perangkap acara yang di kemas
sedemikian rupa hingga menarik perhatian publik, lewat beragam tayangan
program acara dengan pengkonstruksian makna dan nilai serta dilancarkan
secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas. Derasnya durasi
iklan televisi yang dilancarkan oleh industri media televisi itu, akan
berdampak pada perilku pemirsa hingga nantinya akan kecanduan dan
gandrung serta tumbuhnya sikap tergila-gilanya dari pencitraan yang
disuguhkan oleh industri media televisi secara gratis itu. Hal inilah
yang dikemukakan oleh Kaum Marxis “… nilai-nilai yang menguntungkan
orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa
sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa…”. (John
Storey, 2003)
Berbagai macam gaya hidup telah lahir di republik ini, dengan
pengkonstruksian sedemikian rupa melalui berbagai macam program acara
yang mencerminkan suatu kehidupan palsu, hingga pada akhirnya dapat
menimbulkan kebohongan publik dan tanpa sadar, bahwa kita seolah-olah
telah menjadi bagian dari realitas kehidupan yang sebenarnya. Suatu
penanaman konsep ideologi ke dalam format acara melalui teks-teks media
dan makna-makna yang ada di dalamnya serta praktik-praktik budaya telah
melahirkan “kesadaran palsu” di dalam persepsi pemirsa.
Sebuah pencitraan yang dilansir oleh media televisi dan iklannya akan berpengaruh pada target audiens yang sama, hingga mereka begitu yakin dan percaya dengan pencitraan dari produk yang diiklankan tersebut tanpa ada perlawanan.
2. Televisi dan Iklan, Menyatunya Dua kepentingan
Sejak terjadinya revolusi industri yang dinilai sebagai awal dari
peradaban penerapan teknologi dalam kehidupan masayarakat, dianggap
turut melatar belakangi atas lahirnya perilaku dan budaya industri
modern. Berbagai macam penemuan teknologi dan terus mengalami
perkembangan secara segnifikan dari tahun ke tahun, menyebabkan
perkembangan industri mengalami peningkatan, hal tersebut berpengaruh
pada meroketnya tingkat peradaban manusia di muka bumi ini. Dari
perkembangan teknologi tersebut, ternyata perkembngan teknologi
informasi dan multimedia mengalami peningkatan yang segnifikan. Media
audio visual dalam bentuk televisi, video dan film, yang paling banyak
perkembangannya dibandingkan dengan media lainnya. Sehingga
eksistensinya dianggap media yang paling banyak direspon aktifitasnya
oleh masyarakat, hingga keberadaanya tak terlepas dari aktifitas
masyarakat.
Media televisi dianggap sebagai senjata yang ampuh dalam mempengaruhi
alam pikiran dan pradigma masyarakat tentang sesuatu hal, lewat beragam
isi program acaranya, televisi telah mampuh menggiring persepsi pemirsa
dan meyakinkanya tentang program acara yang disiarka itu, hingga “gaya
hidup” masyarakatpun dapat tercipta sebagai cerminan atas pengruh dari
tayangannya. Beraneka ragam tayangan yang telah direkonstruksi
sedemikian rupa, hingga tanpa terasa apa yang dikonstruksikan oleh media
televisi itu, seolah-olah menjadi suatu kenyataan yang sebenarnya.
Begitu dasyatnya angin kencang yang ditiupkan oleh media televisi dengan
representasi program acaranya yang notabene sebagai ikon dari kebutuhan
hidup masyarakat modern itu, telah menerjang siapa saja yang ada
didepannnya entah anak-anak, remaja maupun orang tua.
