Oleh Ummu Taqy
Beginilah fakta Demokrasi yang dikangkangi oleh kepentingan oligarki yang akhirnya menjadi industri demokrasi. Yaitu sistem politik yang dipenuhi oleh transaksi kepentingan, mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki semata. Alatnya adalah berita bohong-hoax, bisnis konflik komunal antar suku, agama dan golongan. Core business dari industri demokrasi adalah money politics dan korupsi sesuai dengan kepentingan para plutocrat (pemilik modal besar).
Namun naasnya meski politik demokrasi berbiaya mahal (86 T utk 2024) berbanding terbalik dengan pemerintah yg dihasilkan. Fakta di lapangan semakin menunjukkan pemerintahan yang nihil keberhasilan mengentaskan problem rakyat. Apakagi di masa pandemi seperti ini, pengangguran semakin meningkat, kesejahteraan masyarakat pun semakin menurun. Kondisi msyarakat ini berbanding terbalik dengan kondisi para penguasa kita yang tetap hidup bergelimang harta.
Maka sungguh sebagai manusia terbatas yang hadirnya kita di dunia diciptakan oleh Allah SWT dengan mengemban misi mulia untuk beribadah semata mencari ridlo-Nya, kita harus mengembalikan semua masalah semrawutnya pengaturan negeri ini kepada Allah. Karena Allah SWT telah memberikan kepada kita peraturan Islam yang sempurna untuk seluruh bidang kehidupan yang telah terbukti penerapannya selama 14 abad. Pemilihan pemimpin dalam Islam berbiaya murah, namun efektif menghasilkan output yang berkualitas. Berikut hal-hal yang menjadikan pemilu dalam Islam berbiaya murah :
Pertama. Filosofi, tanggungjawab dan tujuan kepemimpinan.
Islam secara mendasar telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah.
Beratnya amanah menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati.
Dia akan selalu bersandar pada aturan Ilahi karena takut atas
pertanggungjawaban di akhirat. Orang yang maju menjadi calon pemimpin
bukanlah figur gila jabatan, tapi orang yang terdepan dalam kebaikan.
Maka kecurangan telah dicegah sejak masih berupa niat di dalam hati.
Sosok bertakwa akan membersihkan hatinya dari niat jahat, termasuk niat
untuk berbuat curang.
Pemimpin dalam Islam juga menyadari tanggung jawab kepemimpinan. Bahwa tidak ada hijab antara Allah SWT dengan doa orang yang dizalimi. Maka kekhawatiran berbuat zalim seringkali membuat seseorang menjauhi jabatan pemimpin. Sehingga orang yang menjadi pemimpin bukanlah sosok yang diliputi nafsu berkuasa (hubbu as siyadah), melainkan orang yang terus berusaha melekatkan sifat adil pada dirinya. Hingga tiada satu makhluk bernyawa pun yang akan dizaliminya. Meski “hanya” seekor hewan misalnya. Sang pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Filosofi, tanggung jawab dan tujuan kepemimpinan tersebut menjadikan calon pemimpin dan output pemilu dalam sistem Islam pasti berkualitas. Tak akan ada praktik money politik dan suap menyuap karena sang calon pemimpin takut akan murkanya Allah SWT.
Hal ini mencegah dikorupsinya uang negara untuk money politic. Calon pemimpin juga tidak akan membutuhkan biaya kampanye yang besar. Karena kulitas dirinya hakiki, tak butuh pencitraan. Juga tak butuh dana untuk membayar tim buzzer yang bekerja memviralkan sang calon di dunia maya.
Kedua, Metode baiat. Metode baku pengangkatan pemimpin dalam Islam adalah baiat. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan umat. Dukungan ini tak harus berupa pemilu langsung yang menghabiskan uang negara. Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan. Yaitu rakyat memilih wakilnya, lalu wakil umat ini (Majelis Ummah) yang memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan pemilu dalam Islam bersifat langsung, namun pemilihan langsung bukanlah metode melainkan teknis yang bersifat opsional (mubah). Namun metode bakunya adalah baiat.
Siapa pun yang dibaiat, dialah pemimpinnya. Rakyat tak akan sibuk berdebat tentang quick count, real count dan exit poll. Karena bukan perkara hitung-hitungan itu yang menjadi poin krusialnya, tapi siapakah yang dibaiat menjadi pemimpin. Metode baiat ini bisa ditempuh dengan penunjukan seperti terpilihnya Umar bin Khattab menjadi kepala negara. Bisa juga dengan teknis musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi (tokoh masyarakat) sebagaimana pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu perwakilah rakyat yang berjumlah enam orang bermusyawarah untuk memilih pemimpin pengganti Umar bin Khattab. Panitia kecil ini tentu lebih hemat biaya daripada jika pemilihan dilakukan langsung. Namun meski hanya 6 orang, mereka adalah representasi suara rakyat karena merupakan tokoh masyarakat.
Ketiga, Batas waktu pemilihan pemimpin.
Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga
hari. Dalilnya adalah ijma‘ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra yang
sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. Juga ketetapan
Umar bin Khatab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal aqdi
adalah tiga hari. Jika dalam kurun tiga hari enam orang ahlul halli wal
aqdi ada satu yang tak kunjung sepakat maka satu orang tersebut
diperintahkan untuk dibunuh. Demi tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari.
Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye.
Sehingga tak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai.
Tiga hal tersebut menjadikan pemilu di dalam Islam berbiaya murah namun efektif menghasilkan pemimpin berkualitas. Contoh terbaik mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam adalah di masa Umar bin Khatab. Ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Setelah mereka terus mendesak, beliau menunjuk enam orang, yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum Muslim. Kemudian beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka. Demikianlah tiga hal yang menjadikan pemilu dalam Islam sangat mudah dan murah dan menghasilkan pemimpin yang amanah.
Wallahu A’lam bi Showaab
0 comments:
Post a Comment