JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Perhimpunan
Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai organisasi guru tingkat nasional
meminta Pemerintah melakukan pembenahan perbaikan terhadap kualitas
pendidikan di tanah air pasca pandemi Covid-19.
Menurut
P2G peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2023 harus
dijadikan momentum merefleksikan berbagai kebijakan pendidikan baik
pusat maupun daerah apakah sudah berdampak positif secara signifikan
terhadap kualitas pendidikan, kualitas sumber daya manusia, perluasan
akses pendidikan bagi anak-anak Indonesia di setiap daerah, termasuk
kualitas dan kesejehteraan guru atau belum.
"Hardiknas
2023 hendaknya dipandang sebagai momen refleksi bersama atas semua
kebijakan pendidikan di tanah air, pendidikan kita mau dibawa kemana?
Apalagi Pemilu sudah di depan mata, nanti ganti pemerintah ganti
kebijakan lagi," kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Berdasarkan
catatan kritis dan reflektif P2G pada Hardiknas 2023, ada tujuh masalah
pendidikan yang harus menjadi perhatian utama pemerintah saat ini.
Pertama,
P2G mendesak Kemdikbudristek serta seluruh pemerintah daerah provinsi,
kota/kabupaten melakukan evaluasi secara komprehensif dan objektif
terhadap seluruh Episode Merdeka Mengajar yang sudah masuk Episode
ke-24.
"Evaluasi
Merdeka Mengajar episode satu sampai dua puluh empat sangat penting,
mengingat tahun depan Pemilu dan pergantian pemerintahan. Kami pun
menilai sejak dulu ganti menteri pasti ganti kebijakan, jadi tidak ada
kontinuitas dalam membangun pendidikan dan guru nasional," ucap
Satriwan.
Jangan
sampai hanya berganti merek kebijakan, tapi substansi sesungguhnya
sama. Jangan sampai klaim perubahan inovasi pendidikan yang terjadi
malah involusi pendidikan.
"Makanya
P2G mendesak Kemdikbudristek menuntaskan Peta Jalan Pendidikan Nasional
sebagai arah dan tujuan pembangunan pendidikan Indonesia jangka
panjang. Road map yang lahir dari pemikiran semua stakeholders secara
partisipatif, objektif, dan transparan," lanjut Satriwan.
Jika
pemerintahan Presiden Jokowi dapat melahirkan Peta Jalan Pendidikan
Nasional ini akan menjadi warisan yang tak ternilai bagi bangsa
Indonesia.
Kedua,
P2G mendesak komitmen dan profesionalitas Kemdikbudristek, Kemenag,
Kemenpan RB, Kemenkeu, Kemendagri, BKN, dan seluruh pemda baik provinsi
dan kota/kabupaten dalam melaksanakan perekrutan Guru Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Persoalan
Guru PPPK sekarang menjadi cermin buruk tata kelola guru di tanah air.
Indonesia membutuhkan 1,3 juta guru ASN sampai 2024 tapi pemerintah
malah merekrut ASN kontrak bernama PPPK. PPPK solusi kekurangan guru
jangka pendek. Harusnya pemerintah rekrut guru PNS sebagai solusi jangka
panjang. Alasan anggaran jumbo menjadi faktor utama Pemerintah tak lagi
rekrut guru PNS. Padahal anggaran pendidikan dalam APBN pun mengalami
kenaikan signifikan tiap tahunnya.
Pada 2023 alokasi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 612 triliyun, naik 5,8 persen dari tahun 2022 sebesar 574,9 triliyun.
"Negara
alami darurat kekurangan guru ASN, anggaran pendidikan besar pula 612
triliyun, tapi Pemerintah masih enggan merekrut guru PNS, sebuah
ambivalensi dalam bersikap," tegas Satriwan.
Maka
jelas bahwa rekrutmen guru ASN PPPK tidak menjawab kebutuhan guru
nasional, malah sebaliknya menyisakan persoalan berlarut-larut.
Seleksi
guru PPPK sejak 2021 menyisakan ragam persoalan diantaranya: 1) Masih
ada 62.645 guru PPPK Prioritas-1 (P-1) yang belum kunjung dapat formasi;
2) Sebanyak 3.043 guru P-1 yang kelulusannya dibatalkan sepihak oleh
Kemdikbudristek; 3) Janji Mendikbudristek dan Menpan RB akan angkat 1
juta guru baru terealisasi 550 ribu itu pun PPPK; 4) Guru PPPK yang tak
kunjung dibayar gajinya berbulan-bulan bahkan sampai 9 bulan seperti di
Serang, Bandar Lampung, dan terbaru guru PPPK di Papua.
