KEPUTUSAN pemerintah untuk memangkas transfer ke
daerah (TKD) dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 2026 dari Rp 919 triliun (US$56 miliar) menjadi Rp 693 triliun
mengejutkan banyak pihak. Meskipun kemudian dikembalikan Rp 43 triliun
setelah adanya protes dari para kepala daerah, pengurangan hampir
seperempat itu tetap menjadi tantangan besar. Bagi daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah, TKD bukan
sekadar dana tambahan, melainkan urat nadi sistem fiskal. Dana ini
membiayai gaji pegawai negeri sipil, tunjangan guru, layanan kesehatan,
dan pembangunan infrastruktur dasar. Karena itu, pemangkasan drastis
tanpa masa transisi justru melemahkan fondasi otonomi daerah.
Data tersebut menegaskan bahwa beberapa daerah memang kesulitan dalam penyerapan anggaran. Namun, mengatasi masalah ini dengan cara yang salah—ketika inefisiensi justru menjadi sebab sekaligus akibat -adalah keliru; seperti mengamputasi kaki hanya karena sepatu terasa sempit.
Richard Bird dan Christine Wallich dalam tulisannya “Fiscal decentralization and intergovernmental relations: toward a systematic framework of analysis” (Bank Dunia, 1993), menekankan bahwa desentralisasi fiskal hanya akan efektif bila kapasitas dan sumber daya administrasi daerah cukup kuat. Jika tidak, otonomi justru menjadi beban.
Indonesia saat ini sedang berada dalam masa transisi menuju kemandirian fiskal, dan kebijakan pemangkasan yang tiba-tiba ini menjadi ujian prematur.
Ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer dari pemerintah pusat terlalu besar untuk dihentikan secara tiba-tiba. Data dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa sekitar 70 persen dari 514 kabupaten dan kota masih bergantung pada transfer pusat untuk membayar gaji pegawai, mempertahankan layanan dasar, dan menyelesaikan proyek daerah.
Secara nasional, PAD hanya menyumbang sekitar 29 persen dari total pendapatan daerah, sementara TKD mencapai 64 persen. Di banyak wilayah terpencil, ketergantungan ini bahkan melebihi 80 persen. Artinya, pemangkasan TKD hampir 30 persen otomatis akan melumpuhkan kapasitas fiskal daerah-daerah tersebut.
Meskipun pemotongan TKD mungkin tampak logis di atas kertas, kebijakan ini sulit diterapkan di lapangan. Banyak daerah belum memiliki sumber daya manusia, kerangka regulasi, maupun ekosistem yang memadai untuk melaksanakan solusi “pembiayaan kreatif” seperti yang diusulkan Kementerian Keuangan, misalnya kerja sama publik-swasta.
Tanpa adanya fase transisi yang krusial, kebijakan ini berisiko melumpuhkan fungsi dasar pemerintahan—mulai dari pembayaran gaji pegawai negeri, tunjangan guru, hingga pemeliharaan jalan di desa. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melihat kebijakan ini bukan sekadar sebagai langkah penghematan, tetapi sebagai peluang untuk melakukan inovasi fiskal.
Dua pendekatan baru menawarkan kombinasi yang layak dipertimbangkan: kotak pasir fiskal (fiscal sandbox) dan transfer berbasis komunitas.
Kotak pasir fiskal akan menetapkan beberapa daerah terpilih sebagai laboratorium kebijakan untuk menguji model-model baru desentralisasi fiskal. Pemerintah pusat akan menerapkan pengurangan dana secara bertahap, memberikan fleksibilitas regulasi, dan menyediakan pendampingan teknis intensif dari Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta kalangan akademisi. Ini sejalan dengan model regulatory sandbox di sektor keuangan digital, yang meminimalkan risiko sekaligus memaksimalkan ruang untuk eksperimen.
Model semacam itu memungkinkan pemerintah menilai secara langsung kemampuan daerah beradaptasi -khususnya dalam meningkatkan PAD, menekan inefisiensi belanja, dan memanfaatkan kemitraan publik -swasta- tanpa mengacaukan stabilitas keuangan daerah. Keuntungan utamanya adalah kegagalan dapat dikendalikan dan diukur.
Dengan cara ini, pemerintah bisa menghindari risiko sistemik nasional akibat pelaksanaan uji coba serentak di lebih dari 500 daerah otonom. Daerah-daerah yang paling bergantung pada TKD sebaiknya diprioritaskan dalam uji coba ini, dengan mekanisme evaluasi berbasis data dan partisipasi publik.
Secara historis, TKD disalurkan secara vertikal -dari pemerintah pusat langsung ke tingkat desa. Akibatnya, setiap guncangan terhadap keuangan daerah langsung berdampak pada masyarakat akar rumput. Karena itu, skema baru dapat diuji melalui transfer berbasis komunitas, yaitu dengan mengalokasikan sebagian TKD langsung kepada kelompok masyarakat, koperasi, atau lembaga desa melalui sistem proposal terbuka.
Komunitas-komunitas ini dapat mengajukan proyek-proyek mikro melalui platform digital yang diverifikasi pemerintah -seperti proyek irigasi kecil, sanitasi, atau inisiatif ekonomi lokal. Mekanisme ini dapat memperkuat partisipasi publik dan akuntabilitas, sekaligus menjadi jaring pengaman ketika anggaran resmi daerah mengalami keterlambatan atau kekurangan.
Program lintas kementerian yang sudah ada, seperti Regional Village Rural Cooperatives (KMD), bisa menjadi model awal, dengan potensi alokasi 5-10 persen dari TKD kabupaten untuk inisiatif berbasis komunitas. Pendekatan ini secara mendasar mendefinisikan ulang desentralisasi -menggeser fokus dari transfer pusat-ke-daerah menjadi pemberdayaan negara-ke-warga (state-to-citizen empowerment).
Untuk mewujudkan visi ini, diperlukan langkah konkret. Pertama, pemotongan harus dilakukan secara bertahap -tidak lebih dari 25 persen per tahun dan hanya 10–15 persen per semester.
Kedua, pendampingan intensif sangat penting, dengan membentuk satuan tugas teknis gabungan antar kementerian dan universitas.
Ketiga, perlu ada skema insentif yang memberi penghargaan kepada daerah-daerah yang berhasil meningkatkan PAD atau mempercepat penyerapan anggaran dengan tambahan dana fleksibel.
Keempat, alokasi berbasis komunitas harus memprioritaskan penerima transfer langsung dengan menggunakan data kemiskinan dan metrik partisipasi desa.
Terakhir, transparansi digital wajib diterapkan. Semua realisasi belanja dari skema kotak pasir dan transfer komunitas harus dipublikasikan di dasbor terbuka yang dapat diakses publik.
Sebagaimana diamanatkan oleh gerakan reformasi 1998, desentralisasi menuntut pembagian tanggung jawab dan kapasitas—bukan sekadar distribusi uang. Pemangkasan TKD sebenarnya menawarkan momen penting untuk koreksi, asalkan tidak diberlakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Dengan menerapkan model kotak pasir fiskal dan transfer komunitas, pemerintah dapat memanfaatkan krisis ini sebagai laboratorium kebijakan yang produktif. Ini adalah langkah untuk memperbaiki kontrak fiskal antara pusat dan daerah, menjadikan sistem lebih adaptif, partisipatif, dan benar-benar berorientasi pada warga negara.
Jika kebijakan ini dijalankan berdasarkan prinsip belajar, bukan sekadar menerima, desentralisasi fiskal Indonesia pada akhirnya dapat mencapai tingkat kematangan yang lebih tinggi.
Gde Siriana Yusuf
(Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan kandidat doktor Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran)
Catatan: artikel ini telah tayang di The Jakarta Post edisi 20 Oktober 2025 dengan judul "Fiscal Sandbox and Community Transfers Amid Cuts".
Alasan pemerintah adalah efisiensi fiskal
dan upaya menekan penumpukan dana menganggur di kas daerah. Meskipun
penyaluran TKD 2023 mencapai Rp 644,9 triliun hingga September 2025,
saldo menganggur di rekening umum kas daerah masih mencapai Rp 233,1
triliun.
Data tersebut menegaskan bahwa beberapa daerah memang kesulitan dalam penyerapan anggaran. Namun, mengatasi masalah ini dengan cara yang salah—ketika inefisiensi justru menjadi sebab sekaligus akibat -adalah keliru; seperti mengamputasi kaki hanya karena sepatu terasa sempit.
Richard Bird dan Christine Wallich dalam tulisannya “Fiscal decentralization and intergovernmental relations: toward a systematic framework of analysis” (Bank Dunia, 1993), menekankan bahwa desentralisasi fiskal hanya akan efektif bila kapasitas dan sumber daya administrasi daerah cukup kuat. Jika tidak, otonomi justru menjadi beban.
Indonesia saat ini sedang berada dalam masa transisi menuju kemandirian fiskal, dan kebijakan pemangkasan yang tiba-tiba ini menjadi ujian prematur.
Ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer dari pemerintah pusat terlalu besar untuk dihentikan secara tiba-tiba. Data dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa sekitar 70 persen dari 514 kabupaten dan kota masih bergantung pada transfer pusat untuk membayar gaji pegawai, mempertahankan layanan dasar, dan menyelesaikan proyek daerah.
Secara nasional, PAD hanya menyumbang sekitar 29 persen dari total pendapatan daerah, sementara TKD mencapai 64 persen. Di banyak wilayah terpencil, ketergantungan ini bahkan melebihi 80 persen. Artinya, pemangkasan TKD hampir 30 persen otomatis akan melumpuhkan kapasitas fiskal daerah-daerah tersebut.
Meskipun pemotongan TKD mungkin tampak logis di atas kertas, kebijakan ini sulit diterapkan di lapangan. Banyak daerah belum memiliki sumber daya manusia, kerangka regulasi, maupun ekosistem yang memadai untuk melaksanakan solusi “pembiayaan kreatif” seperti yang diusulkan Kementerian Keuangan, misalnya kerja sama publik-swasta.
