Partai Keadilan Sejahtera membuktikan diri mampu bertahan di tengah gelombang politik. Partai ini memiliki loyalitas pemilih yang ideologis. Mampukah PKS meraup pemilih baru pada Pemilu 2024?
Pertimbangan ideologi menjadi basis alasan pemilih memberikan dukungan kepada Partai Keadilan Sejahtera. Hal ini makin menegaskan, ideologi memang begitu melekat dalam potret sekaligus citra partai ini dalam membangun relasi dengan pemilihnya. Meskipun demikian, ideologi juga menjadi tantangan bagi partai ini untuk melebarkan sayap guna meraup pemilih baru.
Kesimpulan ini terekam dari hasil survei Litbang Kompas pada Juni lalu. Dari sisi elektoral, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebenarnya relatif stabil, meskipun secara tren angka elektabilitasnya cenderung mengalami dinamika dari hasil sejumlah survei yang digelar Litbang Kompas.
Jika mengasumsikan partai politik papan menengah itu perolehan suaranya 5-10 persen, hasil survei menegaskan, elektoral PKS yang berdiri sejak 20 Juli 1998 dengan nama awal Partai Keadilan, sejauh ini masih bertahan di kelompok partai politik papan menengah.
Saat masih bernama Partai Keadilan, perolehan suaranya di Pemilu 1999 hanya 1,36 persen. Suaranya melejit di Pemilu 2004 dengan nama baru, PKS, yang meraih 7,34 persen suara. Pada Pemilu 2009, suaranya kembali melonjak dengan raihan 7,88 persen.
Pada Pemilu 2014, suaranya sedikit menurun di angka 6,789 persen. Penurunan ini ditengarai tidak lepas dari kasus hukum yang menjerat Presiden PKS saat itu, Luthfi Hasan Ishaaq, dalam kasus suap impor daging.
Namun, penurunan suara ini relatif tidak menggoyahkan posisi PKS di jajaran partai politik papan menengah. Artinya, prediksi banyak pihak partai ini akan mengalami penurunan tajam tidak terbukti, bahkan suaranya kembali naik di Pemilu 2019 dengan meraup 8,21 persen.
Hal ini menjadi potret, PKS memang memiliki pemilih yang cukup loyal sehingga guncangan yang melanda partai ini tidak membuat ia kehilangan banyak dukungan.
Loyalitas
Loyalitas pemilih PKS ini juga terbaca dari hasil survei Litbang Kompas. Loyalitas pemilih partai ini tercatat mencapai 73,9 persen. Loyalitas ini diukur dari konsistensi pilihan responden terhadap partai politik jika pemilihan umum dilakukan saat survei digelar. Tingkat loyalitas pemilih PKS ini relatif lebih tinggi dibandingkan sejumlah partai politik lainnya yang masih di bawah 70 persen.
Loyalitas ini beririsan dengan faktor ideologi yang menjadi alasan mengapa pilihan mereka diberikan kepada PKS. Sebanyak 22,2 persen responden pemilih partai ini menyebutkan, faktor ideologi partai menjadi pertimbangan utama mereka memilih PKS.
Pertimbangan kedua yang dijadikan pertimbangan adalah keberadaan tokoh partai (19 persen) dan disusul kemudian dengan program kerja partai (15,9 persen).
Hal ini makin menegaskan hubungan yang dibangun antara PKS dan pemilihnya memang relasi yang berbasis ideologi partai. Sebuah relasi yang cukup kuat dan tidak gampang berubah. Bagaimanapun, sebuah nilai-nilai ideal dalam pandangan sebuah partai menjadi ikatan emosional dengan pemilihnya.
Hal ini menjawab mengapa partai ini bertahan tetap berada di kelompok partai papan menengah. Pemilih loyal yang terikat dengan kesamaan ideologi menjadi kekuatan sekaligus modal sosial yang cukup melekat dengan karakter partai ini.
Meskipun demikian, loyalitas pemilih yang dibalut dengan ideologi, terutama nilai-nilai Islam yang selama ini inheren dengan pemilih dan kader-kader PKS, tidak serta-merta membuat orientasi pilihan menjadi utuh dan tunggal. Dalam hal pilihan calon presiden, misalnya, pilihan pemilih PKS juga berpotensi mengalami pembelahan.Pembelahan yang dimaksud adalah terkait potensi terjadinya split voting antara pilihan ke partai politik dan pilihan ke calon presiden. Hal ini terutama bisa dilihat dari kelompok pemilih loyal PKS. Sebanyak 75 persen responden pemilih loyal PKS berpotensi mengalami keterbelahan pilihan ketika dihadapkan pada pilihan tentang sosok calon presiden.
Sosok capres
Potensi keterbelahan pilihan ini terjadi, khususnya jika dikaitkan dengan sosok calon presiden yang menjadi pilihan PKS. Jika PKS mengusung calon presiden yang dikehendaki pemilih loyalnya, mungkin potensi pilihan yang terbelah kecil kemungkinan terjadi.
Sebaliknya, jika pilihan capres yang diusung tidak dikehendaki pemilih loyalnya, loyalitas pemilihnya tinggal 31,7 persen yang akan tetap setiap memilih partai ini di pemilu 2024. Sementara kurang lebih separuh dari responden pemilih PKS akan beralih ke partai politik lain jika capres yang diusung nanti tidak dikehendaki oleh pemilih partai ini.
