Komunikasi dapat diartikan sebagai sebuah proses pertukaran informasi
antara satu individu dengan individu lainnya dengan melalui perantara
terntentu dan diharapakan adanya feedback dari individu yang
menerima informasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi
merupakan sebuah proses, yang melibatkan dua atau lebih orang dalam satu
waktu, dan ada informasi yang dipertukarkan di dalamnya. JIka kita
membicarakan mengenai sebuah komunikasi pembangunan, maka kita harus
mengetahui definisi umum dari pembangunan secara luas yang menganut
paradigma kekinian.
Pembangunan dalam arti luas merupakan sebuah proses perubahan sosial
dalam masyarakat yang direncanakan untuk menyempurnakan, baik kemajuan
sosial dan material, termasuk peningkatan persamaan, kebebasan, dan
nilai-nilai kualitas lainnya, untuk kesejahteraan manusia melalui
peningkatan kontrol yang lebih besar di lingkungan mereka (Rogers dan
Hart, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan kekinian dalam
pengertian ini tidak hanya membertimbangkan peningkatan ekonomi saja,
namun sudah lebih memperhatikan aspek manusia dan aspek-aspek lainnya,
dalam rangka peningkatan harkat hidup manusia menuju kemandirian untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.
Jika mengkaitkan satu dan lain manusia, dalam rentang waktu yang
bersamaan, maka terjadi sebuah pertukaran di dalamnya. Pembangunan
merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang, dalam suatu Negara, dan
dalam waktu yang bersamaan. Tidak seluruh masyarakat mengerti akan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya, baik karena keterbatasan
pendidikan bagi masyarakat, karena umumnya, masyarakat yang menjadi
fokus utama program-program pembangunan yang direncanakan oleh
pemerintah adalah mereka yang hidup dalam sebuah keterbatasan, yang
kurang mampu bertahan dalam kondisi sulit, yaitu masyarakat miskin yang
masih sulit dalam melakukan pekerjaan lebih baik lagi karena
keterbatasan pendidikan dan kemampuan yang ada di dalam diri mereka,
meskipun mereka mau dan mampu.
Keterbatasan-keterbatasan yang dialami oleh masyarakat itulah yang
menjadi fokus utama para ahli komunikasi saat ini. Utamanya adalah,
bagaimana mengkomunikasikan ide-ide maupun program-program pembangunan
agar masyarakat mengerti akan latar belakang, tujuan, serta hal-hal yang
harus dilakukan oleh mereka sesuai dengan perencanaan dari pemerintah
itu sendiri. Hal ini dalam rangka mensukseskan pembangunan itu sendiri.
Selain itu, sebuah pembangunan tentinya tidak lepas dari gagal dan
berhasil di dalamnya. Masyarakat juga berhak untuk mengetahui apa
problematikanya, sampai mana pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintahnya, dan bagaimana pembangunan itu sukses dilakukan di
Negara-negara lain. Sosialisasi-sosialisasi ini dilakukan tentunya dalam
rangka mendorong keinginan masyarakat untuk berubah ke arah mendukung
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya, dengan melihat
kisah-kisah sukses dari Negara lain dengan tipe pembangunan yang sama.
Jika menilik dari jangkauannya yang luas, maka komunikasi pembangunan
tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan media massa. Seperti yang
diungkap oleh Nasution (2009) bahwa komunikasi pembangunan merupakan
sebuah komitmen untuk meliput secara sistematik problematika yang
dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Dengan demikian, masyarakat
menjadi lebih mengerti dan dapat menjadi kritis akan
pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahnya.
Komunikasi pembangunan merupakan sebuah media yang mendekatkan
masyarakat dengan pembangunan. Seperti yang diketahui sebelumnya,
sejarah pendekatan pembangunan setelah perang dunia ke II tidak jauh
dari adanya peran komunikasi di dalamnya, namun
perkembangan-perkembangan media dan cara berkomunikasi yang digunakan
hingga saat ini menunjukkan bahwa media massa dianggap kurang efektif
dalam memberikan informasi sebuah pembangunan itu sendiri. Seperti
sejarah yang diungkapkan oleh Mefalopulos, 2008, bahwa ada 3 pendekatan
teoritis yang mendominasi konteks dari pembangunan yang secara tidak
langsung turut merubah konsep komunikasi pembangunan di dalamnya, yaitu
paradigma modernisasi, teori ketergantungan, dan paradigma partisipatif.
