Foto : ISTIMEWA
BHIMA YUDISTHIRA Direktur Celios - Pajak karbon yang dipungut semestinya digunakan untuk membiayai pengembangan EBT milik PLN, sehingga biaya instalansi semakin terjangkau. |
» Instrumen fiskal akan digunakan untuk membiayai pengendalian perubahan iklim.
» PLTD tidak akan dipakai lagi pada 2031 dan pengoperasian PLTU dihentikan bertahap.
JAKARTA - Pengenaan pajak karbon dalam waktu dekat dipastikan akan membuat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang tidak ramah lingkungan menjadi semakin mahal. Sebab, tambahan pajak tersebut semakin membuat biaya produksi meningkat sehingga saat dijual ke konsumen jatuhnya sudah tidak murah.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan, dalam Energi Outlook 2022 di Jakarta, Kamis (24/2), mengatakan tarif pajak karbon yang akan dikenakan paling rendah 30 rupiah per kilogram karbon dioksida ekuivalen.
"Ketentuan ini akan mengubah posisi PLTU menjadi pembangkit yang mahal," kata Luhut.
Pajak karbon sendiri mengacu ke Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Hal itu sejalan dengan upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Kebijakan tersebut juga menjadi bukti pemerintah berkomitmen menggunakan berbagai instrumen fiskal untuk membiayai pengendalian perubahan iklim sebagai agenda prioritas pembangunan. Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan batas emisi pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada 1 April 2022.
Lebih lanjut, Menko Marinves menjelaskan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 milik PLN menargetkan persentase bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 52 persen pada 2030.
Hal itu berarti, dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, persentase energi hijau akan didominasi oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 25,6 persen dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 11,5 persen, serta tidak tertutup kemungkinan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) akan ikut mengambil posisi dalam bauran EBT di Indonesia.
Besarnya kebutuhan dan potensi yang ada mendorong pemerintah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam mengembangkan EBT dan memperkirakan kepemilikan swasta akan mencapai 64 persen dari pembangkit yang beroperasi pada 2030.
"Mulai 2031 tidak lagi pemakaian pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan dimulainya penghentian pengoperasian PLTU secara bertahap dengan harapan pada 2060 sudah tidak lagi PLTU batu bara yang beroperasi," kata Luhut.
Biaya Subsidi EBT
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, dalam tanggapannya mengatakan, listrik PLTU lebih mahal karena dikenakan pajak karbon yang mengakibatkan marjin perusahaan semakin menipis.
Di sisi lain, pajak karbon yang dipungut semestinya digunakan untuk membiayai pengembangan EBT milik PLN, sehingga biaya instalansi semakin terjangkau. Sebenarnya, jelas Bhima, PLN yang diuntungkan karena tidak perlu membebankan lagi biaya instalasi kepada konsumen. Dengan demikian, insentif tersebut otomatis mempercepat pengembangan EBT. "Jadi, banyak instrumen yang bisa digunakan dan tidak membebani masyarakat," kata Bhima.
Untuk mempercepat transisi ke energi yang lebih bersih, dia mengimbau agar dilakukan secepatnya. Apalagi, pajak karbon merupakan komitmen Indonesia sebagai Presidensi G20 untuk mengurangi emisi karbon secara global.
Ia juga berharap agar pajak karbon diperluas ke sektor industri yang kurang ramah lingkungan atau sektor yang tidak punya komitmen terhadap EBT, termasuk tidak punya komitmen untuk pengelolaan limbah yang baik.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan kebijakan pajak karbon diperlukan untuk mendukung pengembangan EBT, terutama dalam mencapai target karbon.
"Dengan penyesuaian harga listrik PLTU batu bara akan mendorong masyarakat dan industri untuk beralih kepada aktivitas ekonomi yang rendah karbon, terutama dalam penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan," kata Dian.
0 comments:
Post a Comment