"P2G
sangat menyangkan buruknya manajemen guru PPPK yang dilakukan
pemerintah. Sangat tak masuk akal, guru sudah lulus tes tapi tak kunjung
dapat formasi harus menunggu dua tahun lebih. Terus kok bisa yah guru
ASN gajinya tak dibayar berbulan-bulan?", tukas Satriwan.
Satriwan
melanjutkan, P2G juga kecewa kepada Pemprov DKI Jakarta yang hanya
memberi durasi kontrak guru PPPK hanya 1 tahun. Sedangkan provinsi lain
justru mengeluarkan kontrak 5 tahun.
"Profesi
Guru masih dipandang remeh oleh pemerintah saat ini. Guru mengabdi
bertahun-tahun sebagai honorer, upah jauh di bawah UMK, diangkat jadi
ASN tapi malah ga digaji berbulan-bulan. Harapan terjadinya perbaikan
nasib malah sebaliknya," cetus guru SMA ini.
P2G
meminta komitmen Pemda membuat kontrak minimal 5 tahun bagi guru PPPK.
P2G juga berharap Presiden atau kementerian terkait memberi sanksi tegas
bagi pemda yang tidak mengusulkan jumlah formasi guru PPPK secara
maksimal sesuai kebutuhan riil di daerah.
"Pemda
yang tidak serius mengelola guru PPPK hendaknya disanksi tegas oleh
Kemendagri termasuk dari aspek anggaran. Sehingga tak terulang lagi
peristiwa memilukan dan memalukan, guru PPPK tak digaji seperti di
Bandar Lampung, Serang, dan Papua," pinta Satriwan.
Ketiga,
P2G berharap Kemdikbudristek membuat regulasi khusus yang bersifat
afirmatif terhadap penyelenggaraan Program Guru Penggerak bagi seluruh
daerah yang masuk kategori 3T.
P2G
mendapat laporan dari jaringan di daerah seperti dari Kabupaten
Kepulauan Sangihe, bahwa guru di sana tidak dapat mengikuti Program Guru
Penggerak (PGP) karena akses wilayah kepulauan yang sulit dari segi
geografis, transportasi (laut) maupun akses internet. Kebijakan khusus
dibuat untuk perluasan akses dan kesempatan bagi semua guru di seluruh
wilayah Indonesia secara terbuka dan berkeadilan.
P2G
mengapresiasi Kebijakan PGP Angkatan ke-5 dan 9 yang sudah memberikan
afirmasi khusus bagi guru di daerah 3T tapi masih terbatas di 15
kota/kabupaten saja.
Keempat,
Pemanfaatan teknologi pendidikan. Dalam Education Working Group (EDWG)
G-20, Indonesia mengajukan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan
sebagai jalan keluar krisis dan masa pemulihan setelah Covid-19.
Optimisme yang dibangun berbanding terbalik dengan keadaan dalam negeri.
Learning
Loss tetap terjadi pada anak di Indonesia meskipun kementerian dan
berbagai Perusahaan Teknologi Edukasi (Edtech) dalam negeri bergandengan
untuk mensukseskan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Menurut
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, bukannya
mengembalikan pembelajaran yang hilang, data anak kita malah ditambang
oleh Edtech.
"Human Right Watch (HRW) mencatat
bahwa 164 Edtech di dunia melanggar privasi anak, termasuk di
Indonesia. Selama pandemik Edtech justru melakukan praktik menambang
data anak," ungkap guru SMA ini.
Di
sisi lain, guru menghadapi kesenjangan digital, surplus pelatihan,
kelebihan beban administrasi yang dituntut oleh aplikasi dari
kementerian serta tuntutan untuk membuat konten digital.
"Penambangan
data juga terjadi pada guru. Beragam pelatihan digital serta kurikulum
merdeka justru diinisiasi Edtech yang merasa lebih memahami kurikulum
merdeka," lanjut Iman.
Di
Jakarta, Dinas Pendidikan bekerjasama dengan salah satu platform swasta
yang mewajibkan guru, orang tua, siswa dan sekolah mengisi modul. Dalam
modul tersebut sejumlah pertanyaan adalah data pribadi dan data lain
yang bisa digunakan untuk memetakan prilaku seseorang (konsumen).
Belum
lagi, karena ketidakmampuan kementerian membangun data awan (cloud)
yang berdaulat, kementerian membuat kebijakan akun belajar yang
sebenarnya adalah paket layanan dari google yang bisa menyerap semua
data dari dinas pendidikan, sekolah, siswa, guru bahkan aktivitas
mereka.
Disisi
lain, Platform Merdeka Mengajar (PMM) ala Kemdikbudristek telah menjadi
produk layanan yang dikampanyekan sangat masif. Di lapangan guru-guru
selalu ditekan sekolah, pengawas dan dinas pendidikan agar segera
menginstal aplikasi tersebut. Bahkan dilakukan pengecekan oleh Dinas
Pendidikan terhadap sekolah dan guru, sehingga terdata bagi guru yang
tidak menginstal dan mengerjakan tumpukan tugas di dalamnya.
Sementara
itu, aplikasi ini menjadi kurang berguna bagi guru yang tidak memiliki
gawai memadai, dan di pelosok yang minim listrik dan nirkoneksi
internet.
"Dulu
guru dibebani administrasi, sekarang dibebani aplikasi. Ternyata
aplikasi tidak menyederhanakan dan memudahkan tugas guru," cetus Iman.
Sangat
disayangkan apabila jumlah angka penginstal aplikasi ditargetkan
sebagai capaian keberhasilan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM)
melalui PMM oleh Kemdikbudristek.
"Kami
menilai beragam aplikasi dari kementerian tersebut belum menjawab janji
efesiensi dalam digitalisasi pendidikan," ungkap Iman yang juga mengisi
modul aplikasi tersebut.
Masifnya
penggunaan platform dalam pendidikan juga harus diantisipasi karena
melahirkan Artificial Intelligence (AI) yang dibuat dengan logaritma
yang menguntungkan pembuatnya.
P2G
meminta pemerintah perlu membuat protokol AI for Education (AIED)
seperti yang dilakukan di Uni Eropa. Berisi batasan etis, privasi,
potensi lahirnya bias, dan pengutamaan hak yang berkeadilan dalam
pendidikan.
"Kontrol
AI dalam Pendidikan akan semakin besar. Protokol AIED harus segera
dibuat pemerintah, agar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, bukan
tujuan komersil pembuat Platform," tambah Iman.
Kelima,
P2G mengapresiasi lahirnya UU Nomor Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022
Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan
Pendidikan Pada Kementerian Agama.
Sebenarnya
di lingkungan sekolah sudah ada Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Sekolah tapi masih
menjadi macan kertas. Sekolah pada umumnya tak melaksanakan regulasi
ini.
Agar
aturan di atas lebih implementatif di lapangan, P2G meminta
Kemdikbudristek bersama-sama Kemenag, Kemendagri, Kemen PPPA,
Kemenkominfo, dan Polri bersinergi membentuk Task Force (Satuan Tugas
Bersama) Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
"Gugus
Tugas ini sangat urgen melakukan pembimbingan, pembinaan, pengawasan,
monitoring, evaluasi terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan di
satuan pendidikan," kata Feriansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan
P2G.
Feriansyah
melanjutkan, agar pendataan dan peengawasan kekerasan di satuan
pendidikan berjalan simultan dan terintegrasi, P2G meminta Pemerintah
(Kemendikbudristek, Kemen PPPA, Kemenag, dll) membuat sistem informasi
data kekerasan anak di satuan pendidikan serta langkah
penanggulangannya. Sistem informasi dan statistik dibuat secara
berkelanjutan dan akurat dengan rincian kasus per kasus di daerah.
Keenam,
merespon tahun 2023 ini adalah tahun politik menghadapi Pemilu 2024
nanti, P2G mendesak agar guru dan organisasi guru tidak terjebak kepada
politik praktis apalagi membawa peserta didik, warga sekolah, madrasah,
satuan pendidikan terjebak dalam kampanye politik praktis.
"Satuan
pendidikan harus netral dan bersih dari politik elektoral seperti
kampanye. Organisasi guru dan guru pada khususnya harus bersikap cerdas
dan bijak dalam menghadapi tahun Pemilu," lanjut Feriansyah.
"P2G
juga mengimbau siapapun tidak boleh membawa atau mengklaim bahwa guru
memilih Calon Presiden tertentu. Organisasi guru jangan mempolitisasi
guru, memobilisasinya dalam kampanye menjadi vote getter misalnya,"
pinta Feriansyah.
P2G
meminta organisasi guru yang jumlahnya puluhan untuk mengawasi kualitas
proses Pemilu demi terwujudnya Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Ketujuh,
P2G meminta Kemdikbudristek membuka kembali ruang dialog berkualitas
dengan asas partisipasi yang bermakna dalam proses perancangan RUU
Sistem Pendidikan Nasional.
P2G
melihat pascaditolaknya RUU Sisdiknas, Kemdikbudristek tidak pernah
lagi membuka ruang dialog kepada semua stakeholders pendidikan.
P2G
sebenarnya mendukung revisi UU Sisdiknas yang lama, tetapi harus ada
pelibatan semua pemangku kepentingan. Dan tidak merugikan hak-hak guru
sebab UU Guru dan Dosen yang sekarang sedemikian ideal mengatur hak guru
meskipun lemah dalam implementasi.
"P2G
berharap adanya partisipasi yang bermakna. RUU Sisdiknas hendaknya
lahir dari pikiran seluruh komponen bangsa untuk jangka panjang, bukan
dari satu atau dua kelompok saja," pungkas Feriansyah
0 comments:
Post a Comment