Paradigma modernisasi merupakan paradigma yang muncul sesaat setelah
perang dunia ke II. Seperti yang kita tahu, modernisasi merupakan sebuah
proses dimana pembangunan ekonomi sebagai fokus utamanya, dengan
industialisasi besar-besaran di dalamnya. Mefalopulos menyebutkan bahwa
modernisasi umumnya mengabaikan pertimbangan dimensi sosial yang relevan
di dalamnya, serta menggunakan media massa sebagai media yang digunakan
untuk mensukseskan pembangunan yang ada di dalamnya. Namun, muncul
sebuah kritik pada era tersebut bahwa penggunaan media massa yang
dikuasai oleh pemerintah memunculkan anggapan bahwa segala kebijakannya
cenderung top-down, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi
masyarakatnya, atau dengan kata lain, masyarakat dianggap sangat pasif.
Media massa memang secara sendirian tidak mampu merubah pemikiran orang,
apalagi merubah perilakunya. Kritik ini diikuti dengan kemunculan teori
ketergantungan, yang disinyalir semakin membuat Negara kaya semakin
berkuasa, dan Negara miskin semakin berada di kondisi underdeveloped.
Teori ketergantungan ini menunjukkan aliran informasi dalam media
yang berat sebelah. Kritik yang muncul adalah media dan teknologi
komunikasi yang ada pada saat itu, seharuskan memberikan informasi yang
berimbang, namun kenyataannya, mereka hanya mengalirkan informasi yang
berasal dari Negara yang berkuasa, terutama AS, yang memiliki peran
dominan dalam pembangunan Negara-negara lainnya. Hal ini memunculkan
banyak pertentangan, karena menilai dengan sering munculnya Negara
tersebut di berbagai media yang ada, pemikiran masyarakat seolah-olah
seperti digiring untuk bergantung pada Negara adikuasa tersebut. Atas
segala kritik itulah akhirnya muncul sebuah paradigma yang masih diusung
dan dijadikan paradigma pembangunan di semua Negara saat ini, yaitu
paradigma partisipatif.
Pendekatan partisipatif merupakan bentuk pergeseran dari cara
individu yang awalnya menjadi penerima pasif, dilibatkan dalam proses
pembangunan, dalam rangka mendukung konsep pembangunan yang semakin
berkembang, yaitu pembangunan manusia dengan memperhatikan sektor-sektor
yang ada di sekitarnya. Pendekatan partisipatif menganut sebuah metode
komunikasi yang dialogis, dekat dengan masyarakat, dan mampu mengarahkan
masyarakat untuk turut memiliki andil di dalamnya. Mardikanto dan
Soebiato (2013) menjelaskan bahwa komunikasi pembangunan dalam era
partisipatif diharapkan mampu menunjukkan masyarakat akan adanya
kemampuan dan potensi yang telah dimiliki oleh mereka, dan bersama-sama
secara partisipatif masyarakat merumuskan berbagai upaya yang dapat
dilakukan oleh diri mereka sendiri dalam rangka untuk memecahkan masalah
yang ada, sehingga akhirnya mereka bisa secara mandiri keluar dari
masalah yang selama ini dihadapinya.
Dari ketiga uraian perkembangan pendekatan pembangunan terbut, dapat
disimpulkan bahwa komunikasi pembangunan melalui media massa semakin
ditinggalkan karena dianggap ia hanya memberikan informasi yang
cenderung top-down, kurang memberikan ruang bagi masyarakat
untuk bersuara. Namun, hal yang terjadi justru kebalikannya di
Indonesia. Meskipun dunia sudah mendiskreditkan peran media massa dalam
memberikan informasi-informasi pembangunan yang berta sebelah, media
massa di Indonesia justru melaju dengan pesat akhir-akhir ini.
Di Indonesia pada masa penjajahan, media massa digunakan oleh
pemerintah sebagai sarana propaganda untuk menyuarakan kemerdekaan
Indonesia kepada penjajah, sehingga keberadaannya dinilai mengancam
kolonialisme Belanda. Hal ini menyebabkan Belanda mengeluarkan aturan
hukum untuk membatasi ruang gerak media massa, yang disebut Media massabreidel Ordonantie
1931. Pada saat itu keberadaan media massa dikecam habis-habisan dan
tidak mengalami perubahan berarti bahkan sampai Indonesia merdeka.