Televisi sebagai sarana informasi suatu produk konsumen telah menjadi
trend center masyarakat, hingga dapat menimbulkan permainan pasar dalam
perekonomian kapitalis, yang dapat menggiring pemirsa kearah kehidupan
konsumtif hingga melahirkan masyarakat hedonis. Kenyataan ini, telah
dimanfaatkan oleh para pemegang kekusaan dalam permainan pasar dengan
melibatkan orang terkenal, misalnya artis populer serta peran media
sebagai penunjang sarananya, dimana dalam praktiknya divisualisasikan
secara gencar hingga masyarakat bertekuk lutut untuk mau mengikuti apa
yang dikomunikasikan itu. Realitas ini secara ekonomi akan menguntungkan
bagi kelompok-kelompok dominan yang berkuasa dalam mengembangkan sayap
perusahaannya. Keberadaan artis hanyalah sebagai komoditas layaknya
barang dagangan yang bisa diperas dan dipermainkan seenaknya, selama ada
kompensasi yang telah disepakati bersama. Tidak jarang keduanya timbul
perseteruan hingga menimbulkan suatu polemik berkepanjangan di
masyarakat. “Lewat media massa televisi pula seseorang menjadi tenar dan
melambung namanya sebagai public figure di kalangan masyarakat hingga
bisa menjadi idola bagi seseorang yang mengakui eksistensinya, namun
media televisi pula yang sanggup menumbangkan nama seseorang hingga
hancur berantakan kehidupannya” (AB. Susanto,2001).
Para pemasang iklan di media televisi telah menjalin hubungan yang erat
dengan industri televisi, karena keberadaan media ini dianggap sebagai
suatu sarana yang ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan provokatif
terhadap target audiens sebagai mangsanya. Peran iklan televisilah yang
membuat siaran televisi tetap hidup dan bisa bertahan dalam
melangsungkan program penyiarannya. Televisi dan iklan dapat diibaratkan
burung jalak dengan badak yang saling menguntungkan, dimana burung
jalak mendapat makanan dari kutu-kutu yang menempell di tubuh badak,
sementara si badak tidak perlu repot membersihkan badanya, mungkin
binatang lain tentunya akan berguling-guling dalam membersihkan
kutu-kutunya. Demikian juga dengan kaiatan antara televisi dan iklan, di
mana keduanya merupakan menyatunya dua kepentingan dari segmentasi
pasar yang hampir sama. Hal ini dapat diartikan bahwa iklan memerlukan
media sebagai sarana penyampaian produk yang akan diinformasikan kepada
masyarakat luas, sementara televisi membutuhkan iklan guna pembiayaan
operasional dan pengembangan program siarannya.
Dalam sudut pandang komunikasi, “iklan merupakan pesan yang disebar
luaskan kepada khalayak untuk memberikan sesuatu atau menawarkan atau
jasa melalui media” (Onong, 1989). Penciptaan iklan televisi yang
membawa pesan-pesan suatu produk, dan dalam pengemasannya memakai
cara-cara pendekatan secara persuasif dalam merayu, membujuk dan
meyakinkan para konsumennya untuk memakai dari produk yang diiklankan.
Cara-cara ini merupakan suatu strategi dalam mempengaruhi dan
melumpuhkan pikiran konsumennya, bukan dengan cara kekerasan, melainkan
melalui pendekatan dengan penanaman ideologinya yang terselip dalam
“pencitraan produk”, hingga konsumen bertekuk lutut untuk mau mengikuti
ajakannya tanpa harus mengkritisinya. Inilah yang dikatakan oleh Jacques
Ellul tentang propaganda, “suatu cara untuk mencapai kekuasaan dengan
cara memanipulasi secara psikologis suatu kelompok atau massa, atau
dengan cara menggunakan kekuatan ini dengan dukungan dari massa”
(Marlin, 2002: 19).
Tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh ideologi iklan, lewat
tayangan televisi yang dikemas dan dikonstruksi sedemikian rupa serta
penyampaiannya begitu menarik dan atraktif, hingga masyarakat langsung
percaya dan meyakini tentang keistimewaan dari produk yang ditawarkan.
Dalam perancangannya, iklan televisi tak luput dari siklus trend yang
berkembanmg dimasyarakat, para kreator iklan sering menangkap isu yang
bergaung dan menjadi polemik di masyarakat, untuk kemudian diangkat
menjadi suatu konsep dalam perancangannya. Iklan televisi dewasa ini
telah menjadi produk komuditas baru yang mampu memenuhi keinginan para
pemirsa dan tanpa disadari apa yang tervisualisasi di hadapan mata,
adalah hasil penciptaan suatu realitas baru yang telah dikonstruksi ke
dalam dunia maya itu, telah mengantarkan alam persepsi pemirsa
mengisyaratkan bahwa realitas imajinatif tersebut seolah-olah apa yang
mereka lihat adalah cerminan keaadaan yang sebenarnya. Persepsi inilah
yang muncul dalam pikiran pemirsa, hingga masyarakat selaku target
iklan, mau memakai produknya dan menghegemoni dalam kehidupan masyarakat
luas melalui praktik-praktik ekonomi, sosial dan budaya kapitalisme
yang mencerminkan budaya baru dalam lingkugan masyarakat kapitalis.