Dari hasil survei ini bisa dibaca, pilihan partai politik mengusung sosok untuk menjadi calon presiden di 2024 nanti turut memengaruhi potensi elektoral partai politik. Jika mengacu pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, pemilih loyal memang masih menjadi andalan bagi PKS untuk berkontestasi di pemilu. Artinya, mengamankan dukungan pemilih loyal tentu menjadi kata kunci utama guna mengamankan elektoral partai di pemilu nanti.
Apalagi jika mengacu pengalaman pemilihan umum serentak 2019, dukungan PKS ke pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno setidaknya juga memberikan insentif elektoral kepada partai dan boleh jadi ini bagian dari efek ekor jas (coattail effect) bagi PKS. Setidaknya ini terbukti dengan kenaikan suara yang diraih PKS pada Pemilu 2019.
Hal ini menjadi sinyal ada kecenderungan yang kuat sosok calon presiden yang diusung berpengaruh pada potensi elektoral partai politik pengusung. Tentu, terlepas dari efek ekor jas ini, loyalitas pemilih PKS di Pemilu 2019 relatif terjaga karena jika merujuk survei-survei sebelum pemilu, sosok Prabowo memang banyak menjadi pilihan dari responden pemilih PKS.
Nah, bagaimana Pemilu 2024? Jika mengacu survei Litbang Kompas Juni lalu, sebagian besar responden pemilih PKS lebih memilih sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden yang diusung partai ini.
Sebanyak 34,1 persen pemilih PKS lebih condong memilih Anies untuk menjadi calon presiden yang didukung PKS. Sementara sebanyak 25 persen responden pemilih PKS lainnya masih setia untuk memilih Prabowo sebagai sosok capres yang harus diusung partai ini.
Pemilih loyal yang dibalut dengan ikatan ideologi partai memang akan menjadi tulang punggung bagi PKS untuk mengarungi kontestasi di 2024, terutama terkait penentuan sosok calon presiden yang akan diusung.
Jika merujuk hasil survei Litbang Kompas, pilihan mendukung Anies Baswedan di Pemilihan Presiden 2024 bisa menjadi opsi untuk mengamankan potensi elektoral partai, terutama dari pemilih loyal mereka. Apalagi sosok Anies selama ini juga sudah dekat dengan PKS, terutama saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam.
Ideologi
Pada akhirnya, loyalitas pemilih, mau tidak mau, harus tetap menjadi pegangan PKS. Apalagi pemilih loyal dan ideologis PKS tampaknya juga makin linier dengan posisi partai ini yang berada di luar pemerintahan.
Hasil survei Litbang Kompas mencatat, responden pemilih PKS cenderung lebih kritis pada kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam dua survei terakhir.
Hal ini bisa dilihat dari kuadran yang menghubungkan antara tingkat kepuasan dan tingkat keyakinan pada kinerja pemerintah. Responden pemilih PKS di dua survei Litbang Kompas konsisten berada di kuadran kiri bawah di mana tingkat kepuasan dan keyakinannya rendah pada kinerja pemerintah.
Potret ini makin menguatkan, pilihan PKS menjadi partai oposisi tidak jauh dari aspirasi para pemilihnya. Bisa jadi hal ini juga menjadi pertimbangan PKS dalam mengambil langkah-langkah politik di Pemilu 2024 nanti. Apalagi sinyal penolakan dari PDI Perjuangan yang tidak ingin berkoalisi dengan PKS di 2024 bisa menjadi penguat ke mana arah politik PKS dilabuhkan di pemilu nanti.
Menariknya, kuatnya basis ideologis dari pemilih loyal PKS ini juga menjadi resistansi dari pemilih di luar yang notabene juga menjadi pasar pemilih yang diperebutkan oleh semua partai di pemilu, termasuk oleh PKS. Faktor ideologi ini menjadi alasan terbesar yang disebutkan oleh 30,2 persen yang mengaku resistan terhadap PKS.
Jadi, agenda bagi PKS ke depan, khususnya terkait bagaimana meraup pemilih-pemilih baru yang selama ini belum mengenal partai ini adalah menghadirkan ideologi partai yang lebih bisa diterima oleh pemilih-pemilih di luar PKS.
Dengan komposisi 60 persen pemilih di 2024 adalah pemilih milenial, tentu PKS membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus agar ideologi yang selama ini menjadi kekuatan PKS, tapi menjadi faktor resistansi bagi pemilih baru, bisa hadir lebih mudah di hadapan pasar pemilih yang plural dan terbuka.
Pada akhirnya, pilihan rasional bagi PKS adalah bagaimana merawat pemilih lama dan setianya dengan tidak menutup peluang mendulang pemilih-pemilih baru. Keduanya ”dibedakan” oleh pertimbangan ideologi. Pemilih loyal memilih PKS karena ikatan ideologis, sedangkan pemilih di luar tidak memilih PKS karena juga pertimbangan ideologi.
Tak berlebihan kiranya jika dikatakan, ideologi itu kekuatan sekaligus tantangan bagi PKS. Mempertemukan keduanya tanpa menghilangkan identitas partai menjadi pekerjaan rumah yang mewarnai langkah PKS di masa depan. (LITBANG KOMPAS)
0 comments:
Post a Comment