Ada yang menarik dengan Pemilu 2024 dari sisi komposisi pemilih.
Pemilu terakbar dalam sejarah bangsa ini mencatatkan jumlah pemilih dari
kalangan milenial ( usia 29-44) dan Gen Z (usia 18-27) yang mendominasi
hingga 113 juta jiwa atau 56,45% dari total pemilih. Dengan rincian
66,8 juta (33,60%) pemilih milenial dan sebanyak 46,8 juta (22,85%)
adalah pemilih Gen Z. Dua kalangan ini merupakan dua teratas jumlah
pemilih pada Pemilu 2024.
Besarnya potensi pemilih dari kalangan
milenial dan Gen Z mendorong para kandidat yang bakal bertarung pada
2024 menggencarkan beragam isu yang menjadi tren di kalangan milenial
dan Gen Z untuk meningkatkan elektabilitas mereka dan meraih suara.
Salah satu isu yang kini “seksi” di kalangan pemilih muda adalah isu
lingkungan dan perubahan iklim. Indikator Politik Indonesia bekerja sama
dengan Yayasan Indonesia Cerah pada September 2021 menyurvei 4.020
responden yang terdiri atas 3.216 responden usia 17-26 tahun (Gen-Z) dan
804 responden usia 27-35 tahun (milenial), terkait preferensi mereka
terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim.
Hasilnya, mayoritas
responden Gen-Z dan milenial dari berbagai latar belakang demografi dan
pilihan partai menunjukkan tingkat kesadaran/awareness terhadap isu
perubahan iklim yang tinggi terutama di kalangan perempuan, kelompok
usia Gen-Z (17-26 tahun). Isu perubahan iklim bahkan bertengger di
urutan kedua dalam kategori isu atau masalah yang paling dikhawatirkan
pemilih muda setelah isu korupsi di urutan pertama. Sebanyak 78%
responden percaya perubahan iklim berbahaya bagi manusia dan masa depan
mereka. Selain itu sebanyak 80,7% responden sepakat perubahan iklim
disebabkan oleh faktor manusia.
Bertolak dari sejumlah survei
tersebut, ada peluang besar mendorong isu lingkungan pada momentum
Pemilu 2024. Pemilu kali ini akan memilih banyak pemimpin baik di
kalangan eksekutif maupun legislatif. Pemilu 2024 merupakan pemilu
terbesar dalam sejarah Indonesia karena melibatkan enam jenis pemilihan.
Yakni pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilu
presiden dan wakil presiden (Pilpres), dan selang beberapa bulan
berikutnya dilanjutkan dengan pemilihan gubernur dan pemilihan
bupati/wali kota. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala
daerah serentak tahun 2024 sebanyak 548 daerah dengan rincian 37
provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota.
Kepemimpinan Hijau
Ada
sejumlah alasan mengapa isu lingkungan dan keadilan ekologis perlu
diarusutamakan dalam kebijakan dan politik melalui pemimpin yang
terpilih kelak. Selain karena kehancuran ekologi, isu lingkungan juga
berkelindan dengan kejahatan lingkungan, korupsi (Grossmann, J., Halida,
R., & Suryandari, T., 2021) dan berbagai masalah hukum lainnya.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020
menyebutkan kerugian negara akibat korupsi kekayaan alam mencapai hampir
Rp30,5 miliar. Terbaru, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan
(PPATK) menyebut dugaan adanya aliran dana ilegal termasuk pencucian
uang di sektor lingkungan hidup sepanjang 2022 hingga 2023 mencapai
hingga Rp20 triliun.
Dalam konteks global, isu perubahan iklim
telah menjadi isu bersama mengingat penyebab dan dampaknya yang saling
berkait antara global maupun lokal. Kenaikan suhu di tingkat global
faktanya telah ikut memicu peningkatan bencana alam di Indonesia menurut
catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB menyebut
tren jumlah kejadian bencana alam di Indonesia meningkat hingga 82%
sepanjang 2010 hingga 2022. Dari data yang dihimpun BNPB, pada lima
bulan pertama 2023, sudah terjadi 1.657 kejadian bencana yang ditengarai
disebabkan oleh perubahan iklim (BNPB, 2023).