Kerjasama antara industri media televisi dengan industri produk konsumsi, dalam segala situasi dan kondisi serta dengan konteks beragam aspek itu, merupakan alat yang ampuh dalam mempengaruhi konsumen atau masyarakat untuk mau mengikuti anjuran lewat pesan-pesan yang terselubung dalam setiap produknya.
3. Pencitraan Pesan dalam Manipulasi Gambar Tayangan
Iklan televisi adalah salah satu dari bagian komunikasi massa, di mana
sasaran yang dituju adalah bersifat heterogen. Masyarakat yang menjadi
mangsanya telah mempunyai persepsi berlainan terhadap produk yang di
tawarkan, hal ini dipengaruhi dari tingkat pendidikan serta pengalaman
seseorang. Sebuah iklan televisi dapat mempengaruhi jiwa seseorang
berpretensi terhadap sesuatu pengertian bahwa terdapat sesuatu hal yang
tidak beres dengan diri seseorang, oleh karena itu setiap orang berusaha
memenuhi kriteria-kriteria tertentu, untuk menutupi ketidak beresan
tersebut. Berbagai macam usaha dilakukan guna mendapat sesuatu yang
kurang dari dirinya hingga pada akhirnya nanti mendapatkan solusi, dan
dapat tampil lebih percaya diri dalam lingkungan masyarakatnya.
Iklan televisi dinilai mampu menggiring pikiran pemirsa untuk mau
mengikuti apa yang divisualisasikan dengan hebatnya, hingga seseorang
terbius oleh pesan yang ada dibalik kemasan produk citraanya. Lihatlah
seorang gadis karena keteknya bau menyengat ketika melakukan aktivitas,
maka teman-temannya meninggalkannya, namun setelah memakai produk rexona
yang dipakai oleh temen-temannya tadi, maka kepercayaan diri mulai
muncul dan tanpa rasa takut dia menari dengan mengangkat tangan di
hadapan temannya yang meninggalkannya tadi tanpa rasa ragu. Bagaimana
kekuatan sebuah iklan televisi, dapat mempengaruhi para pemirsa tentang
illustrasi yang ditontonnya lewat tayangan televisi. Tidak sedikit
masyarakat yang percaya dengan produk produk citraan hasil rekonstruksi
dari iklan televisi, hingga masyarakat mau membelinya demi semata-mata
menaikkan citra dirinya, seperti dilakukan oleh para gadis-gadis
melakukan hal yang sama di layar televisisi itu.
Memasuki Millenium ketiga, perkembangan teknologi telah merubah perdaban
manusia menjadi luar biasa, terutama dunia informasi yang membuat
komunikasi antar manusia semakin dekat dan keberadaan dunia makain
mengecil terasa dalam genggaman tangan. Situasi ini menjelaskan, bahwa
“Perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang
di mana anggapan mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa”
(Heidegge, 1999). Kenyataan ini menjawab bahwa teknologi informasi yang
berkembang dengan pesatnya, dipakai sebagai alat atau sarana untuk
menciptakan suatu kesan bahwa “dunia citraan” bukanlah suatu realitas
kehidupan yang sebenarnya, namun dunia dalam angan-angan yang di
hadirkan itu, sebagai bentuk realitas yang dicitrakan sebagai
representatif dari realitas dunia sebenarnya. Dari sinilah media
televisi yang berkaiatan erat dengan kehidupan masyarakat, turut
mengekspose dan mengukuhkan citraan dari bentuk-bentuk illustrasi yang
tervisualisasi ke dalam alam pikiran masyarakat, melalui program
tayangannya itu. Suatu analogi pencitraan dari suatu produk kecantikan,
bahwa untuk mempercantik diri, dapat divisualisasikan dengan
mengandalkan kemampuan sebuah produk cream kecantikan bermerek “Pound”
dapat menciptakan kulit wanita menjadi lebih putih dalam tempo 7 hari.
Kategori teks dan makna media yang menjelaskan menjadi lebih putih dalam
tempo sesingkat itu, merupakan upaya penerapan ideologi media dalam
mengkonstruksi pesan secara persuasif, dibalik cerita atas penggunaan
produk yang dicitrakan itu, telah membuat gadis-gadis remaja
berramai-ramai menyebur supermarket guna membeli produk serupa seperti
tayangan di televisi.
Kemajuan teknologi dalam penciptaan gambar yang begitu spektakuler
dengan berbagai macam efek dalam visualisasinya itu, membuat kreatifitas
para kreator iklan televisi semakin mudah untuk memproses segala ide
kegilaannya, demi terwujudnya pencuci otakan para pemirsa untuk larut
dan terbuai dalam tayangan mengikuti alur cerita yang telah didistorsi,
hingga pada akhirnya pemirsa terjebak dalam rayuan, bujukan dan berakhir
dengan tindakkan tanpa ada perlawanan. Maka dari itu, tidak heran
apabila media televisi melalui iklan televisi, menayangkan berbagai
macam “pencitraan” dari beragam produk yang saling bertempur dalam satu
kepentingan, untuk melumpuhkan pikiran para pemirsa sebagai target
audiensnya. Ribuan frame gambar dengan berbagai macam karakter artis
yang berakting, mulai dari yang cantik, ganteng, gemuk, kerempeng, lucu,
nyentrik sampai hal antik, dalam adegan ringan ataupun mengagumkan
hingga orang berkata waaahhhh… Gillaaa !!!…, semuanya berseliweran dari
menit ke menit perhari menyerbu alam pikiran pemirsa lewat lensa mata,
kesemuanya itu muncul dalam waktu tak terduga di sela-sela asyiknya
sedang menonton program acara televisi idolanya. Peristiwa itu terkadang
membuat pemirsa menjadi jengkel dibuatnya, karena sangat mengganggu
konsentrasi dalam menikmati salah satu program acara yang telah
ditontonya, hingga tindakan pindah saluranpun dilakukan.
Bentuk apapun pencitraan oleh media televisi lewat tayangan iklan
televisi itu, tidak semuanya benar, namun sebagian telah dipropagandakan
oleh para pengiklan lewat produknya itu, merupakan suatu kepalsuan
tersembunyi sebagai upaya dalam menciptakan pencitraan lewat kemasan
produknya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Aliram Marxisme
Frankfurt menjelaskan bahwa “kesadaran palsu” berdasar pada “Penguraian
penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada
didalamnya serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk
oleh kekuasaan media” (Graeme Barton, 2008). Tanpa sadar apa yang kita
ketahui tentang suatu kebenaran, adalah suatu angan-angan dan
pandangan-pandangan serta daya imajinasi, antara ada dan tiada dalam
melihat suatu kenyataan yang semu dan tersembunyi dalam realitas sosial
masyarakat. Kesemuanya itu dapat diungkapkan betapa dahsyatnya pengaruh
iklan televisi terhadap psikologi manusia, hingga mampu memiliki
kekuatan mengkostruksi ruang suatu gambar “dunia maya” menjadi “dunia
sebenarnya”, dalam suatu mitos yang diyakini dan dipakai menjadi
pegangan hidup dalam mengikuti trend center yang berkembang di
masyarakat. Dampak dari pencitraan ini telah melahirkan “gaya hidup”
masyarakat modern sebagai bentuk hasil dari serangan ideologi media,
hingga apa yang didapat dari pengaruh iklan televisi telah menjadi
hegemoni budaya dalam masyarakat yang cenderung kearah konsumtif dan
hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis.