Meskipun pada tahun 1954 Media massabreidel Ordonantie dihapus,
akan tetapi pada jaman tersebut justru pertama kalinya terjadi
pembredelan koran dalam sejarah media massa RI (Suadi, 2003 cit Adhiyasasti dan Rianto, 2006).
Pada saat memasuki era Demokrasi Terpimpin, keberadaan surat kabar
masih tertekan, karena dituntut untuk menandatangani 19 pasal peraturan,
yang salah satunya yaitu kesepakatan untuk mendukung dan membela
Manipol haluan negara dan mendukung program-program pemerintah. Akan
tetapi, meskipun sudah mematuhi aturan yang ada, pembredelan surat kabar
masih tetap terjadi. Surat kabar yang bertahan pada masa itu adalah
surat kabar yang berhaluan komunis (Anwar, 2001 cit Adhiyasasti dan Rianto, 2006).
Setelah itu masuklah rezim Orde Baru yang menganut paham otoritarian.
Sistem media massa yang berkembang pun sesuai dengan paham yang dianut,
yaitu media massa mengabdi kepada pemerintahan yang berkuasa dan hanya
menyiarkan berita-berita yang mendukung kebijakan pemerintah. Keberadaan
media massa saat itu berfungsi apa adanya, meskipun pemerintah
memberikan sanksi yang tegas apabila terdapat pelanggaran di dalamnya.
Pembredelan hanya dilakukan terhadap media massa yang berbau pornografi.
Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, media massa semakin bersikap
kritis sehingga pemerintah mulai memberikan sanksi yang semakin keras,
dan puncaknya terjadi pada tahun 1974, yaitu terjadinya peristiwa Malari
(Abar, 1995 cit Adhiyasasti dan Rianto, 2006).
Setelah kejadian itu, fungsi media massa Indonesia menjadi mati suri.
Mereka diawasi habis-habisan oleh pemerintah dan hanya dapat menyiarkan
informasi yang dikehendaki oleh pemerintah saja. Keadaan ini terus
berjalan hingga akhirnya pada tahun 1998, rezim Soeharto berakhir dan
kebebasan media massa dijamin oleh rezim yang dituntutkan oleh
masyarakat Indonesia, yaitu rezim reformasi.
Setelah runtuhnya rezim orde baru, pemerintah mulai merombak kembali
peratunan mengenai keberadaan media massa di Indonesia. Oleh karena itu,
UU Media Massa No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media
massa. Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999, fungi media
massa ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial. Sementara itu UU Media Massa No 40 Tahun 1999 Pasal 6 menegaskan
bahwa media massa nasional melaksanakan peranan sebagai berikut.
- Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi.
- Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
- Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
- Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
- Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dengan lahirnya UU Media massa tersebut, liberalisasi bagi dunia
media massa di Indonesia makin tampak jelas, bahkan setiap warga negara
diperbolehkan untuk menyatakan pendapat termasuk mendirikan perusahaan
media massa Dalam sejarah perkembangannya, tercatat jumlah media cetak
mengalami lompatan luar biasa pada tahun 1998, awal mula era reformasi.
Setiap orang sangat mudah mendirikan koran baru, tabloid, dan majalah.
Berkait hal ini, Wakil Ketua Dewan Media massa, Leo Batubara menyebutkan
hingga awal tahun 2009 di Indonesia ada sekitar 1008 media cetak, 150
lebih media televisi, dan 2000 lebih radio. Total tiras media cetak
mencapai 19,08 juta eksemplar (Martono, 2011). Kemudahan dalam
mendirikan media ini sayangnya tidak diikuti dengan tanggungjawab yang
semakin besar untuk menjalankan peranannya dengan lebih baik. Banyak
diantara mereka yang kurang memperhatikan nilai suatu berita serta unsur
yang ada di dalamnya. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas produk
informasi yang disajikan kepada masyarakat, mengingat keberadaan audiens
sangat menentukan keberadaan suatu lembaga media massa, yang umumnya
mengandalkan hasil penjualan oplah maupun hasil siaran untuk menghidupi
lembaganya.
Berdasarkan uraian kontras kedua sejarah media massa dalam komunikasi
pembangunan, kenyataan di Indonesia adalah keberadaan media massa dapat
membantu penyampaian informasi mengenai pembangunan kepada masyarakat.
Media massa jaman orde baru meskipun dikekang oleh pemerintah, justru
keberadaannya sangat mendukung penyampaian informasi mengenai
pembangunan.
