JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Pemilu yang riang gembira pelan-pelan menunjukkan dirinya.
Masyarakat kini mengambil cara sendiri dalam menciptakan pemilu yang
demokratis dan penuh kreativitas.
Mulai dari penggunaan kanal TikTok yang tengah digandrungi anak muda
sebagai ruang kampanye calon presiden (capres), hingga kampanye yang
dibungkus dengan judul-judul yang menyegarkan. Bahkan, gara-gara diskusi
yang berlangsung di TikTok semakin akrab dan hangat, capres Anies
Baswedan kini punya panggilan baru dari kalangan Gen Z, Abah Anies.
Kampanye kian menyegarkan saat dikemas dengan judul Desak Anies atau Slepet Imin. Judul kampanye yang nyeleneh namun kreatif, jauh lebih kreatif ketimbang cara usang menggaet suara calon pemilih lewat bagi-bagi bantuan sosial (bansos).
Di penghujung tahapan kampanye saat ini, bahkan muncul fenomena politik kesukarelaan (political voluntarism) masyarakat. Lagi-lagi tim pemenangan Anies Baswedan yang menggagasnya.
Kampanye kian menyegarkan saat dikemas dengan judul Desak Anies atau Slepet Imin. Judul kampanye yang nyeleneh namun kreatif, jauh lebih kreatif ketimbang cara usang menggaet suara calon pemilih lewat bagi-bagi bantuan sosial (bansos).
Di penghujung tahapan kampanye saat ini, bahkan muncul fenomena politik kesukarelaan (political voluntarism) masyarakat. Lagi-lagi tim pemenangan Anies Baswedan yang menggagasnya.
Mereka membuka pemesanan tiket gratis sejak Rabu (7/2) secara daring
untuk mengikuti kampanye akbar terakhir Anies Baswedan. Di hari itu
juga, dalam hitungan menit, 3,5 juta orang sudah memesan tiket untuk
dapat mengikuti paparan visi-misi Anies Baswedan di kampanye
pamungkasnya.
Luar biasa, sulit dibayangkan 3,5 juta manusia akan berkumpul di Jakarta International Stadium (JIS) yang menjadi tempat kampanye Anies, sementara stadion itu hanya mampu menampung 82 ribu orang di area tribune yang menggunakan kursi dan 100 ribu orang di area lapangan.
Tak ada janji pembagian bansos di sana. Namun, jutaan orang itu dengan kesadarannya sendiri ingin mendengar langsung janji politik dari calon pemimpin mereka.
Sikap kesukarelaan itu yang dalam beberapa pemilu terakhir kian pudar. Seperti sudah mentradisi, orang mau menghadiri kampanye jika ada iming-iming uang transpor, bukan untuk mendengarkan visi-misi capres.
Karena itu, ludesnya 3,5 juta tiket untuk mengikuti kampanye Anies Baswedan mesti diapresiasi karena demokrasi yang bermartabat kian menunjukkan bentuknya, yakni kegembiraan masyarakat dalam mencari dan menentukan pemimpin baru mereka.
Pemilu riang gembira itu pula yang sejatinya sudah lama dinanti masyarakat sejak pemilu yang riang itu terakhir kali digelar pada 1999, tak lama setelah tumbangnya Orde Baru. Kala itu, masyarakat dan partai politik bersuka cita memilih pemimpin baru setelah lepas dari kungkungan rezim Orde Baru dalam kurun 32 tahun lamanya.
Pemilu yang menyenangkan dan penuh kreativitas juga sangat penting di tengah masih tingginya angka pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya alias golput. Pemilu yang bisa menghadirkan suasana keriaan diharapkan bisa terus menekan angka golput sehingga semua pemilih mau menggunakan hak pilihnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Pemilu 2019 jumlah total pemilih yang tercatat di daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 192,77 juta orang. Dari jumlah tersebut, pemilih yang menggunakan hak pilih mencapai 157,47 juta orang atau 81,69 persen dari total pemilih nasional. Artinya, pemilih yang memilih golput ada sekitar 35,29 juta orang, sekitar 18,31 persen dari total pemilih nasional.
Jumlah golput itu sejatinya sudah turun ketimbang golput pada Pemilu 2014 yang mencapai 30,42 persen. Namun, 35,29 juta orang yang memilih golput bukanlah angka yang kecil, apalagi sampai dianggap sepele.
Karena itu, politik kesukarelaan yang hadir dari hati yang gembira dalam mencari pemimpin baru harus terus digelorakan, bahkan ditradisikan. Kita serulan juga kepada para penyelenggara dan wasit pemilu untuk jangan sampai merusak politik kesukarelaan seperti ini. Tinggalkan cara usang, karena zaman sudah berubah. Jangan anti perubahan, itu pesan utamanya.
Luar biasa, sulit dibayangkan 3,5 juta manusia akan berkumpul di Jakarta International Stadium (JIS) yang menjadi tempat kampanye Anies, sementara stadion itu hanya mampu menampung 82 ribu orang di area tribune yang menggunakan kursi dan 100 ribu orang di area lapangan.
Tak ada janji pembagian bansos di sana. Namun, jutaan orang itu dengan kesadarannya sendiri ingin mendengar langsung janji politik dari calon pemimpin mereka.
Sikap kesukarelaan itu yang dalam beberapa pemilu terakhir kian pudar. Seperti sudah mentradisi, orang mau menghadiri kampanye jika ada iming-iming uang transpor, bukan untuk mendengarkan visi-misi capres.
Karena itu, ludesnya 3,5 juta tiket untuk mengikuti kampanye Anies Baswedan mesti diapresiasi karena demokrasi yang bermartabat kian menunjukkan bentuknya, yakni kegembiraan masyarakat dalam mencari dan menentukan pemimpin baru mereka.
Pemilu riang gembira itu pula yang sejatinya sudah lama dinanti masyarakat sejak pemilu yang riang itu terakhir kali digelar pada 1999, tak lama setelah tumbangnya Orde Baru. Kala itu, masyarakat dan partai politik bersuka cita memilih pemimpin baru setelah lepas dari kungkungan rezim Orde Baru dalam kurun 32 tahun lamanya.
Pemilu yang menyenangkan dan penuh kreativitas juga sangat penting di tengah masih tingginya angka pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya alias golput. Pemilu yang bisa menghadirkan suasana keriaan diharapkan bisa terus menekan angka golput sehingga semua pemilih mau menggunakan hak pilihnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Pemilu 2019 jumlah total pemilih yang tercatat di daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 192,77 juta orang. Dari jumlah tersebut, pemilih yang menggunakan hak pilih mencapai 157,47 juta orang atau 81,69 persen dari total pemilih nasional. Artinya, pemilih yang memilih golput ada sekitar 35,29 juta orang, sekitar 18,31 persen dari total pemilih nasional.
Jumlah golput itu sejatinya sudah turun ketimbang golput pada Pemilu 2014 yang mencapai 30,42 persen. Namun, 35,29 juta orang yang memilih golput bukanlah angka yang kecil, apalagi sampai dianggap sepele.
Karena itu, politik kesukarelaan yang hadir dari hati yang gembira dalam mencari pemimpin baru harus terus digelorakan, bahkan ditradisikan. Kita serulan juga kepada para penyelenggara dan wasit pemilu untuk jangan sampai merusak politik kesukarelaan seperti ini. Tinggalkan cara usang, karena zaman sudah berubah. Jangan anti perubahan, itu pesan utamanya.
0 comments:
Post a Comment