Dibalik pencitraan iklan televisi yang secara gencar menyerang pikiran kita, hendaknya diwaspadai misi dibalik pesan dalam kemasan produknya. Karena sebuah “Iklan dalam implementasi di lapangan, merupakan senjata kapitalisme memiliki dua mata pisau dalam menjalankan misinya, yaitu logika pelepasan nafsu dan logika kecepatan, kedua-duanya berperan dalam melenyapkan sosial yang ada” (Piliang, 1998). Kenyataan ini mengatakan, bila suatu produk kapitalis menyerang suatu status sosial masyarakat tertentu, maka budaya sosial lama semakin tergeser dengan budaya baru yang ditawarkan, karena pada dasarnya ketika kemauan atau nafsu suatu manusia timbul dan memuncak di kepala, maka secara cepat itu pula reaksi mereka akan memenuhi keinginannya itu. Hal inilah yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan, bahwa iklan televisi yang membawa produk dan pencitaannya sebagai cerminan praktik-praktik sistem kapitalis, akan memusnahkan secara perlahan budaya masyarakat sebelumnya yang telah terbentuk sekian lama, selama bertahun-tahun dimaknai dan dipahami serta dipakai menjadi pegangan hidup dalam, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Karena pada dasarnya prinsip dari iklan adalah menyampaikan produk baru sambil membawa faham serta budaya baru pula, sebagai pencerminan dari penemuan teknologi hingga menciptakan peradaban baru dan lama kelamaan akan berkembang di masyarakat
Begitu dahsyatnya pengaruh iklan televisi hingga masyarakat mau mengikuti anjuran melalui pencitraan karakter gamabar spektakuler hasil imajinasi dalam memanipulasi gambar di balik produknya.
4. Gaya hidup dan Penciptaan Kelas-Kelas Sosial
Segala macam tayangan iklan televisi akan berdampak luas terhadap
perilaku masyarakat. Betapa tidak, kekuatan iklan televisi dapat
menggiring pikiran pemirsa untuk mau mengikuti anjuran, himbauan,
rayuan, bujukan dalam teks dan makna media melalui suatu kemasan
pencitraan “dunia maya” yang telah dikonstruksi secara spektakuler
melalui virtual image. Hasil karya iklan televisi ini merupakan sebuah
perwujudan dari menyatunya kreatifitas dengan teknologi modern, hingga
dapat mencuci otak dan melumpuhkan pikiran pemirsa, untuk mau mengikuti
dan percaya dengan pesan yang tertanam dalam pencitraan produk yang
ditawarkan. Tidak sedikit korban dari bujukan iklan tevisi yang bisa
mendarat dalam pikiran pemirsa hingga mereka rela merogoh kocek untuk
membeli produknya, demi tuntutan mengikuti “gaya hidup” yang lagi
ngetrend di tengah masyarakat, sebagai hasil pengaruh lansiran dari
iklan televisi. Inilah yang sudah menjadi suatu resiko dalam memasuki
arus globalisasi, dengan semakin kencangnya informasi dari seluruh jagat
telah masuk dalam relung-relung pikiran kita dengan terkoneksi situs
sistem teknologi informasi dan jaringan media secara on line itu. Tanpa
sadar praktik-praktik kapitalisme menjadi suatu budaya baru sebagai
“gaya hidup” modern yang mengikat kita ke arah konsumeristik. Sadar atau
tidak sadar bahwa segala informasi yang tertanam dalam pikiran kita,
telah memaksa kita untuk mengikuti suatu “trend” yang berkembang di
masyarakat, sebagai hasil dari lansirnya Global Kapitalism yang
mengusung potret gaya hidup dunia melalui citraan produk-produk, setiap
hari berseliweran di hadapan kita, telah memancing kita untuk
memilikinya.
Budaya kapitalisme yang mendorong prinsip hidup dengan berbagai macam
cara dan strategi agar produknya laku dari target sasaran, melalui
berbagai macam media dapat sesegera mungkin dikonsumsi oleh konsumen.
Apa yang dilansir oleh iklan televisi melalui media elektronik yang
hampir tiap hari berdampingan dalam kehidupan, telah mengantar kita
memasuki suatu gaya hidup modern dalam atmosfir masyarakat kapitalis.
Realitas kehidupan merekam dengan kejernihan lensa berpikir, bahwa apa
yang selama ini kita lakukan mengarungi hidup, dihiasi dengan beragam
produk kapitalis sebagai suatu tuntutan hidup yang diidealkan oleh
masyarakat dunia. Berbagai Brand tingkat tinggi seperti Levi’s, Lea,
Arrow, Polo, Seiko, Omega, Rolex, Parker, Nike, Adidas, Reebok, Ferari,
Mercy, BMW serta merek-merek lainnya merupakan bagian dari kehidupan
para esekutif, sebagai cerminan bentuk gaya hidup tinggi dan hal ini
sudah menjadi konsekuensinya dari kelas-kelas dominan yang mempunyai
kekuasaan sebagai pencitraan terhadap identitas diri mereka.
