SUDAH menjadi fitrah manusia untuk hidup
berkelompok, bermasyarakat atau hidup dalam kebersamaan. Sehebat apa pun
kemampuannya, setinggi apa pun ilmu, pangkat, jabatan dan kedudukan,
seluas apa pun hartanya, sebagai manusia akan selalu membutuhkan bantuan
orang lain. Itulah fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang sejak
kelahirannya sudah dalam satuan yang terkecil, yakni keluarga. Kemudian
tumbuh berkembang dalam kelompok masyarakat, lebih luas lagi bangsa dan
negara.
Maknanya hidup bermasyarakat – hidup dalam kebersamaan adalah sebuah
kebutuhan. Ini sejatinya modal utama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang jika dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah kekuatan
besar mengisi kemerdekaan, demi mewujudkan cita – cita negeri kita.
Hanya saja realita tak dapat dipungkiri, kebersamaam pada masa
perjuangan tentu sangatlah jauh berbeda dengan era sekarang. Begitu pun
ketika kita dihadapkan kepada upaya membangun kebersamaan yang di
dalamnya terdapat keberagaman. Beragam dalam tradisi,budaya, etnis dan
agama. Sebagai bangsa yang majemuk dan multikultural, kadang dihadapkan
pada realitas yang cukup rumit.
Bung Karno sendiri sejak awal kemerdekaan telah berpesan kepada pemuda, generasi penerus bangsa lewat pernyataannya “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”
Saat itu, boleh jadi kita bertanya – tanya bagaimana mengusir
penjajah lebih mudah, ketimbang melawan bangsa sendiri? Tetapi pesan itu
belakangan dapat kita cerna, apa makna yang terkandung di dalamnya.
Melawan bangsa sendiri bukan berarti berperang secara fisik sebagaimana mengusir penjajah.
Kalau pun dikatakan berperang adalah perang melawan ego pribadi dan intoleransi. Satu sikap yang jauh dari nilai – nilai dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Kalau pun dikatakan berperang adalah perang melawan ego pribadi dan intoleransi. Satu sikap yang jauh dari nilai – nilai dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Era kini, kita menyaksikan keberagaman masih menjadi embrio pemicu
terjadinya konflik, permusuhan dan kebencian satu sama lain. Meski
konflik tersebut tidak semata berlatar belakang perbedaan, tetapi dapat
menghambat terciptanya kebersamaan.
Membangun kebersamaan di atas keberagamam memang memerlukan waktu dan
proses yang sangat panjang. Tidak semudah membalik telapak tangan.
Perlu kesabaran dan kesadaran bagi semua pihak yang terlibat di
dalamnya. Perlu ketulusan untuk melibatkan diri dan menjadi bagian dari
orang lain, bagian dari masyarakat.
Jika sudah melebur dalam keluarga besar yang disebut bangsa,
hendaknya disertai dengan menanggalkan ego pribadi dan kelompok. Kedua
ego tadi ikut melebur ke dalam ego yang lebih besar lagi, yakni ego
(kepentingan) nasional.
Kita tentu berkehendak hidup bersama bukan sebatas bersama dalam
artian fisik, tetapi ada kebersamaan. Ini dibutuhkan sikap toleransi,
saling peduli, saling berbagi sebagaimana sebuah keluarga.
Menahan diri untuk tidak terprovokasi. Singkirkan prasangka buruk
dengan mencari- cari kesalahan orang lain. Tak ada lagi kepentingan
pribadi dan kelompok karena semuanya sudah terakomodir dan melebur
menjadi kepentingan bersama.
Harapan ini bukan mimpi, tetapi obsesi yang diyakini dapat
terealisasi, jika negara melalui aparat dan pejabatnya di semua
tingkatan, baik di pusat dan daerah tampil memberi teladan melalui upaya
konkret menyatukan keberagaman.
Untuk membangun kebersamaan, perlu mewujudkan kesetaraan bagi seluruh rakyat.
Kesetaraan memperoleh keadilan, kesetaraan memperoleh pembangunan dan kesetaraan menikmati pemerataan pembangunan.
Kesetaraan memperoleh keadilan, kesetaraan memperoleh pembangunan dan kesetaraan menikmati pemerataan pembangunan.
Kuncinya membangun kebersamaan adalah mewujudkan kesetaraan.
Secara etimologi, kesetaraan berarti sejajar – sepadan – seimbang – sama tingkatannya ( kedudukannya).
Secara etimologi, kesetaraan berarti sejajar – sepadan – seimbang – sama tingkatannya ( kedudukannya).
Dalam konteks kebersamaan, kesetaraan adalah memiliki status yang
sama, hak yang sama di bawah hukum, kesempatan yang sama dalam mengakses
hasil pembangunan.
Selama masih ada ketimpangan, selagi belum ada kesetaraan, maka upaya
membangun kebersamaan guna memperkokoh persatuan dan kesatuan akan
terus menghadapi problema.
Itu tanggung jawab negara mewujudkannya melalui aparatur
pemerintahannya sebagaimana amanat UUD 1945 yang mengajarkan kesetaraan,
kemajemukan, dan kebersamaan.
Bagi kita sebagai anggota keluarga besar bangsa, sebagai warga negara
dituntut kepedulian dari masing-masing pribadi dalam membangun
kebersamaan. Sekecil apa pun peran kita sebagai anggota masyarakat akan
menjadi sumbangsih bagi bangsa dan negara menggapai cita- cita.
Mari kita bangun kebersamaan dengan menyingkirkan problema dari
hadapan kita. Membangun kebersamaan bukan sebatas kata, tapi juga perlu
aksi nyata.
Ada ungkapan “Bersama-sama adalah sebuah awal, menjaga kebersamaan adalah sebuah perkembangan dan bekerja bersama adalah sebuah kesuksesan.”
Mari nikmati semua kebersamaan, sebelum semuanya hanya tinggal kenangan







0 comments:
Post a Comment