Tanpa adanya fase transisi yang krusial, kebijakan ini berisiko melumpuhkan fungsi dasar pemerintahan—mulai dari pembayaran gaji pegawai negeri, tunjangan guru, hingga pemeliharaan jalan di desa. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya melihat kebijakan ini bukan sekadar sebagai langkah penghematan, tetapi sebagai peluang untuk melakukan inovasi fiskal.
Dua pendekatan baru menawarkan kombinasi yang layak dipertimbangkan: kotak pasir fiskal (fiscal sandbox) dan transfer berbasis komunitas.
Kotak pasir fiskal akan menetapkan beberapa daerah terpilih sebagai laboratorium kebijakan untuk menguji model-model baru desentralisasi fiskal. Pemerintah pusat akan menerapkan pengurangan dana secara bertahap, memberikan fleksibilitas regulasi, dan menyediakan pendampingan teknis intensif dari Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta kalangan akademisi. Ini sejalan dengan model regulatory sandbox di sektor keuangan digital, yang meminimalkan risiko sekaligus memaksimalkan ruang untuk eksperimen.
Model semacam itu memungkinkan pemerintah menilai secara langsung kemampuan daerah beradaptasi -khususnya dalam meningkatkan PAD, menekan inefisiensi belanja, dan memanfaatkan kemitraan publik -swasta- tanpa mengacaukan stabilitas keuangan daerah. Keuntungan utamanya adalah kegagalan dapat dikendalikan dan diukur.
Dengan cara ini, pemerintah bisa menghindari risiko sistemik nasional akibat pelaksanaan uji coba serentak di lebih dari 500 daerah otonom. Daerah-daerah yang paling bergantung pada TKD sebaiknya diprioritaskan dalam uji coba ini, dengan mekanisme evaluasi berbasis data dan partisipasi publik.
Secara historis, TKD disalurkan secara vertikal -dari pemerintah pusat langsung ke tingkat desa. Akibatnya, setiap guncangan terhadap keuangan daerah langsung berdampak pada masyarakat akar rumput. Karena itu, skema baru dapat diuji melalui transfer berbasis komunitas, yaitu dengan mengalokasikan sebagian TKD langsung kepada kelompok masyarakat, koperasi, atau lembaga desa melalui sistem proposal terbuka.
Komunitas-komunitas ini dapat mengajukan proyek-proyek mikro melalui platform digital yang diverifikasi pemerintah -seperti proyek irigasi kecil, sanitasi, atau inisiatif ekonomi lokal. Mekanisme ini dapat memperkuat partisipasi publik dan akuntabilitas, sekaligus menjadi jaring pengaman ketika anggaran resmi daerah mengalami keterlambatan atau kekurangan.
Program lintas kementerian yang sudah ada, seperti Regional Village Rural Cooperatives (KMD), bisa menjadi model awal, dengan potensi alokasi 5-10 persen dari TKD kabupaten untuk inisiatif berbasis komunitas. Pendekatan ini secara mendasar mendefinisikan ulang desentralisasi -menggeser fokus dari transfer pusat-ke-daerah menjadi pemberdayaan negara-ke-warga (state-to-citizen empowerment).
Untuk mewujudkan visi ini, diperlukan langkah konkret. Pertama, pemotongan harus dilakukan secara bertahap -tidak lebih dari 25 persen per tahun dan hanya 10–15 persen per semester.
Kedua, pendampingan intensif sangat penting, dengan membentuk satuan tugas teknis gabungan antar kementerian dan universitas.
Ketiga, perlu ada skema insentif yang memberi penghargaan kepada daerah-daerah yang berhasil meningkatkan PAD atau mempercepat penyerapan anggaran dengan tambahan dana fleksibel.
Keempat, alokasi berbasis komunitas harus memprioritaskan penerima transfer langsung dengan menggunakan data kemiskinan dan metrik partisipasi desa.
Terakhir, transparansi digital wajib diterapkan. Semua realisasi belanja dari skema kotak pasir dan transfer komunitas harus dipublikasikan di dasbor terbuka yang dapat diakses publik.
Sebagaimana diamanatkan oleh gerakan reformasi 1998, desentralisasi menuntut pembagian tanggung jawab dan kapasitas—bukan sekadar distribusi uang. Pemangkasan TKD sebenarnya menawarkan momen penting untuk koreksi, asalkan tidak diberlakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Dengan menerapkan model kotak pasir fiskal dan transfer komunitas, pemerintah dapat memanfaatkan krisis ini sebagai laboratorium kebijakan yang produktif. Ini adalah langkah untuk memperbaiki kontrak fiskal antara pusat dan daerah, menjadikan sistem lebih adaptif, partisipatif, dan benar-benar berorientasi pada warga negara.
Jika kebijakan ini dijalankan berdasarkan prinsip belajar, bukan sekadar menerima, desentralisasi fiskal Indonesia pada akhirnya dapat mencapai tingkat kematangan yang lebih tinggi.
Gde Siriana Yusuf
(Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan kandidat doktor Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran)
Catatan: artikel ini telah tayang di The Jakarta Post edisi 20 Oktober 2025 dengan judul "Fiscal Sandbox and Community Transfers Amid Cuts".







0 comments:
Post a Comment