JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Survei elektabilitas calon presiden 2024 terus bergulir. Sering kali
hasil survei membuat kening berkerut, terheran-heran, seperti tidak
masuk akal sehat. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony
Budiawan menyebut, telah terjadi pergeseran nilai survei sehingga
menjadi sangat komersial. Tanpa peduli apakah itu membohongi masyarakat
dan menjadi tidak bermoral.
“Survei bukan lagi untuk mengetahui
kondisi elektabilitas calon yang sebenarnya. Tetapi, survei digunakan
untuk menggiring opini bahwa calon tertentu sangat populer. Dengan
harapan masyarakat nantinya akan ikut memilih calon tersebut. Meskipun
nantinya akan menggunakan politik uang,” ujar Anthony dalam
keterangannya di Jakarta, Selasa (12/12).
Sambung dia, survei elektabilitas calon presiden selama ini
tidak bisa dipercaya karena sangat bias. Pertama, Indonesia terdiri dari
34 provinsi dengan kondisi masyarakat sangat heterogen.
“Masyarakat
Bali sangat berbeda dengan masyarakat Aceh atau Sumatra Barat, atau
Sulawesi Utara. Masyarakat Nusa Tenggara Barat sangat berbeda dengan
Nusa Tenggara Timur atau Lampung, atau Kep. Bangka Belitung,” ungkapnya.
“Misalnya,
berkaca pada hasil pilpres 2019, suara perolehan Prabowo sangat besar
di Aceh (85,6 persen) atau Sumatra Barat (85,9 persen), tetapi hancur di
Bali (8,3 persen), Nusa Tenggara Timur (11,5 persen), Jawa Tengah (22,7
persen),” beber Anthony.
Kedua, lanjutnya, karena itu, sampling
1.200 responden untuk 34 provinsi, atau rata-rata sekitar 35 responden
per provinsi hasilnya tentu saja tidak akan akurat sama sekali. Ketika
sampling diarahkan ke provinsi tertentu yang menjadi basis pemilih calon
tertentu, maka hasilnya akan bias memihak kepada calon tersebut.
“Sebagai
alternatif dari survei, perkiraan atau prediksi hasil pilpres 2024 bisa
juga diperikrakan berdasarkan data empiris pilpres 2014 dan 2019. Apa
yang bisa dipelajari dari data tersebut?” tegasnya.
Dia mengurai,
masyarakat yang memilih partai tertentu belum tentu memilih calon
presiden yang didukung partai tersebut. Artinya, terjadi “pembangkangan”
kepada partai, dan pembangkangan tersebut bisa sangat ekstrim di
daerah.“Misalnya, total suara partai pendukung Prabowo mencapai 59,1 persen di
pilpres 2014. Tetapi yang mencoblos Prabowo hanya 46,85 persen.
Penurunan suara Prabowo sangat bervariasi per provinsi. Ada yang ekstrim
seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, atau
Jawa Tengah. Artinya, koalisi gemuk tidak menjamin menang,” pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment