JAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang gugatan uji materil terkait aturan mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden yang mempersoalkan 18 pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana terdaftar dalam Perkara Nomor 44/PUU-XIX/2021.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (7/9), para pemohon yang terdiri dari dari LSM maupun perseorangan memutuskan menguji 18 pasal diantaranya, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 223, Pasal 224, Pasal 225, Pasal 226, Pasal 227, Pasal 228, Pasal 229, Pasal 230, Pasal 231, Pasal 232, Pasal 233, Pasal 234, Pasal 235, Pasal 236, Pasal 237, serta Pasal 238 UU Pemilu.
Di mana M. Yunan Lubis selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan ke-18 pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon, sebagai warga negara pihaknya memiliki hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
“Namun pada norma tersebut hak konstitusi untuk dipilih hanya diperuntukkan bagi kelompok partai politik, sedangkan bagi rakyat yang bukan kelompok partai politik tidak terdapat norma yang mengaturnya. Akibatnya, para Pemohon berpotensi kehilangan peluang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden,” jelas Yunan dikutip dalam rilis keterangan website MK.
Selain itu, Yunan mengatakan bahwa hak konstitusional warga negara untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden yang ada pada UU 7/2017 tersebut, hanya memuat hak konstitusi dari sebagian rakyat yang tergabung dalam kelompok partai politik.
Padahal, kata Yunan, MK dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan UU Pemilu sepanjang ketentuan mengenai Pengusulan Bakal Calon Presiden Dan Wakil Presiden Dan Penetapan Pasangan Presiden Dan Wakil Presiden.
"Sebagaimana di atur pada BAB VI Pasal 221 sampai dengan Pasal 238," jelasnya.
Pada kesempatan tersebut, Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Enny meminta para Pemohon mempelajari permohonan yang pernah diajukan para pihak ke MK sebelumnya. Mengingat permohonan yang diajukan belum ada benang merah permohonannya.
JAKA“Ini harus diuraikan hak dipilih dan memilih dari bukan partai politik itu apakah perseorangan atau independen. Sebab, ada banyak putusan MK yang berkait dengan permohononan yang meminta akomodasi calon perseorangan. Bangun argumentasinya terkait dengan nonparpol itu. Bagaimana jika di UU sudah ada ketentuan definitifnya. Di mana letak kerugiannya itu,” jelas Enny.
Terlebih, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan nasihat tambahan jika terkait persoalan yang diujikan sebelumnya sudah ada 16 Putusan MK yang menyoal soal norma-norma pencalonan.
Oleh karena itu, para Pemohon diminta memikirkan inkonstitusional yang dimohonkan terhadap norma yang diajukan. Sebab MK menguji norma pada UU terhadap UUD 1945, sedangkan dalam perkara yang diajukannya adalah persoalan pengajuan perseorangan dalam pemilihan umum yang telah jelas dijamin pada konstitusi.
“Selain itu, harus dipikirkan secara serius argumentasi yang membedakan dasar pengujiannya dengan 16 putusan MK terdahulu yang terkait dengan butir norma yang diajukan pada perkara ini karena itu pintu gerbang awal hakim untuk menelusuri perkara ini,” sebut Saldi.
0 comments:
Post a Comment