Apa yang terjadi
di tingkat global juga berdampak pada kerusakan lingkungan di tingkat
lokal. Agenda ekonomi global akan ambisi kendaraan listrik saat ini
telah berkontribusi pada kehancuran lingkungan hidup di berbagai pelosok
Indonesia karena masifnya eksploitasi tambang penyokong material
kendaraan listrik seperti pertambangan nikel di Pulau Obi, Kabupaten
Halmahera Selatan, Maluku Utara. Riset Pusat Studi Aquakultur
Universitas Khairun mengenai status kualitas air dan kesehatan biota
laut di perairan Pulau Obi pada 2019 menyatakan kualitas air laut di
wilayah industri berada di atas ambang batas dan melampaui baku mutu
yang dipersyaratkan pemerintah (Tamrin, T., & Aris, M., 2022).
Artinya
penanganan terhadap masalah lingkungan dan iklim semestinya dikerjakan
secara kolaboratif, melibatkan stakeholder dari berbagai tingkataan baik
global, regional, nasional maupun lokal, serta beragam aktor baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat (Janicke, 2017). Dalam konteks
nasional dan lokal Indonesia, kebijakan mitigasi perubahan iklim bisa
dimulai dengan mendorong lahirnya kepemimpinan hijau yang berperspektif
pada ekonomi hijau, keadilan ekologi dan kelestarian lingkungan baik di
tingkat Pusat hingga daerah. Dalam kondisi “darurat” lingkungan saat
ini, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dalam cara pandang maupun
kebijakannya.
Green leadership atau kepemimpinan hijau yang peduli
terhadap kelestarian dan penyelamatan lingkungan dalam konteks ini
menjadi relevan. Green Leadership atau Environmental Leadership
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan
memobilisasi organisasi untuk mewujudkan visi ekologi atau lingkungan
jangka panjang. Green Leader dalam konteks ini berupaya mengubah sistem
ekonomi dan sosial yang dianggap mengancam lingkungan (Egri and Herman,
2000). Banyak riset menunjukkan perspektif dan kepemimpinan hijau
berpengaruh kuat dalam mendorong produk (dalam konteks ini kebijakan)
yang ramah terhadap lingkungan (Chen, Y.-S., & Chang, 2013)
Saat
ini, isu Green Leadership perlu diperkuat dalam kampanye maupun visi
misi para calon pemimpin yang berlaga di 2024. Di sinilah kalangan Gen Z
dan milenial mengambil peran baik lewat diseminasi narasi kepemimpinan
yang pro lingkungan hidup, maupun berperan langsung di bilik suara
dengan memilih pemimpin yang dianggap pro lingkungan.
Tak Sekadar “Hijau”
Namun
yang menjadi tantangan adalah bagaimana kepemimpinan hijau benar-benar
merespons masalah lingkungan dengan strategi dan kebijakan yang
struktural dan berkelanjutan alias tak sekadar “hijau”. Melihat fakta
saat ini, sejumlah kebijakan yang diklaim “hijau” justru menimbulkan
paradoks.
Contohnya adalah kebijakan co-firing, yakni penggunaan
biomassa sebagai energi bauran untuk mengurangi volume batu bara dalam
operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun prakteknya,
co-firing justru dikhawatirkan mendorong deforestasi karena kebutuhan
akan hutan tanaman energi sebagai bahan baku energi biomassa seperti
pelet kayu. Selain dua contoh di atas, masih banyak kebijakan iklim lain
yang dinilai paradoks dan sangat politis, seperti opsi mengatasi
kenaikan suhu bumi dengan perdagangan karbon, atau konferensi iklim
global yang tampaknya sengaja dirancang untuk tidak menghasilkan solusi
struktural dalam mengatasi perubahan iklim (Höhne, Kahmann, &
Lohaus, 2023). Dalam konteks ini, kebijakan iklim terlihat sangat
politis (Maslin, 2021).
Paradoks lainnya terkait dengan penerapan
pajak karbon. Pemerintah Indonesia bakal menerapkan pajak karbon dengan
tarif rendah. Pemerintah mematok tarif pajak karbon paling rendah secara
global yakni hanya Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi karbon
dioksida ekuivalen (tCO2e). Tarif tersebut jauh lebih kecil dari usulan
awal Rp75.000 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).
Tarif
tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan tarif pajak karbon yang
berlaku di sejumlah negara di Asia. Singapura misalnya mematok tarif
pajak karbon sebesar US$4 per tCO2e, sedangkan Jepang mematok tarif
sebesar US$3 per tCO2e. Rendahnya tarif pajak karbon potensial
menjadikan Indonesia sebagai “surga” tujuan eksplorasi batu bara bagi
para produsen tambang sehingga potensial meningkatkan emisi karbon di
Tanah Air.