Kaitannya dengan pembangunan, media massa memiliki fungsi tersendiri
yang tidak dapat lepas dari kedekatannya dengan masyarakat. Media massa
dapat berfungsi sebagai jembatan informasi antara pemerintah dengan
masyarakat karena penyebaran informasi melalui media massa dinilai cukup
efektif untuk mengetahui informasi satu dengan lainnya. Baik
pemerintah, mengenai keadaan masyarakatnya dari segala aspek maupun
masyarakat, mengenai kebijakan pemerintah yang diambil dalam rangka
menjawab masalah yang ada pada masyarakat. Seiring dengan fungsinya
tersebut, otomatis media massa juga dapat menjadi kontrol sosial bagi
perkembangan kehidupan masyarakat serta kontrol bagi pengambilan
kebijakan oleh pemerintah. Nasution (2009) memberikan pendapatnya
tersendiri selain peran media yang sudah diuraikan sebelumnya, media
massa dalam pembangunan juga dapat berperan untuk memperluas wawasan
masyarakat, melakukan agenda setting untuk memfokuskan perhatian
masyarakat pada pembangunan, dapat meningkatkan aspirasi dengan
banyaknya media yang memberikan kesempatan masyarakat untuk andil di
dalamnya, dapat memberikan masukan untuk saluran komunikasi
antarpribadi, memperlebar dialog kebijakan dengan membuka opini
masyarakat, mempengaruhi nilai-nilai yang kurang dianut, membantu
berbagai jenis pendidikan dan pelatihan, serta menuntut masyarakat untuk
selalu kritis terhadap pembangunan yang sedang dilakukan oleh
pemerintah.
Dengan kata lain, meskipun partisipasi merupakan pendekatan yang
memang dianut oleh pembangunan di Indonesia, bukan berarti
mendiskreditkan peran media massa di dalamnya. Indonesia merupakan
bangsa yang luas dan tersebar di ribuan pulau yang ada. Media massa
menjadi penting untuk menjangkau wilayah yang sulit dijangkau oleh
pemerintah langsung. Perkembangan media saat ini di Indonesia juga
memberikan banyak andil dalam menyampaikan program pembangunan dari satu
daerah ke daerah yang lain, sehingga memunculkan semangat bagi
masyarakat di daerah lainnya untuk terus meningkatkan pembangunan di
lingkungannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Harsoyo (1993) juga menguraikan bahwa
media massa memiliki berbagai kelebihan jika dibandingkan media lainnya
di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
- Media massa memiliki kredibilitas khusus dan mampu memerankan fungsi agenda-setting. Hal ini menunjukkan bila sebuah isu diungkap di sebuah media massa tertentu, topik tersebut akan dianggap oleh pembaca sebagai sesuatu yang penting, apalagi bila dimuat secara terus-menerus dan kontinyu.
- Media massa mampu mempertahankan Fidelity merupakan sebuah ketepatan dalam pemberitaan yang disampaikan. Suatu pesan yang tidak terdokumentasi dengan baik tentunya tidak dapat mempertahankan fidelity dari pesan tersebut.
- Media massa mampu menyebarluaskan pesan secara murah, cepat, terstandarisasi, dan akurat. Media ini dapat mereproduksi pesan secara besar-besaran untuk didistribusikan ke sasaran, baik dengan caranya sendiri-sendiri, apakah dicetak dan disebarkan dalam oplah yang besar, atau didokumentasikan dan disiarkan ke sasarannya.
- Media massa memungkinkan terjadinya komunikasi multi-channel, yang terkait dengan media massa sebagai media dalam berkomunikasi massa. Hal ini menguntungkan jika sebuah program pembangunan akan disajikan untuk masyarakat yang luas, dalam waktu yang bersamaan. Keuntungan ini tentunya sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak dan lokasi yang berjauhan satu dengan lainnya.
- Memungkinkan terjadinya umpan-balik (feed-forward). Meskipun dengan caranya masing-masing, media massa, baik cetak maupun elektronik, saat ini mulai mempertimbangkan feedback dari masyarakat. Perusahaan-perusahaan media kini menerima segala bentuk partisipasi masyarakat dalam menyalurkan informasinya, untuk bisa disebarluaskan kepada masyarakat.
Dari segala uraian tersebut, kembali diulas bahwa media memiliki
peran tersendiri, yang sulit untuk digantikan dengan media yang lain.
