BERBEDA dengan Pemilu 2019. Dipastikan Pemilu 2024 beban yang akan
dihadapi semakin rumit. Karena Pemilu secara serentak Pilpres, Pileg dan
Pilkada. Serta, masih menggunakan sistim pemungutan dan perhitungan
serta rekapitulasi suara dengan cara yang sama dengan cara Pemilu 2019.
Masih secara manual, coblos dengan paku, dan kotak kardus yang digembok,
rekapitulasi suara secara bertingkat TPS, Kelurahan, Kecamatan,
Kota/Kabupaten, dan Provinsi terakhir KPU Pusat. Dengan puluhan model
isian form rekap di setiap tingkat.
Beban tugas KPPS,
pendistribusian logistik, berkaitan dengan lembaran kertas surat, form
isian rekap suara caleg dan pilpres yang semakin banyak. Menjadi beban
yang luar biasa bagi petugas peyelenggara Pemilu 2024. Patut dicatat
tahun 2019 sekitar 800 orang lebih petugas meninggal dunia, penyebabnya
sampai sekarang tidak jelas.
Beban lebih pada Pemilu 2024 pasti juga akan dihadapi bagi petugas penyelenggara, walaupun pilkada dilaksanakan dengan bulan berbeda.
Terkait tingginya beban kerja penyelenggara Pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat TPS, bisa jadi akan berimbas pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi menjadi petugas penyelenggara. Ataupun jika “dipaksakan” secara manusiawi faktor kelelahan yang amat sangat. Kemungkinan kesalahan, kekeliruan, perkeliruan disetiap tingkat juga dipastikan akan terjadi.
Pemilu 2024 dengan cara-cara yang tidak berubah tersebut. Juga berbiaya luar biasa lebih 100 triliun rupiah. Dua pertiga untuk anggaran KPU. Sepertiganya anggaran Bawaslu. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh partai dan caleg, Calon Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) serta calon presiden untuk membiayai dan menyediakan saksi. Luar biasa edan.
Pertanyaannya
adakah cara lain yang lebih murah dan efesien, efektif serta hasil
rekapnya bisa dipercaya. Jawaban untuk pertanyaan tersebut. Sangat pasti
ADA.
Dunia teknologi modern sistim digital sudah sangat maju.
Termasuk Indonesia sebagai Negara yang era digitalnya juga sudah sangat
maju. Buktinya semua bank/lembaga keuangan dalam setiap kegiatannya
sudah menggunakan sistim digitalisasi.
Pemerintah juga demikian.
E-KTP sudah berfungsi. Begitu juga sistem digitalisasi berbasis
e-government. Hampir merata di setiap daerah. Jaringan internet juga
sudah merata ke setiap desa.
Seluruh program dan kinerja tingkat
provinsi, kabupaten/kota, bisa terintegrasi secara baik dan terkontrol.
Sehingga, tidak membuat hambatan yang lebih besar dalam pelayanan
kepada masyarakat.
Patut juga dicatat dalam penanganan Covid-19,
melalui digitalisasi Peduli Lindungi sangat dibanggakan oleh pemerintah
Indonesia kepada dunia, sebagai sistim digital yang terbaik.
Pertanyaan
lanjut kenapa dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 KPU masih mengunakan
sistim ortodok? Pakai paku dan kotak kardus, dengan ratusan juta kertas
suara, ratusan juta formulir rekapitulasi, mengunakan tenaga yang
jumlahnya luar biasa banyak. Dengan bertambahnya TPS, dengan jumlah
pemilih yang meningkat setelah lima tahun ini.
Perhitungan dan
rekapitulasi suara secara bertingkat TPS, Desa/Kelurahan,
Kota/Kabupaten, Provinsi, dan terakhir di tingkat pusat. Dalam proses
perhitungan di setiap tingkat kemungkinan terjadinya kesalahan
dipastikan akan terjadi.
Dalam satu kesempatan bertemu dengan
beberapa caleg yang penulis kenal, beberapa di antaranya menyampaikan
mereka tidak akan jor-joran kampanye, tapi jor-joran “lobby” petugas
tingkat kelurahan dan tingkat kecamatan, untuk “membeli” suara.
Sepertinya mereka sudah punya pengalaman sebelumnya. Mereka bukan
pemula. Mungkin saja pertahana, dalam perkeliruan.
Padahal dengan
sistim digital semua hal tersebut dapat diatasi, hemat tenaga kerja,
hemat waktu, begitu juga jumlah TPS, karena dengan sistem digital satu
TPS bisa 1.000 orang pemilih. Lobby tidak akan terjadi, karena sistim
yang bekerja. Semua itu penulis dapatkan penjelasan akurat dari beberapa
ahli sistem digital yang penulis kenal.
Mereka tersebut tenaga
ahli lulusan perguruan tinggi terkenal di Indonesia, mereka juga sudah
membuat sistim perhitungan elektronik Pemilu. Sistem tersebut juga sudah
mereka jadikan jurnal ilmiah tingkat dunia.
Menurut presentasi
mereka mengenai Pemilu 2024 di Indonesia cukup dengan biaya Rp 30
triliun. Waktu rekapitulasi hasil pemilu juga singkat, satu minggu.
Melalui kontrol sistem, hasilnya dipastikan sangat bisa dipercaya.
Pengaduan kasus sengketa Pemilu MK akan sangat berkurang.
Sayang
semua elit hanya sibuk dengan “menu” yang diatur tentang penentuan
pasangan calon presiden dengan PT 20 persen. Serta “mainan” sistim
pemilu tertutup dan terbuka, yang sengaja ditimbulkan. Sehingga,
modernisasi sistem perhitungan suara terabaikan.
Akhirnya, hanya
menggunakan sistim pemungutan suara dan rekapitulasi perhitungan suara
secara ortodok tidak modern. Sebenarnya memalukan. 5 tahun sejak Pemilu
2019 di mana era digitar luar biasa maju. Seakan kemajuan digital di
Indonesia sama sekali tidak ada.
Pertanyaan akhir. Kenapa masih
pemungutan suara dan perhitungan hasil Pemilu 2024 dengan cara ortodok
dipilih oleh KPU didukung oleh DPR dan Pemerintah? Jawabannya terserah
kepada pembaca.
Namun di Indonesia memang dikenal dengan istilah
sarkasme. Jika bisa diperumit kenapa harus dipermudah. Karena di sana
ada cuan dan kekuasaan. Melalui kerumitan bisa berbuat kekeliruan.
Pertanyaan penutup. Bisakah ada harapan. Perubahan sistem. Bisa. Jika terjadi people power. Semua sistem bisa diubah. Melalui daulat rakyat.
*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
0 comments:
Post a Comment