Meminjam istilah Demokrasi Milik Rakyat , pemilu tahun 2019 dan pileg 2019 sangatlah “ngerih-ngerih sedap”. Kita dipertontonkan mengenai pentingnya dan sakralnya sebuah jabatan. Harga mati sebuah kemenangan yang ditempuh dengan cara-cara yang “gokil”. Sesama saudara saling hantam, hujat, bahkan ada yang berani tidak mensholatkan jenazah tetangga hanya karena berbeda calon. Pertarungan yang mungkin akan mencapai puncaknya di tahun 2019.
Saya
sendiri kurang mengetahui sejak kapan kita percaya dan menganut pada
sistem pemilihan kepala daerah dan Presiden dengan cara seperti yang ada
sekarang. Saya pribadi masih belum mampu dan berani mengartikan
demokrasi sebagaimana yang terjadi sekarang.
Kalau orang-orang
pandai menyambut dengan serius ajang pilkada sampai pemilu, saya berani
katakan bahwa rakyat kecil menganggap itu sebagai pementasan “ketoprak”.
Bahkan, di warung kopi dekat rumah, seorang bapak mengomentari foto
calon kepala daerahnya sendiri dengan nada sartir, kata beliau, “gayanya
pasang spanduk gede-gede sambil senyum. Baru 3 bulan paling juga sudah
ketangkep KPK!”, ada juga yang berkomentar, “memsang foto wajah sendiri
sambil janji-janji, apa enggak malu ya?”
Sebenarnya, masih cukup
banyak obrolan-obrolan saya dengan tetangga dan warga mengenai calon
kepala daerah sampai calon presiden yang lebih “sartir” dari yang di
atas. Hanya saja, demi kedaulatan kami sebagai rakyat saya merasa tak
harus ditulis pula di sini.
Dari sekian banyaknya komentar, yang ngena
di dalam benak saya adalah mengenai rasa malu ketika “menjajakan diri”
agar dipilih. Barangkali, karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan saya,
saya pribadi sampai saat ini belum menemukan alasan adanya nilai harga
diri yang tinggi dari proses “menawarkan diri” sebagai pemimpin.
Sistem
demokrasi yang saat ini kita jalani, bagi saya pribadi dalam proses
penerapannya masih “kurang tepat”. Pemahaman kita mengenai demokrasi
“mentok” pada kalimat “memilih langsung”. Kita mesti berendah hati untuk
terus-menerus mencari sistem dan konsep yang baik dan tepat.
Susahnya,
di Indonesia adalah ketika anda mengkritik sistem yang saat ini sedang
berjalan, tuduhan pro orde baru sampai antri demokrasi akan langsung
menghujani anda. Sebagaimana jika anda menyimpan kekaguman yang luar
biasa kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan menghayati rasa sedih
peristiwa Karbala tuduhan syiah akan melayang kepada anda. Sehingga
kajian terhadap sistem yang belum “pas” saat ini mandek dan kita
menjalani saja apa yang ada dengan mempertaruhkan masa depan yang sangat
gelap.
Proses Memilih Pemimpin
Benar,
bahwa demokrasi pertama dicetuskan oleh orang Amerika. Namun, bukan
berarti kita meniru mentah-mentah pelaksanaan demokrasi yang ada di
Amerika. Harus ada ijtihad serius mulai dari prinsip bernegara sampai
budaya yang ada di masyarakat itu sendiri.
Proses memilih pemimpin
yang saat ini terjadi mulai dari tingkat desa sampai kepala negara,
bagi saya pribadi sangat tidak manusiawi. Sistem yang kita anut saat ini
tidak menempatkan manusia sebagai makhluk mulia, yang punya harga diri,
kerendahan hati, dan sebagai makhluk yang tidak terlalu senang kalau
aibnya terbuka.
Sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi kita
hanya dididik untuk menjadi pemimpin. Padahal, semestinya kita juga
dididik untuk memiliki kualitas supaya dipilih.
