JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Bukan hanya di tingkat nasional, dinasti politik juga terjadi di
daerah. Bahkan, berdasar data Kementerian Dalam Negeri, dinasti politik
di daerah semakin meningkat di era rezim Joko Widodo. Fakta itu diungkapkan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN), Prof Siti Zuhro, pada pengantar diskusi bertajuk
"Dinasti Politik Menghambat Konsolidasi Demokrasi", yang diselenggarakan
Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, secara virtual, Minggu malam
(29/10).
"Dalam kasus Indonesia, daerah cenderung rentan
mempraktikkan dinasti politik, karena kegagalan daerah membangun
demokrasi, seperti menguatkan tata kelola pemerintahan yang baik, yang
partisipatif, transparan dan akuntabel," katanya.
Anehnya, distorsi itu bukannya diperbaiki, tapi terkesan
dibiarkan. Sehingga terjadi akumulasi, cukup serius daya rusaknya.
Bahkan, dinasti politik sudah seperti virus yang menyebar hampir ke
seluruh wilayah di Indonesia.
"Menurut catatan Kemendagri, ada 60
atau 11 persen kasus dinasti politik era Pilkada langsung selama
2005-2014. Jumlah itu cenderung meningkat selama rentang waktu 2015-2018
menjadi 117 atau 21 persen. Dari 11 persen menjadi 21 persen. Dan di
2020, Pilkada serentak terakhir sebelum 2024, bertambah menjadi 175 atau
32 persen. Jadi meningkat, bukan berkurang," papar Siti Zuhro.
Praktik
politik dinasti di Indonesia terus tumbuh berkembang karena tidak dapat
memutus rantai nilai-nilai masa lalu yang menjadi prasyarat bagi tumbuh
dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi secara utuh."Dengan pendidikan yang masih rendah, karena baru sekitar 5-6 persen
saja yang lulusan perguruan tinggi, selebihnya SMA, SMP, dan SD. Dan
juga keterbelakangan ekonomi, yang memungkinkan terbangunnya dinasti
politik lebih besar," pungkas Siti Zuhro.
Hadir lima narasumber
lainnya, yakni peneliti senior BRIN, Profesor Firman Noor; dosen Pasca
Sarjana Universitas Nasional (Unas), TB Massa Djafar; Direktur Eksekutif
Lembaga Electoral Institute for Development Quality (E-Dev), Warjio;
dosen Pemilu dan Kepartaian Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, Zennis
Helen; dan dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya (UB), Muhtar
Haboddin
0 comments:
Post a Comment