Indonesia menyelenggarakan pemungutan suara dalam kontestasi Pilkada 2024 di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota pada 27 November. Pilkada merupakan satu di antara sekian banyak agenda demokrasi yang melibatkan masyarakat secara langsung. Masyarakat berkesempatan menentukan kandidat yang dinilai pantas memimpin daerah untuk lima tahun mendatang.
Menurut Komisi Pemilihan Umum KPU ) pilkada serentak tahun ini melibatkan 202,8 juta pemilih. Komposisinya, generasi Z (23,08 persen); generasi milenial (32,95 persen); generasi X (28,35 persen); generasi baby boomer (13,87 persen); dan generasi pre-baby boomer (1,76 persen). Makin banyak masyarakat yang berpartisipasi, tentu makin baik. Dengan catatan, penyelenggaraannya berlangsung demokratis tanpa intervensi pihak mana pun.
Di tengah sengitnya kompetisi antarkandidat, penting untuk memperhatikan kondisi psikologis pemilih. Termasuk pentingnya sikap siap menang dan siap kalah dalam pilkada.
Psikologis Pemilih
Pada dasarnya, pemilih menyalurkan suara dalam pemilu karena dua alasan utama. Pertama, merasa wajib menggunakan hak pilih yang telah dijamin konstitusi. Kedua, menginginkan pemimpin yang terbaik.
Ketika sudah melabuhkan pilihan pada kandidat tertentu, pemilih dengan sendirinya akan mengidentifikasi sebagai bagian dari kelompok tertentu (in-group). Misalnya, kelompok pemilih kandidat A, B, atau C. Hal itu membuat pemilih merasa dekat secara emosional dengan kandidat dan cenderung hanya memercayai informasi yang bernarasi positif terhadap kandidat tersebut (confirmation bias).
Identitas sebagai bagian dari kelompok pemilih kandidat tertentu juga membuat pemilih memiliki keterhubungan dengan pemilih lain yang sefrekuensi. Menurut Tajfel dan Turner (1979), ilmuwan psikologi sosial, kondisi tersebut secara natural akan memunculkan penilaian bahwa kelompoknya lebih baik daripada kelompok lain (in-group favoritism). Dalam praktiknya, terbentuk pola saling dukung.
Kondisi semacam itu sering kali menimbulkan konflik antarkelompok pemilih. Pada pilkada sebelumnya, kita menyaksikan polarisasi di tengah masyarakat kita. Yang paling kentara tentu polarisasi Pilkada Jakarta 2017. Polarisasi tersebut memperburuk kondisi sosial sekaligus menurunkan kualitas demokrasi Indonesia. Tercatat, indeks demokrasi Indonesia menurun dari 6,97 menjadi 6,39 (Economist Intelligence, 2018).
Fenomena polarisasi masih terasa di beberapa pilkada tahun ini. Di jagat maya, kita acap menjumpai warganet yang menjatuhkan kandidat lawan dan merendahkan orang yang berbeda pilihan. Di beberapa daerah, antarpendukung bahkan saling berkonflik secara fisik dan verbal. Merespons hal tersebut, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun memetakan wilayah-wilayah yang rawan kekerasan dan intimidasi, baik sebelum maupun sesudah pemungutan suara (Jawa Pos, 24/11).
Meski demikian, tidak semua pemilih mudah terjebak dalam polarisasi. Beberapa faktor seperti keterbukaan terhadap keberagaman, kemampuan meregulasi emosi, serta kepedulian terhadap harmoni sosial mampu meredam efek negatif yang ditimbulkan.
Memupuk Sikap
Penting bagi pemilih untuk memupuk sikap siap menang dan siap kalah. Baik sebelum, saat, maupun setelah pemungutan suara. Sebagaimana diketahui bersama, penghitungan suara oleh KPU secara manual berjenjang membutuhkan waktu beberapa hari. Namun, proses dan hasil hitung cepat (quick count) dari lembaga survei yang kredibel bisa disimak hanya beberapa jam setelah pemungutan usai.
Membangun sikap siap menang relatif lebih mudah. Karena itu, tidak sedikit pemilih yang memilih kandidat lantaran potensi menangnya lebih besar dan ingin menjadi bagian dari kemenangan tersebut (bandwagon effect). Lalu, apa yang perlu kita persiapkan untuk menjadi pemilih yang tidak hanya siap menang, tetapi juga siap apabila kalah?
Kita perlu sadar, pilkada bukan semata-mata soal kemenangan. Pilkada merupakan bentuk kontribusi kita sebagai warga negara dalam memperkuat sistem demokrasi. Karena itu, piha
Kita juga perlu sadar bahwa keputusan dalam pemilu bersifat kolektif. Jadi, hasil yang diperoleh belum tentu sesuai dengan keputusan pribadi kita. Apabila kandidat yang kita pilih kalah, tidak berarti kandidat tersebut buruk. Hanya, mayoritas pemilih menghendaki kandidat lain, apa pun atribusi yang melatarbelakanginya. Ya, itulah konsekuensi sistem demokrasi one man one vote.
Selain itu, kita perlu mengingat kembali adanya identitas sosial lebih luas yang menyatukan kita (superordinate identity). Kita mempunyai identitas yang sama, yaitu bagian dari masyarakat yang eksis bahkan sebelum pilkada digelar. Jadi, sayang rasanya jika kerukunan rusak hanya karena berbeda pilihan politik.
Upaya tersebut tentu perlu didukung kandidat yang berlaga. Kandidat yang menang perlu meyakinkan bahwa mereka akan memimpin secara inklusif tanpa menganaktirikan kelompok mana pun. Adapun kandidat yang kalah, mereka perlu menerima kekalahan dengan kesatria.(*)
*) MUHAMMAD ZULFA ALFARUQY, Dosen psikologi politik Universitas Diponegoro; mahasiswa S-3 doktor ilmu psikologi Universitas Gadjah Mada
k yang menang maupun yang kalah sebetulnya sama-sama telah berkontribusi.
0 comments:
Post a Comment