Kalau kita lihat
sejarah, misalnya saja zaman setelah Rasulullah SAW wafat, mulai dari
Khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman, sampai Ali tidak ada satu pun dari
mereka yang mengajukan diri menjadi pemimpin. Beliau-beliau mencontohkan
kepada kita tentang pentingnya bercermin. Sebab sedekat apa pun kita
dengan Rasulullah SAW dan sehebat apa pun nilai kita di mata masyarakat,
kita tetap makhluk yang tak lepas dari rasa khilaf. Beliau-beliau juga
mencotohkan bahwa menjadi pemimpin bukanlah jabatan, melainkan amanah
dari suatu komunitas baik dalam lingkup yang kecil hingga yang besar
adalah sebuah tanggung jawab.
Proses memilih pemimpin sejak Khulafaurrasyidin sampai
masa kerajaan-kerajaan sesungguhnya memiliki kemiripan. Di mana yang
memilih dan melantik pemimpin adalah orang-orang yang diberikan
kepercayaan untuk melakukan musyawarah memilih pemimpin. Rakyat
diberikan keyakinan bahwa orang-orang yang diberikan amanat adalah
orang-orang yang memiliki kelengkapan ilmu dan kualitas hidup yang
pantas untuk menunjuk seorang pemimpin. Merekalah para ulama, pandhito,
kerabat raja, dan kaum cendikiawan.
Akan tetapi, proses tidak
berhenti sampai di situ. Ada suatu sistem dan budaya yang memberikan
ruang bagi rakyat untuk menghayati siapa pemimpin mereka. Dan
pemimpin-pemimpin yang melanggar nilai-nilai bernegara, bersosial, adat
dan tradisi biasanya tidak akan mendapatkan legitimasi dari rakyat.
Sehingga, proses penilaian rakyat terhadap calon maupun pemimpinnya
tidak berlandaskan pada program-program yang diutarakan, melainkan
berlandaskan pada kualitas kemanusiaannya.
Sebab
program kerja adalah hal yang sangat mudah untuk diutarakan, namun
melaksanakannya tak semudah memasak mie instan. Kenapa? Sebab hari ini
berbeda dengan hari esok. Bulan ini berbeda dengan bulan esok. Dan tahun
ini berbeda dengan tahun esok. Bukan program kerjalah yang membuat ia
layak menjadi pemimpin, melainkan caranya menyikapi persoalan,
pergantian zaman, hingga pergulatan hidup antar manusia yang berubah
sangat cepat.
Kalau benar negara ini adalah negara dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, mestinya yang ada bukan debat calon
pemimpin. Tetapi diskusi dari rakyat mengenai calon-calon pemimpin yang
dicalonkan, baik itu oleh partai politik, organisasi non politik, sampai
para pemuka agama.
Kalau kita terus mempertahankan sistem yang
saat ini ada, maka sampai kapan pun kita tidak pernah memilih pemimpin.
Yang ada adalah kita “dipaksa” memilih pemimpin yang mereka calonkan.
Kalau
orang-orang yang diberikan hak oleh undang-undang mencalonkan pemimpin
itu kualitas kemanusiaan dan hidupnya layaknya para sahabat Nabi, para
Waliyullah, Wali Songo, kita akan percaya-percaya saja. Yang jadi
masalah, partai-partai politik yang berhak mencalonkan pemimpin itu
tidak dapat dijamin bahwa ia mencalonkan sseorang untuk menjadi pemimpin
murni demi kepentingan rakyat dan negara. Itulah kenapa kita butuh
pengawasan. Dan yang berhak mengawasinya adalah kita, rakyat. Ingat,
rakyat!
Bukan kaum cerdik pandai yang berdebat di forum terbuka
maupun di televisi. Harus rakyat! Dari tingkat RT sampai Provinsi.
Mendiskusikan apakah yang dicalonkan layak untuk dicalonkan atau tidak.
Tidak ujug-ujug kita disuruh memilih yang mereka pilihkan.
0 comments:
Post a Comment