Selain kebijakan iklim tersebut, keputusan pemerintah
menunda penerapan pajak karbon yang telah diketok sejak 2021 lewat UU
Harmonisasi Perpajakan juga potensial meningkatkan emisi karbon sedini
mungkin. Wacana penerapan pajak karbon yang sering digaungkan dan
kebijakan menunda penerapannya, dalam prakteknya saat ini justru
menimbulkan masalah. Pemerintah memilih menunda penerapan pajak kabon
dengan dalih belum siap, sehingga memicu eksplorasi besar-besaran batu
bara. Merujuk data pemerintah, produksi batu bara pada 2022 di Indonesia
memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Produksi batu bara pada
2022 tembus hingga 687 juta ton, naik 12% dari produksi pada 2021 yang
tercatat sebesar 614 juta ton. Jumlah tersebut juga melampaui produksi
2019 yang hanya sebesar 616,2 juta ton. Produsen batu bara memilih
mempercepat eksplorasi saat ini untuk menghindari menurunnya keuntungan
akibat penerapan pajak di masa depan. Hal ini dinilai sebagai
konsekuensi yang tak diinginkan dari kebijakan iklim (Jensen and
Mohlini, 2015).
Kepemimpinan hijau bagaimana pun harus jeli
melihat paradoks kebijakan iklim. Artinya kampanye perubahan iklim harus
benar-benar menyentuh persoalan struktural bukan sekadar membawa jargon
“hijau”. Solusi struktural ini bisa ditempuh lewat rancangan kebijakan
yang tak semata eksploitatif secara ekonomi, tetapi juga memperhatikan
lingkungan. Contohnya, regulasi mempercepat penerapan energi terbarukan
dengan instrumen pendukungnya, baik keberpihakan anggaran, subsidi serta
implementasi teknis di lapangan. Gerak cepat mengurangi ketergantungan
pada batu bara dengan menggali sumber energi terbarukan agar lebih
variatif perlu segera dieksekusi. Mendiversifikasi energi dengan ragam
sumber energi jangan hanya sebatas rancangan, tetapi harus tersistem dan
dilembagakan di seluruh instansi pemerintah dan kebijakan di tingkat
daerah.
Utamanya, kepemimpinan hijau harus mampu memberi solusi
yang berkeadilan tak hanya untuk kepentingan kelestarian lingkungan
tetapi juga keadilan untuk masyarakat terutama masyarakat lokal atau
masyarakat paling rentan terdampak perubahan iklim. Keadilan tersebut
dapat berupa akses yang luas bagi masyarakat, baik akses kepada sumber
daya ekonomi, energi dan lingkungan yang lestari. Akses adalah kunci
untuk keadilan bagi mereka yang rentan dan marginal untuk memperoleh
penghidupan yang layak (Ribot, 2023).
Pemuda sebagai Penentu
Tak
bisa dipungkiri, pemuda adalah kalangan strategis yang potensial bisa
menyelamatkan persoalan lingkungan ke depan. Generasi milenial dan Gen Z
tak hanya potensial dari potensi pemilih namun juga karena penerus
generasi ke depan. Anak-anak muda inilah yang ke depan akan berperan
sebagai pemimpin dan penentu kebijakan terkait lingkungan.
Untuk
saat ini khususnya di masa-masa genting di tahun politik, anak-anak muda
ini pula yang mendominasi jumlah pemilih sesuai data Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Anak-anak muda ini bisa menentukan apakah pemimpin yang akan
dipilih di bilik suara adalah pemimpin yang punya perspektif dan
berkomitmen terhadap penyalamatan lingkungan.
Kita punya harapan
besar dari berbagai survei yang membuktikan kuatnya perhatian anak muda
saat ini akan kondisi lingkungan yang terdegradasi. Namun, sekadar tahu
dan prihatin soal kondisi lingkungan saja tidak cukup. Saatnya anak-anak
muda mengambil peran dengan menentukan pilihan dan ikut mengampanyekan
serta mendorong lahirnya pemimpin yang berpihak pada kelestarian
lingkungan dan keadilan sosial.
Wacana mengenai masalah lingkungan
dan bagaimana ke depan lingkungan ini dikelola perlu menjadi concern
anak muda saat ini dan perlu dibicarakan semakin luas di berbagai forum.
Literasi digital mengenai isu lingkungan di kalangan anak-anak muda
saatnya digalakkan.
0 comments:
Post a Comment