JAKARTA KONTAK BANTEN Kejaksaan Agung kemungkinan akan menjerat juga sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU)
“Bisa juga kita kenakan dengan TPPU selain pasal korupsi yang tidak saja merugikan keuangan negara tapi juga merugikan perekonomian negara,” tutur Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Febrie Adriansyah kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (14/03/2025).
Febrie menyebutkan semua upaya tersebut akan dilakukan pihaknya dalam rangka mengembalikan kerugian negara yang sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dalam kasus yang terjadi selama periode 2018-2023.
Seperti diketahui dugaan kerugian negara diperkirakan hampir Rp1.000 triliun. Karena untuk kerugian negara pada tahun 2023 saja mencapai Rp193,7 triliun. Sementara para tersangka sejauh ini baru disangka melanggar pasal Undang-Undang Tipikor yang merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara dan belum TPPU.
Yaitu Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP dan juga Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang mengatur soal uang pengganti sebagai salah satu sanksi tambahan bagi pelaku korupsi.
Adapun dari sembilan tersangka tersebut enam diantaranya petinggi dari anak usaha Pertamina. Mereka yaitu Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifudin selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional dan Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Kemudian Agus Purwono selalu VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
Sedangkan tiga tersangka lain dari swasta yaitu Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Sementara itu perbuatan culas yang dilakukan para tersangka berawal adanya peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.
Dimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 pada Peraturan Menteri ESDM disebutkan untuk memenuhi minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Namun kemudian dilakukan pengkondisian sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah dan produk kilang diperoleh dari impor.
Selain itu dalam pengadaan impor mentahnya diduga ada pemufakatan jahat sebelum tender. Sehingga seolah-olah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara mengkondisikan pemenangan DMUT/Broker
Kemudian Pertamina dalam impor mentah melalui PT PPN seolah-olah membeli Ron 92. Padahal yang dibeli hanya Ron 90 atau di bawahnya dan kemudian di blending menjadi Ron 92. Selain itu dalam impor minyak mentah diduga terjadinya mark up kontrak shipping (pengiriman).
Akibat dari perbuatan para tersangka tersebut negara untuk tahun 2023 saja dirugikan sebesar Rp193,7 triliun yang berasal dari sejumlah komponen. Antara lain kerugian dari ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun.
Kemudian dari impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun, dari impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, dari pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun dan pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
0 comments:
Post a Comment