Meskipun keberadaan media massa sangat mempengaruhi perkembangan positif
dari pembangunan suatu negara, khususnya di Indonesia, perlu diingat
bahwa tidak selamanya perkembangan positif tersebut memberikan dampak
yang positif pula. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yang
berasal dari dalam maupun luar media massa itu sendiri.
Media massa di Indonesia sudah dijamin kebebasannya sejak runtuhnya
pemerintahan Orde Baru dan mengudaranya Era Reformasi hingga saat ini.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kebebasan tersebut justru
sedikit disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya ingin
mengambil keuntungan materiil saja. Misalnya dengan semakin maraknya
pembentukan lembaga-lembaga media massa baru yang dikhawatirkan dapat
menaikkan tingkat persaingan di dalamnya. Jika terjadi persaingan yang
sehat, maka dapat memberi dampak positif, yaitu semakin memperbaiki
kualitas berita yang disediakan. Mereka berlomba-lomba untuk menyajikan
berita yang lebih bernilai dan bermanfaat untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan lembaganya. Namun, jika persaingan yang
terjadi kurang profesional, justru akan menimbulkan dampak negatif,
yaitu menurunkan kualitas berita yang disajikan, dalam artian berita
tersebut masih perlu dipertanyakan kesesuaian nilai beritanya. Mereka
hanya mementingkan segi komersialisme mereka untuk mendukung keberadaan
lembaga tanpa perlu memperhatikan kemanfaatan informasi yang
disampaikan, hanya sekadar memberi berita yang sensasional, sarat akan
berita hiburan tanpa adanya unsur pendidikan. Kedua sisi pandangan
tersebut terjadi dalam media-media massa di Indonesia yang sarat akan
kepentingan tertentu. Ada lembaga yang bergerak ke arah positif dalam
memproduksi sebuah informasi, namun ada pula lembaga yang bergerak ke
arah negatif. Dampak yang kedua ini jelas tidak mendukung pembangunan
negara. Keberadaan dampak negatif tersebut dibuktikan dengan maraknya
peredaran media massa kuning di Indonesia.
Seiring dengan keberadaan dampak positif dan negatif dari media massa
di Indonesia tersebut, tentunya diperlukan konsekuensi-konsekuensi dari
pihak masyarakat sebagai sasaran berita untuk dapat menerima dampak
positifnya, dan meninggalkan dampak negatif yang ada. Konsekuensi
tersebut adalah masyarakat dituntut untuk selektif memilih berita.
Tuntutan tersebut haruslah diimbangi dengan kemampuan daya pikir untuk
menganalisa berita yang ada. Masalahnya, tidak semua masyarakat
Indonesia mampu. Masih ada masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah
karena kondisi sosial dan ekonominya yang di bawah rata-rata. Padahal,
sasaran pembangunan negara sendiri lebih difokuskan pada pembangunan
masyarakat yang ada dalam kondisi ini. Jika mereka masih belum mampu
mengolah informasi yang ada, otomatis pembangunan yang terjadi masih
belum dapat berjalan maksimal. Pada kondisi masyarakat yang seperti ini,
media massa hanya berfungsi sebagai penghubung masyarakat dengan
pemerintah, sehingga strategi pembangunan yang akan direncanakan dapat
berjalan lebih efektif. Akan tetapi, perlu pendekatan lebih intensif
lagi dari pemerintah dalam rangka menjalankan strategi pembangunan
tersebut.
Hal ini berarti media massa, dalam pembangunan di Indonesia tidak
sepenuhnya menentukan. Harus dilihat lebih dahulu tipe pembangunan yang
sedang berlangsung. Jika pembangunan tersebut ditujukan kepada kelompok
elit dan urban, yang notabene pengguna media massa yang jeli terhadap
berita yang diperlukannya, peran media tentu sangat besar terhadap
mereka. Artinya, peran media massa tidak hanya dilihat dari pengaruhnya
terhadap perubahan psikologis dan pengetahuan, tetapi juga kemanfaatan
yang dapat diambil oleh masyarakat penikmatnya untuk digunakan sebagai
alat untuk mengubah posisinya ke tempat yang lebih baik berdasarkan
informasi-informasi yang disajikan. Jika dengan perubahan posisi
tersebut kesenjangan dalam diferensiasi sosial akan semakin berkurang,
maka media massa memiliki peran faktual dalam pembangunan.
Sumber:
__________, Undang-Undang Media Massa Nomor 40 Tahun 1999
oleh Mesalia Kriska (Dosen Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM)








0 comments:
Post a Comment