Ke mana gerangan arah gerakan dan keberpihakan generasi millenial dan Gen-Z yang akan menjadi penentu dan dominan hingga melebihi 50 persen pemilih dalam pemilu 2024? Pertanyaan ini menarik karena banyak kalangan yang meragukan kematangan dan literasi politik generasi millenial dan Gen-Z.
Pengamat
Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan
Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Apakah mereka bermental baja ala aktivis 98 dan apakah mereka mampu lolos dari tipuan politisi pragmatis yang akhirnya menghancurkan masa depan Indonesia. Mampukah mereka menjadikan masa bonus demografi mereka sebagai pendorong perubahan sejati menuju Indonesia Emas 2045 dan bukan hanya bermimpi belaka.
Millenial dan Gen-Z memang digital native yang mencapai kurang lebih 113 juta pemilih atau 56,45% dari total keseluruhan pemilih pada pemilu 2024 nanti. Tapi, itu bukan jaminan mereka kritis dan bisa lolos dari problem kebodohan di negeri ini, jatuh tiga kali di lubang yang sama seperti elite politisi senior.
Masalah utama millenial dan Gen-Z adalah etos diri jemawa merasa diri pintar, cenderung berpikir instant, semuanya pengin cepat dan tentu harus profit. Masalah literasi lainnya, mayoritas cenderung kurang serius dalam membaca buku dan lebih terlihat over having fun. Mereka mudah terperangah sambil memuja generasi tua mapan yang sesungguhnya telah merusak sistem politik, ekonomi dan sosial di Indonesia.
ara berpikir ala fastfood dan demi cuan ini yang membuat generasi millenial dan Gen-Z kurang bisa melihat masalah secara jernih, komprehensif dan kritis, yang akhirnya membuat mereka kurang bisa membuat solusi yang tepat, berkelanjutan, apalagi memilih caleg dan capres yang visioner dan anti-oligarki.
Cara berpikir profit pragmatis yang kini banyak ditiru oleh generasi millenial dan Gen-Z sesungguhnya berakar dari cara berpikir elite politik senior di negeri ini. Cara berpikir ini disemai sejak era Suharto dan bahkan masih mengakar di tengah elite politik setelah 20 tahun Reformasi 98. Hal ini tentu berkontribusi pada rusaknya tatanan sistem di era Suharto dan stagnannya perubahan dua dekade pasca Reformasi hari ini (Chaniago, 2012; Winters, 2011; Robison dan Hadiz, 2004).
Politik bukan barang instan dan demikian pula seharusnya politisi itu seharusnya negarawan yang visioner. Politik adalah upaya membangun kapabilitas manusia (human capability) secara kolektif, sistemik dan konsisten di tangan orang-orang yang memiliki kualitas dan visi. Politik tidak berkaitan dengan untung rugi dan individualisme, tetapi berkaitan dengan kolektivisme dan upaya strategis dan cerdas mendorong keadilan sosial. Politik bukan sekadar show dan gaya, tetapi urusan publik yang serius dan sistemik.
Jika politik sekadar dipahami sebagai cara instan untuk profit, menjadi populer, demi keluarga dan konco-konco, dan bahkan sekadar show gaya-gayaan maka persoalannya akan terlihat dalam jangka panjang yaitu sistem semakin berantakan, overlapping seperti benang kusut, dan hilangnya kompas masa depan bangsa dan negara seperti hari ini.
Gerakan #reformasidikorupsi 2019 harus menemukan momentumnya kembali di 2024. Generasi millenial dan Gen-Z saatnya memberikan hukuman (punishment) yang setimpal di 2024 nanti. Pilih Caleg dan Capres yang benar-benar mendorong perubahan dan bukan sekadar rayuan gombal politisi murahan dan rendahan.
Tolak politik uang dan tawaran posisi politik, aktifkan forum diskusi, dan perdebatkan siapa yang layak untuk dipilih dan siapa yang harus dihukum dalam pemilu 2024 ini.
Keputusan kini di tangan generasi millenial dan Gen-Z untuk masa depan Indonesia. Sebak kata Pram, "sekali dalam hidup orang harus memilih jika tidak ia tidak akan menjadi apa-apa."
0 comments:
Post a Comment