TANGERANG KONTAK BANTEN Suasana haru menyelimuti Terminal 3 Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (24/8). Tangis bahagia bercampur lega pecah ketika tiga dokter relawan asal Indonesia yang baru saja menuntaskan misinya di Jalur Gaza, Palestina, akhirnya tiba kembali di tanah air. Mereka adalah bagian dari tim Emergency Medical Team (EMT) ke-4 yang dikirim oleh Yayasan Kemanusiaan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).
Namun kepulangan ini bukan semata berakhirnya tugas, melainkan juga
karena alasan yang pahit: Israel secara resmi memutus akses bagi seluruh
tim medis internasional yang selama ini menjadi tulang punggung
penanganan korban konflik di Gaza.
Keputusan ini membuat BSMI menjadi salah satu tim medis terakhir yang berhasil bertugas di sana.
Ketiga relawan, yakni dokter spesialis bedah Muhammad Iqbal El Mubarak, dokter spesialis anak Bambang serta dokter spesialis perawatan luka Annisa Anjani Ramadan, langsung disambut keluarga, kerabat, dan rekan seorganisasi. Pelukan erat dan air mata tumpah menyertai langkah mereka yang baru saja kembali dari medan krisis kemanusiaan paling memprihatinkan di dunia.
“Syukur Alhamdulillah, kami bisa kembali dengan selamat. Tapi hati kami masih tertinggal di Gaza, bersama pasien-pasien yang harus berjuang tanpa kepastian kapan bantuan medis kembali bisa masuk,” ungkap Iqbal sesaat setelah menginjakkan kaki di tanah air.
Selama 14 hari bertugas, para dokter relawan Indonesia menghadapi kenyataan memilukan. Rumah Sakit Al-Nasser di Khan Yunis dan Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza penuh sesak dengan korban luka akibat serangan udara dan darat Israel.
“Setiap hari, kurang lebih 800 pasien masuk ke Unit Gawat Darurat. Mayoritas kasus adalah trauma berat akibat ledakan bom dan tembakan senjata,” jelas Iqbal.
Minimnya ketersediaan obat dan alat medis membuat mereka harus bekerja dalam keterbatasan ekstrem. Bahkan, obat bius habis sehingga pasien terpaksa dijahit atau dioperasi tanpa anestesi.
“Bisa dibayangkan, kami harus menjahit luka robek pasien tanpa obat bius. Alat pun dipakai bergantian dan tidak sempat disterilkan. Dalam sehari, saya bisa menangani 4-5 pasien luka robek dengan kondisi seadanya,” tambahnya.
Tak hanya luka fisik akibat ledakan, relawan medis juga menyaksikan penderitaan yang jauh lebih kompleks. Annisa, yang khusus menangani perawatan luka, mengaku banyak menghadapi pasien dengan kondisi luka bakar serius.
“Kalau luka akibat ledakan, bukan hanya kulit yang rusak, tapi bisa sampai ke otot bahkan tulang. Jadi penanganan butuh kolaborasi antara dokter kulit, bedah, hingga perawat luka. Kami bekerja bersama dengan segala keterbatasan,” tuturnya.
Menurutnya, BSMI juga membawa bantuan suplai medis untuk penanganan luka, meski jumlahnya jauh dari cukup menghadapi kebutuhan ribuan korban setiap harinya.
Situasi di Gaza semakin genting. Menurut informasi yang diterima para relawan, Israel merencanakan serangan besar-besaran pada 9 Oktober mendatang. Kota Gaza menjadi target utama, sementara warga diarahkan untuk mengungsi ke Khan Yunis.
“Dari hari ke hari, kondisi makin memburuk. Kami tim medis harus
bertahan di rumah sakit karena tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin
kami mundur, sementara masyarakat sipil sangat membutuhkan pertolongan,”
tegas Iqbal.
Keputusan Israel menutup akses bagi relawan medis internasional menambah
penderitaan warga Gaza. Selama ini, keberadaan tim-tim medis dari
berbagai negara menjadi satu-satunya harapan untuk menambal krisis
kesehatan yang akut.
“Kami bisa dibilang tim terakhir yang berhasil bertugas di Gaza. Setelah ini, tidak ada lagi relawan medis internasional yang diizinkan masuk. Sampai kapan larangan ini berlaku, tidak ada yang tahu. Mungkin Oktober, bisa juga sampai Desember,” tambah Iqbal dengan nada muram.
Kepulangan tiga dokter relawan ini menandai selesainya misi EMT BSMI ke-40 sejak organisasi kemanusiaan itu berdiri. Meski akses kini ditutup, BSMI menegaskan bahwa upaya mereka membantu Palestina tidak akan berhenti.
Kepulangan para relawan membawa pesan penting bagi publik Indonesia: bahwa penderitaan di Gaza bukan sekadar berita di layar televisi, tetapi kenyataan yang dihadapi setiap hari oleh warga sipil.
“Kami menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak harus menahan sakit karena tidak ada obat bius. Bagaimana ibu-ibu harus pasrah melihat keluarganya dirawat dengan peralatan seadanya. Itu semua nyata adanya,” ungkap Annisa dengan suara bergetar.
Keluarga para relawan pun tak kuasa menahan tangis haru. Mereka lega karena anak, suami, atau saudara mereka pulang dengan selamat, namun juga bangga karena pengorbanan itu telah menjadi bagian dari perjuangan kemanusiaan.
Kisah kepulangan tiga dokter relawan BSMI menjadi potret kecil dari tragedi besar di Gaza. Di tengah blokade dan serangan, para tenaga medis adalah garda terakhir yang mempertahankan kehidupan.
Kini, dengan tertutupnya akses bagi relawan medis internasional, nasib ribuan pasien di Gaza semakin tidak pasti. Namun semangat kemanusiaan yang mereka bawa pulang ke Indonesia adalah pengingat bahwa solidaritas tidak mengenal batas negara.
0 comments:
Post a Comment