“Citra diri (Self Image) dapat diterjemahkan sebagai bagaimana seseorang
memandang dirinya sendiri, atau mungkin diartikan sebagai bagaimana
persepsi orang lain memandang seseorang” (Susanto. AB, 2001).
Berdasarkan dari suatu pendapat yang mengutarakan bagaimana cara orang
lain memandang tentang diri seseorang itu, maka orang berusaha
mempercantik dirinya dengan sesuatu yang bernilai agar orang lain yang
melihatnya, mencitrakanya pada posisi kelas tersendiri. Seseorang
memiliki frame of reference jika produk yang dipakainya mempunyai nilai
tersendiri hingga dapat tercermin dalam bertingkah laku. Dari sinilah
tertanam niatan bagaimana caranya seseorang membentuk “penciptaan image”
mereka di mata orang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam realitas
hidup seperti Seorang Direktur perusahaan kelas tinggi, katakanlah Si
Badrun Bin Somat yang penampilannya begitu menawan, berdasi serta jas
warna hitam dilapisi aroma parfum yang wangi dengan handphone Black
Magic ditangan, nampak keluar dari pintu mobilnya berlogo bintang tiga
itu, berjalan menuju pintu masuk kantor di kawasan Jalan Jendral
Sudirman. Bandingkan dengan orang pada perusahaan yang sama, Si Sukron
Bin Kadut sebagai Manager Marketing berpakian lengan panjang serta dasi
warna hijau bermotif daun pepaya, keluar dari mobil berlogo seekor
kijang itu yang telah di parkir di halaman kantor dan Markonah binti
Sukarni sebagai staff dengan pakaian biasa saja, telah turun dari metro
mini berlari kencang dan hampir tersandung kulit durian karena diburu
waktu. Keadaan ini akan semakin ekstrim bila dibandingkan dengan Wagiman
bin codot yang berkaos oblong bergambar salah satu kandidat Pilkada dan
celana pendek dengan kaki berhiaskan sandal jepit kusam serta tangkai
cangkul yang bersandar di atas pundaknya itu, telah berjalan sambil
menghisap rokok lokal cap jengkol menuju kebonnya. Analogi itu hanya
sebagian dari realitas kehidupan yang ada di negeri ini, keadaan ini
akan menjelaskan, begitu banyaknya peristiwa tersebut menimpah di negeri
ini yang katanya menjunjung tinggi sikap gotong royong dan sifat tolong
menolong itu. Begitu dasyatnya pengaruh “gaya hidup” terhadap psikologi
masyarakat negeri ini, sehingga dapat menciptakan kelas-kelas status
sosial dan membedakan tentang kedudukan seseorang di masyarakat. Semua
ini merupakan hasil dari produk kapitalisme yang menyerang negeri ini
dan berkembang cenderung tanpa arah pengendalian berarti, hingga
melahirkan insan-insan berjiwa konsumtif dan hedonis. Keadaan ini akan
terus terjadi dari waktu ke waktu selama globalisasi tak dapat
terbendung dan para penghuni negeri ini tak dibentengi kebudayaan
setempat yang kuat.
Lewat pencitraan yang terselip dalam setiap produknya, pengaruh iklan televisi dapat menciptakan kelas-kelas dalam status sosial masyarakat, hasil lansiran dari berkembangnya budaya populer di tengah masyarakat luas.
Penutup
Dari pemaparan yang telah dibahas dengan beragam sudut pandang, maka
dapat ditarik benang merahnya. Televisi telah menjadi bagian dari suatu
kehidupan masyarakat modern yang berfungsi selain sebagai penyebar
informasi dan hiburan, juga sebagai suatu alat promosi produk yang
paling ampuh dalam menggiring pikiran masyarakat selaku target
audiensnya, untuk masuk dalam jebakan iklan hingga pada akhirnya nanti
kita rela merogoh kantong bahkan sampai bolong plooong… tanpa perlawanan
berarti, hanya semata-mata untuk mengikuti apa yang ditawarkan melalui
rangkaian gambar yang fantastik itu sebagai pencitraan dari produk
kebanggaannya.
