Jogja Istimewa. Sebutan untuk Kota Pelajar yang beberapa tahun
terakhir ini mulai dikenal masyarakat seluruh Indonesia, mungkin. Jogja
atau Yogya atau Yogyakarta. Jogja yang saya maksud disini adalah Daerah
Istimewa Yogyakarta, bukan sekedar kota Yogya tapi 4 kabupaten lainnya
yakni: Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo. Jogja memiliki
tempat sendiri di hati saya. Setiap akan meninggalkan tempat kelahiran
saya ini, saya selalu berharap dapat segera kembali. Bahkan suasana
stasiun atau bandara selalu jadi momen mengharukan untuk berpisah.
Mungkin karena ini tempat kelahiran saya jadi saya merasa Jogja adalah
rumah saya. Saya merasa memiliki. Bahkan sebagai orang yang terlahir
disini saya merasa malu kalau sampai tersesat di tempat yang sudah
seharusnya saya tahu. Dan malu ketika orang lain menanyakan jalan dan
saya tidak tahu.
Saya tidak tahu bagaimana
‘rasa memiliki’ orang-orang Jogja terhadap kotanya ini. Apa sekedar
karena dia terlahir di Jogja ? Yang mengaku kalau orang Jogja tapi tidak
tahu dan tidak bisa bahasa Jawa banyak. Tapi agak gimana walaupun
alasannya klasik, tidak diajari orang tua nya bahasa Jawa. Ya jelas
sekarang habis lahir langsung dicekoki bahasa Indonesia aja. Malu
mungkin kalau udah gede anaknya kalau bicara ‘medok’. Padahal
orang-orang Jogja tidak se’medok’ aktor/aktris FTV yang luar biasa
berlebihan itu dalam menirukan orang Jawa. Hahaha. Tapi tidak masalah
selama mereka tidak bisa berbahasa Jawa masih bisa ‘menjaga’ Jogja.
Sesederhana itu.
Jogja yang padat. Titik-titik
macet mulai bermunculan. Setelah melihat antrian BBM mengular beberapa
waktu lalu saya merasa Jogja semakin padat. Mungkin karena padatnya itu
orang-orang yang bertempat tinggal di Jogja menyederhanakan masalah
dengan menggunakan kendaraan pribadi. Mungkin agar tidak kepanasan. Tapi
suka kesel kalau melihat satu mobil isinya sopir aja seorang gitu makan
jalan sedangkan pengguna jalan yang lain berderet-deret mencari celah
untuk melanjutkan perjalanan. Dan akan terus begitu. Seperti hasil
penelitian tugas akhir saya beberapa waktu lalu saya mendapat data dari
artikel KR Senin, 23 September 2013 sebagai berikut:
“Jumlah
kendaraan bermotor berplat AB di DIY pada tahun 2010 mencapai 1,15 juta
kendaraan, pada tahun 2011 tercatat 1,27 juta kendaraan, kemudian naik
menjadi 1,43 juta kendaraan. Sedangkan untuk tahun 2013 ini diperkirakan
jumlah kendaraan bermotor di DIY bakal mencapai lebih dari 1,6 juta
kendaraan. Perbandingan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya mobil
15 persen sedangkan motor sebesar 85 persen dari jumlah total kendaraan
setiap tahunnya”
Itulah.
Transportasi umum di Jogja semakin punah. Bus Trans Jogja tidak
menjangkau semua wilayah. Bus antarkota makin jarang. Rendahnya
kesadaran untuk berhemat energi kian mengkhawatirkan, bukan ? Masyarakat
Jogja lebih menyederhanakan masalah dengan menggunakan kendaraan
pribadi yang tanpa kami sadari akan menjadi bom atom bagi kami sendiri.
Macet. Seperti di ibukota, Jakarta.
Sebagai masyarakat Jogja pasti mengenal kegiatan Jogja Last Friday Night (JLFR) yang diadakan tiap hari Jumat dalam minggu terakhir bulan. Ironisnya, tak jarang event
ini menimbulkan reaksi pengguna kendaraan bermotor. Menuhin jalan lah
bikin macet lah. Padahal justru kegiatan tersebut bisa menjadi sarana
mengkampanyekan hemat energi.
Padatnya Jogja juga tidak hanya dari sisi pengguna jalan. Pengguna lahan juga semakin padat. Terutama pembangunan hotel dan mall.
