Reformasi dapat tercipta karena orang-orangnya menginginkan pembaharuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi, dan kebebasan untuk menyuarakan pendapat tanpa takut dibalas todongan bedil oleh penguasa. Dengan kata lain, ada impian untuk mewujudkan masyarakat madani. Reformis, sebagai motor dalam menjalankan segala aspek kehidupan di masa reformasi, tentu sudah seharusnya meninggalkan nilai-nilai otoriter Orde Baru dan turunannya yang terbukti gagal. Masa reformasi diharapkan mampu menyajikan perubahan, bersifat korektif, dan bercorak pembaharuan.
Namun, melihat menjengkelkannya fenomona sosial politik yang belakangan ini tersaji, mulai dari gelombang politik identitas, membanjirnya hoaks dan persekusi, sampai kasus-kasus korupsi tak berkesudahan, terlebih ketika hal-hal tersebut disponsori oleh para pentolan reformis yang dahulu begitu menjanjikan sebagai agen perubahan, maka tak salah untuk mempertanyakan apakah bahwasanya reformasi sudah berjalan di trek yang benar, dan disetir oleh orang-orang yang tepat.
Menilai Reformasi
Sebelumnya saya menyebut bahwa gerakan reformasi usaha patungan adalah usaha patungan namun, tergantung dengan siapa yang diajak bicara, porsi patungan kelompok-kelompok yang berkontribusi di dalamnya tidaklah setara. Keduanya sejatinya komplementer, namun banyak pula hal-hal yang tidak mereka saling sepakati. Kelompok mahasiswa merasa bahwa mereka adalah penggerak utama gagasan reformasi, dan kelompok elit juga merasa perannya vital karena merekalah yang secara langsung terlibat dalam upaya-upaya perbaikan birokrasi-administratif dalam pemerintahan.
Karena itulah, banyak suara sumbang terdengar di mana-mana tak lama pasca Suharto dilengserkan. Tanda muramnya potensi reformasi mulai terlihat ketika trisula reformis, Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais terlibat dalam pembagian kekuasaan, terutama kala Amien Rais membuat Poros Tengah untuk menjegal Megawati dan kemudian menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenannya. Ditambah, dua kelompok mahasiswa paling mencolok, yakni kiri (sosialis-moderat) dan kanan (Islam-konservatif) yang sebelumnya menemukan tujuan bersamanyar menggulingkan orde Baru pun saling sibuk dengan kepentingan kelompoknya masing-masing.
Tidak adanya gerak kompak untuk menyamakan visi misi reformasi itulah yang menyebabkan mengapa tokoh-tokoh reformis terlihat gagal membentuk tatanan reformasi yang ideal dan benar-benar mengeliminasi warisan Orde Baru. Pilar-pilar Orde Baru memang berhasil diruntuhkan, tetapi lantai kotor yang menjadi tempat pilar-pilar tersebut tegak berdiri luput untuk dibersihkan. Dan celakanya, di atas lantai itulah pilar-pilar reformasi kini didirikan, terlihat kokoh namun tidak sedap dipandang mata.
Hal itu sejalan dengan amanat reformasi yang belum sepenuhnya terlaksana.
Otonomi daerah tanpa pengawasan yang tepat sasaran lantas melestarikan korupsi, kolusi, dan nepotisme di kalangan pejabat-pejabat daerah. Terlebih lagi minimnya peninjauan terhadap peraturan-peraturan daerah yang kontroversial dan melukai angan-angan pembaharuan, seperti misalnya hukuman cambuk di Aceh dan pelarangan kepemilikan tanah bagi orang-orang nonpribumi di Yogyakarta.
Bagaimana dengan supremasi hukum? Setelah puluhan tahun prosedur hukum dimanipulasi demi kepentingan penguasa, kini hukum telah menjadi payung pelindung handal bagi segenap rakyat Indonesia. Bahkan, ia bisa diciptakan secara serampangan oleh wakil-wakil rakyat untuk membentengi diri mereka dari kritik masyarakat. UU MD3 yang kontroversial karena mencederai kedaulatan rakyat itu semakin mencitrakan DPR sebagai entitas superior yang tak terjangkau alih-alih penyambung suara rakyat. Kesannya, DPR meminta rakyat untuk menghamba dan tunduk, bukan sebaliknya.
Satu lagi yang amat disayangkan adalah semakin meluasnya konflik horizontal di kalangan masyarakat dengan sebab-sebab fundalisme agama , diskriminasi ras dan etnis, serta kesenjangan sosial-ekonomi yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik.
Apa yang buruk di Orde Baru memang sebagian berhasil diperbaiki, walau lalu menelurkan masalah-masalah baru akibat kelalaian para reformis dalam merawat dan membesarkan reformasi. Lantas, akan seperti apakah masa depan angan-angan reformasi ini?
Tidak Sepenuhnya Gagal
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Daud Jusuf, pernah menulis sebuah opini di harian Kompas pada 2007 silam yang berjudul ‘Untuk Apa Reformasi?'. Ia menyinggung bahwa reformasi adalah sebuah kesia-siaan apabila pemimpin tidak menjawab panggilan tugasnya, yakni menciptakan harmoni politik dan ekonomi demi kebajikan kedua-duanya. Harmoni inilah yang menjadi cita-cita adiluhung bagi para re, bukan seperti harmoni yang dibuat-buat namun harmoni sesungguhnya yang lahir dari nilai-nilaiormasi demokrasi.
20 tahun sudah reformasi berjalan. Ada banyak hal yang dapat disyukuri darinya, sebagaimana banyak juga hal yang bisa disesalkan. Jelasnya, sulit mengatakan bahwa reformasi yang mencoba memperbaiki, utamanya sektor politik-ekonomi ini, sebagai kegagalan total.
Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati: ketika reformis-reformis tua tercemari, maka sudah saatnya reformis-reformis muda tampil menawarkan keharmonian yang dicita-citakan. Panggung Pilpres 2024, dan kemungkinan-kemungkinan baik atau buruk yang akan terjadi di sekitarnya, akan menjadi momen pembuktian apakah semangat reformasi masih ditekuni oleh reformis-reformis yang bersemangat untuk berkuasa di negeri ini.
Penulis: Muhamad Mulyadi SH Pengamat Sosial Masyarakat Kota Cilegon
0 comments:
Post a Comment