Iklan televisi yang dilahirkan dan dibesarkan oleh industri media
televisi dengan segala macam ideologi yang banyak mencerminkan budaya
dan faham kapitalis pada setiap pesan yang terselip dalam produk
citraanya, akan berdampak pada penciptaan “gaya hidup” di masyrakat yang
cenderung berjiwa konsumtif dan hedonis. Timbulnya efek negatif pada
perilaku insan negeri ini disebabkan dari pengaruh iklan televisi, di
mana dalam penayangannya merupakan cerminan budaya baru yang lagi
ngetrend di lingkungan masyarakat, hasil lansiran Global Kapitalism yang
terbawa oleh arus globalisasi. Kalau hal ini tidak diantisipasi dengan
baik, maka dikhawatirkan akan terus tumbuh subur, terutama di kalangan
remaja yang cenderung berpola hidup meniru dari tayangan televisi. Dan
kenyataan ini menimbulkan suatu pernyataan kontradiktif terhadap budaya
Indonesia yang terkenal menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti, sifat
sabar dan norma kesantunan yang kita banggakan selama negeri ini
didirikan. Bila hal ini terjadi secara terus penerus tanpa adanya suatu
apresiasi secara intensif di kalangan masyarakat, maka dikhawatirkan
budaya keluhuran kita akan tergilas oleh budaya kapitalis yang
menjajikan masyarakat bersikap konsumtif dan hedonis serta diwarnai
keglamouran hidup, senang berfoya-foya tanpa mau belajar serius hingga
menghasilkan generasi goblok…!!!.
Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita semua, termasuk kalangan
berpendidikan tinggi baik dilingkungan pemerintahan, institusi sosisl,
institusi pendidikan maupun masyarakat luas untuk senan tiasa saling
mengingatkan, memberikan penerangan dan pencerahan kepada masyarakat,
bahwa segala macam yang tersembunyi di balik iklan televisi itu, tidak
selamanya benar. Bahkan ada teks serta makna media telah direkonstruksi
dan gambar-gambar fantastik hasil manipulasi hingga dapat menggiring
persepsi pemirsa ke arah yang bisa menyesatkan. Persepsi sangat bahaya
sekali, bila tayangan tersebut dilihat oleh orang-orang yang tak
dibekali dengan daya nalar tinggi untuk memahami makna-maknnya dengan
benar.
Diperlukan suatu ketegasan dari pihak terkait, untuk mengapresiasi
tentang pengaplikasian kode etik periklanan dan jurnalistik dalam
perancangan program acara televisi, karena perencanaan yang tak
berkonsep dengan matang akan menimbulkan permasalahan di masyarakat.
Pemerintah lewat Kementrian komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran
Indonesia, Institusi Masyarakat Periklanan Indonesia, Lembaga Konsumen
Indonesia hendaknya memberikan sangsi yang keras kepada stasiun televisi
dan pemasang iklannya yang ternyata isi pesan dapat merusak moralitas
bangsa. Karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap
aturan-aturan dalam penyiaran yang telah disepakati bersama. Ketegasan
itu mutlak diperlukan demi mencegah dampak dari tayangan yang
membahayakan generasi bangsa ini atau paling tidak meminimalisir
intensitasnya.
Daftar Pustaka :
Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Ralita Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: MU:3.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Macdonell, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus: Kematian Strukturalisme & Kelahiran Post Strukturalisme Dari Althusser hingga Foucault. Penterjemah: Eko Wijayanto. Jakarta: Teraju.
Yadianto. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: M25.
Suyanto, M. 2005. Strategi Perancangan Iklan Televisi Perusahaan Top Dunia. Yogyakarta: Andi.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Peradaban. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Piliang, Yasraf. A. 2001. Hipersimiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra Sadar.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion. Canada: Broadview Press
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books
Gunawan, Iwan. 2010. Propaganda, Wawasan Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya. Jakarta : Institut Kesenian Jakarta.
Djoko Damono, Sapardi. 2009. Kebudayaan (Populer) disekitar Kita. Jakarta : Kompleks Dosen UI.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion. Canada: Broadview Press.
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
\Winda Dewi Lestari SE Akvitis di Jakarta
0 comments:
Post a Comment