Ironis juga kalau mengistimewakan Jogja tapi pemerintahannya sendiri
kurang bijak dan kurang mengerti keadaan wilayahnya. Mereka dengan mudah
memberikan ijin pendirian hotel dan mall yang membuat ruang hijau Jogja makin sempit. Apa hanya karena ingin untungnya saja ?
Melihat
itu mungkin kami bahkan pemerintah disini masih mengistimewakan Jogja
dengan sederhana. Sekedar karena tempat lahir kami.
Baru-baru
ini ada kasus mbak Florence yang menghebohkan masyarakat Jogja
sampai-sampai dilaporkan ke pihak berwajib. Benarkah sebegitu ekstremnya
‘rasa memiliki’ masyarakat Jogja terhadap kotanya ? Sempat saya merasa
kasus ini berlebihan kalau hanya karena fanatisme kedaerahan semata.
Mungkin saat itu mbak yang bersangkutan sedang lelah. Seperti kita kalau
sedang lelah mungkin diantara kita pernah mengumpat di sosial media
bahkan mengata-ngatai seseorang atau instansi manapun karena saking
jengkelnya. Wajar menurut saya. Saya pun pernah melakukan hal yang
demikian meskipun saya tidak menggunakan kalimat untuk mengumpat. Saya
lebih sering menyampaikannya dalam kalimat panjang seperti artikel
setidaknya agar orang lebih mudah memahami apa yang akan saya sampaikan.
Tapi sialnya mbak yang bersangkutan sedang ada di publik mayoritas
masyarakat Jogja yang sangat sensitif terhadap nilai-nilai keistimewaan
Jogja. Saya menyebutnya termasuk ke fanatisme kedaerahan. Entahlah
mungkin karena kami sesama dilahirkan disini. Bukan karena sepenuhnya
kami mengerti betul tentang keistimewaan kota Jogja. Atau mungkin ada
yang mengerti betul tapi itu bukan saya. Kenapa saya merasa merasa sakit
hati dengan pernyataan mbak yang bersangkutan atau siapapun yang
mengusik Jogja adalah karena saya merasa memiliki dan merupakan bagian
dari tempat kelahiran saya ini. Itulah pemikiran sederhana saya tentang
istimewanya Jogja.
Saya berpikir pak Ridwan
Kamil juga merasa seperti itu terhadap kota Bandung ketika menanggapi
pernyataan akun twitter @kemalsept terhadap kota Bandung. Tentu
masyarakat Kota Bandung akan merasakan hal yang sama seperti yang
dirasakan masyarakat Jogja. Bagaimana dengan masyarakat Surabaya, Banten Medan,
Makassar, atau kota-kota lainnya ? Tentunya wajar kan ? Karena kita
sama-sama masih punya rasa memiliki terhadap tempat kelahiran kita.
ketika membaca surat kabar ada berita
tentang kunjungan yang bersangkutan kepada Sultan HB X yang mewakili
masyarakat Jogja untuk memperjelas duduk permasalahan dari kasus
tersebut.
Sebagai orang Indonesia akhirnya
harus kita ingat lagi peribahasa “Dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung.” dimana kita berada disitu kita juga harus menyesuaikan
dengan adat-istiadat yang ada. Indonesia yang terdiri dari beragam suku
dan budaya tentu sulit untuk mengaturnya. Tiap-tiap manusianya harus
mempunyai rasa saling menghormati dan menghargai untuk bisa beradaptasi
dengan wilayah yang ia tempati. Fanatisme kedaerahan seharusnya juga
disertai ‘rasa memiliki’ yang bertanggungjawab. Bukan hanya sekedar
tempat kelahiran tetapi juga ada rasa untuk menjaga dan mengembangkan
daerah kita sendiri agar aman dan nyaman untuk siapapun yang
mengunjunginya.
Dan untuk Jogja, saya selalu
menyukai tiap perjalanan pulang tengah malam saya melintasi Jogja karena
kelihatan Jogja yang sepi, banyak bangunan tua, dan lampu kota. Jogja
banget. Tidak seperti di siang hari yang mulai ruwet dengan segala
aktivitasnya. Jogja yang padat pada akhirnya adalah akibat dari
rendahnya kesadaran kami untuk menjaga Jogja.







0 comments:
Post a Comment