oleh : Ilham Ibrahim
Beberapa media nasional membagi informasi Muhammadiyah menyumbangkan milyaran rupiah untuk Palestina. Beraneka ragam respons dari pengguna media sosial berseliweran. Mulai dari Facebook, Instagram hingga hingga jagad Twitter. Bahkan sempat trending topic di beberapa platform media sosial. Tetapi hampir sebagian komentar netizen nyaris bermuatan kekecewaan terhadap sumbangan Muhammadiyah tersebut.
Kekecewaan para netizen ini mulai dari membandingkan dengan keadaan di tanah air yang masih jauh dari kata sejahtera, sampai menyayangkan jika sumbangan Muhammadiyah tersebut diterima Hamas yang mereka anggap hanya mendulang donasi tanpa peduli nasib rakyat Palestina. Namun tidak sedikit pula netizen yang bersuka cita atas banjirnya sumbangan Muhammadiyah tersebut.
Bagi saya, fenomena di atas sudah melampaui apa yang dibayangkan George Orwell di novel Nineteen Eghty-Four (1984). Situasi hari ini menurut Eka Kurniawan bisa disebut sebagai “pasca-Orwellian”. Di dunia Orwellian, kita menemukan diri menjadi objek pengawasan. Tindakan, kata-kata, bahkan pikiran kita terus dipantau oleh Big Brother. Sebagaimana ungkapan terkenalnya Big Brother is watching you.
Sementara itu, kata Eka Kurniawan, di dunia pasca-Orwellian yang digambarkan oleh situasi masyarakat media sosial tidak persis seperti itu. Tak ada sosok maupun sistem tunggal bernama Big Brother. Yang ada adalah masyarakat, atau siapa pun, saling mengawasi dan saling mengingatkan satu sama lain. Dengan kata lain, bisa dibilang semua netizen adalah Big Brother.
Media sosial di dunia pasca-Orwellian pada dasarnya memberikan kesempatan kepada siapapun, kepada semua orang, bagaimana rasanya menikmati “kekuasaan”. Inilah yang kemudian semua orang merasa boleh berkomentar apa saja, menjadi ahli-ahli dadakan, atau mencitrakan diri sebagai pembela keadilan dan kebenaran.
Memang tidak ada yang salah. Kita setuju bahwa semua orang memiliki hak bersuara tentang apa saja, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau membranding diri lewat media sosial sebagai pembela keadilan. Namun yang menjadi persoalan adalah wujud akhir dalam dunia pasca-Orwellian yang ditampilkan lewat sosial media seringkali mengaburkan otoritas, menghilangkan empati, dan menciptakan nyinyir.
Para veteran pegiat media sosial Indonesia pasti amat paham watak netizen yang telah saya gambarkan di atas. Jadi, meski Muhammadiyah menggelontorkan dana untuk perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina, masih saja ada komentar yang sebenarnya tidak otoritatif, tidak punya empati, dan menampakkan nyinyir. Hal ini tentu saja amat disayangkan.
Misalnya komentar “(Muhammadiyah) lebih peduli dengan bangsa lain, ketimbang negeri sendiri.” Ini logika sinting kali yah, sebab tak perlulah saya paparkan data lembaga pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya yang dimiliki Muhammadiyah. Semua fasilitas sosial itu telah tersebar di tempat-tempat paling udik sekalipun. Netizen yang nyinyir atas bantuan Muhammadiyah untuk rakyat Palestina sebenarnya merupakan contoh paling aktual manusia yang kurang piknik.
Dalam mengatasi “nyinyir-besitas” ini sebenarnya Muhammadiyah telah mengeluarkan panduan bersosial media di dalam buku Fikih Informasi. Fikih yang disusun berdasarkan Quran, Hadis, serta menggunakan kaidah-kaidah usul fikih ini memuat beberapa tuntunan bagaimana sikap yang benar ketika berhadapan dengan sebuah informasi.
Dalam salah satu tuntunan praktisnya menyebutkan bahwa netizen harus senantiasa memegang teguh etika dalam menilai seseorang (altizam al-adab fi al-jarh). Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam menyampaikan, menanggapi, dan menyebarkan informasi tidak dengan bahasa vulgar yang dibumbui dengan semangat kebencian. Penyebaran informasi dengan kebencian hanya akan mengaburkan fakta yang sesungguhnya.
Sikap Muhammadiyah atas Konflik Palestina
Sejarah penjajahan Afrika dikotori dengan mayat dan kuburan massal dari mereka yang berani melawan orang Eropa yang unggul secara militer. Kekuatan kolonial memang telah lama memiliki mantra magis bernama self-defence terhadap orang-orang yang mereka jajaki. Dalam konflik Palestina, Israel mengklaim bahwa mereka bertindak untuk membela diri, dengan demikian menggambarkan dirinya sebagai korban dalam konflik saat ini.
Akibatnya, pers Barat dengan senang hati menerima bahwa para pemimpin Hamas dan kelompok lain adalah target yang sah, dan dengan itu, implikasinya bahwa meskipun taktiknya mungkin agak tidak menyenangkan, Israel tetap melancarkan perang yang sah. Menerima framing ini secara tidak kritis membuat media Barat terlibat dalam delegitimasi perlawanan Palestina terhadap dominasi kolonial dan perampasan oleh negara Israel.
Sebenarnya, roket yang ditembakkan oleh faksi Palestina dari Gaza harus ditafsirkan sebagai tindakan perlawanan dari orang-orang yang dijajah dan penegasan hak yang diakui untuk menentukan nasib sendiri. Argumen Israel menyerang Palestina sebagai upaya self-defence sesungguhnya bahasa lain untuk melegitimasi kolonialisme di tanah Palestina.
Menurut Ulil Abshar Abdala, eksistensi Israel perlu dikritik sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, ia adalah penjajah sekaligus kelanjutan dari proyek kolonialisme Eropa pada abad ke-20. Kedua, dalam posisi saat ini, tidak ada alasan lain kecuali membela Palestina, sebab Israel adalah negara dengan kekuatan besar, disokong tanpa reserve oleh negara adi-kuasa saat ini, Amerika Serikat.
Bagi Muhammadiyah, mendukung kemerdekaan sepenuhnya bagi rakyat Palestina itu berarti sebuah sikap yang konsisten dengan konstitusi kita. Haedar Nashir pernah mengungkapkan bahwa seharusnya semua elemen bangsa memiliki satu suara berpihak kepada Palestina sebagai bangsa yang terjajah. Amanat konstitusi menyatakan dengan jelas bahwa segenap eleman bangsa harus menghapuskan segala bentuk penjajahan.
Kepedulian Muhammadiyah terhadap derita rakyat Palestina tidak hanya diungkapkan melalui kajian online, qunut nazilah, atau orasi di jalanan, juga dengan donasi. bantuan rakyat Indonesia yang diamanahkan melalui Lembaga Zakat, Infak, dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) telah sampai kepada rakyat palestina. Bantuan itu tepatnya diterima di Shifa Hospital dan Jabalia Medical Center, Jalur Gaza. Di rumah sakit itu, lebih dari 600 pasien penyintas kekejaman agresi militer Israel dirawat.
0 comments:
Post a Comment