Data KPK per April 2023 sudah 93 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.
Penetapan status tersangka kepada Neneng Hasanah Yasin menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Bupati Bekasi, Jawa Barat, itu berstatus tersangka setelah anak buahnya dan beberapa pengusaha tertangkap tangan KPK. Pengusaha diduga memberikan imbalan sejumlah uang kepada pejabat di Bekasi guna memuluskan proses perizinan pembangunan di kawasan Cikarang, Bekasi.
Padahal, Pemerintah Pusat sudah berkali-kali mengumpulkan kepala daerah dan meminta agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. Faktanya, daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi semakin panjang. Data yang diperoleh dari KPK, per April 2018, tak kurang dari 93 orang kepala daerah yang terjerat perkara korupsi di tangan KPK. Dari jumlah itu, 75 orang adalah bupati/walikota, dan sisanya, 18 orang berlatar belakang gubernur.
Jumlah itu belum termasuk anggota DPRD. Penetapan status tersangka bagi anggota legislatif Kota Malang, anggota DPRD Sumatera Utara, dan beberapa daerah lain memperlihatkan korupsi dilakukan secara massif. Itu sebabnya, muncul pertanyaan mengapa begitu banyak kepala daerah yang terjerat korupsi?
Laode Muhammad Syarif punya kemungkinan jawabannya. Wakil Ketua KPK ini mengatakan banyaknya kepala daerah terkena kasus korupsi bisa jadi merupakan konsekuensi dari desentralisasi. “Kenapa banyak kepala daerah? Mungkin itu konsekuensi desentralisasi,” ujar Laode, dalam diskusi di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, Selasa (13/11).
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007. Kedua regulasi ini menegaskan hanya politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal, dan agama yang menjadi urusan pemerintahan absolut.
Dijelaskan Laode, sebelum rezim otonomi daerah berlaku, praktik korupsi nyaris hanya ditemukan di Jakarta dan kota-kota besar. Setelah ada desentralisasi seperti saat ini, banyak bermunculan ‘raja-raja’ kecil di daerah dengan kewenangan pengelolaan anggaran dan jumlah dana yang tidak sedikit. Ditambah banyak kewenangan yang dilimpahkan ke daerah dalam rangka otonomi daerah. “Kalau dulu kekuasaan hanya di kota sekarang kekuasaan juga sampai ke daerah,” jelasnya.
Senada, Ketua Bidang Hukum PBNU Robikin Emhas, berpendapat fenomena biaya demokrasi di daerah ternyata tidak murah. Untuk menutupi biaya yang dikeluarkan, calon kepala daerah atau kepala daerah terpilih menggunakan sistem ijon bersama pengusaha, dengan cara mengarahkan agar proyek tertentu diarahkan kepada pengusaha tertentu pula. Pengusaha juga bersedia membiayai pencalonan kandidat kepala daerah dengan harapan mendapatkan proyek bernilai lebih besar. “Setelah menang baru dikasih proyek,” ujar Robikin.
Namun, dilihat dari angka lain, korupsi kepala daerah tak selamanya karena ijon proyek. Sepanjang periode 2004-2017, ternyata sekitar 83 persen kasus korupsi adalah perkara suap dan pengadaan barang/jasa. Pengadaan barang/jasa mencapai 25 persen. Setelah itu, disusul korupsi dalam bentuk penyalahgunaan anggaran, tindak pidana pencucian uang, perizinan dan pungutan.
Laode tak menampik sistem rekrutmen politik saat ini, baik dari fase pencalonan oleh partai politik dan kampanye hingga proses pemungutan suara, menghabiskan biaya yang tidak sedikit. “Kalau untuk bupati dan walikota itu kata mereka paling sedikit (menghabiskan) 50-an miliar rupiah. Sedangkan untuk gubernur 100 miliar lebih. Ini dari semua informasi partai politik,” terangnya.
Dalam kalkulasi sederhana, biaya sebanyak itu tak akan bisa ditutupi hanya dari gaji dan tunjangan kepala daerah. Karena itu, kepala daerah berusaha mencari ‘jalan pintas’ untuk mengembalikan utang-utang semasa proses pencalonan. Belum lagi biaya sosial yang harus ditanggung oleh calon kepada partai pengusung. “Evaluasi kami terkait rekrutmen politik, dilihat dari hasil penelitian KPK dengan LIPI dengan partai politik, memang mereka beranggapan bahwa proses politik seperti sekarang itu sangat mahal,” ujar Laode.
Diakui Laode, KPK terus mencari formula yang tepat untuk menjembatani antara penyelenggaraan otonomi daerah yang baik dan upaya menghadirkan calon pemimpin daerah yang ideal dan berintegritas. Salah satu rekomendasi KPK adalah pembiayaan partai politik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Jadi itu juga supaya keuangan partai itu mendapat porsi dari negara agar setiap kader itu tidak harus menggadaikan banyak hal ketika dia berkontestasi”.
Pembiayan yang memadai, bisa membuat partai politik lebih independen dari pengaruh pemilik modal, dan proses audit keuangan negara lebih mudah dilakukan. Dengan demikian, calon kepala daerah yang diusung parpol tidak mesti mengeluarkan anggaran dari kantong pribadi dalam jumlah yang besar untuk proses kontestasi di daerah. Namun kendala saat ini transparansi parpol dalam pengelolaan keuangan.
Berkaitan dengan bantuan keuangan kepada parpol, Pemerintah, melalui PP No. 1 Tahun 2018 telah menaikkan jumlah bantuan. PP tentang Perubahan Atas PP No. 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Partai Politik mengatur besaran nilai bantuan keuangan kepada parpol yang mendapat kursi di DPR adalah seribu rupiah per suara sah. Sedangkan di tingkat provinsi, besarannya adalah 1.200 rupiah per suara sah
0 comments:
Post a Comment