Fatwa MUI
Pada tahun 2015 silam, Majlis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan
fatwa yang boleh dikatakan sangat menarik dan sempat menyita perhatian
publik, yakni tentang masalah strategis kebangsaan (masail asasiyyah
wathaniyyah). Fatwa tersebut merupakan hasil dari Ijtima’ Komisi Fatwa
MUI V di Tegal, Jawa Tengah (7-10/6/2015)
Yang menggelitik untuk dicermati, dari sepuluh poin fatwa tentang masalah strategis kebangsaan, ada empat poin yang secara khusus menyinggung soal ikhwal janji politik, yakni poin 3, 4, 5 dan 6.
Pertama, pada poin 3 MUI mengingatkan, bahwa dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.
Tak dapat dipungkiri, selama ini tabiat umbar janji para politisi dan calon pemimpin memang tidak jarang bersifat eksesif, bahkan terkadang tidak logis. Seribu janji muncrat begitu saja dari mulut mereka. Tentang hal ini, mantan Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Khrushchev dengan sinis pernah mengatakan, bahwa politisi itu sama saja di mana-mana. Mereka berjanji membangun jembatan, bahkan di tempat yang tidak ada sungai.
Kedua, pada poin ke 4 MUI menegaskan, bahwa calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan suatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya.
Saat kampanye, para politisi yang maju sebagai calon pemimpin memang sering kali melontarkan janji-janji manis untuk mencuri simpati publik. Dengan sikap empati yang tinggi, ia akan merancang janjinya sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan publik. Dengan meyakinkan, dia berjanji jika kelak berkuasa dia akan memberikan sejuta kebaikan kepada rakyat.
Lazimnya, jika ia seorang incumbent, maka ia akan berjanji untuk lebih menyempurnakan kebaikannya. Dan biasanya slogan yang kerap dipakai adalah “lanjutkan”, tak perduli apakah yang telah ia perbuat kepada rakyat memang layak dilanjutkan atau sebenarnya sangat mengecewakan.
Sedangkan bagi calon pemimpin pendatang baru (new-comer), biasanya modus yang dipakai dalam berjanji adalah dengan mengatakan ia akan lebih baik dari pemimpin sebelumnya (incumbent), sembari dia akan mengungkap sisi-sisi negatif dari pemimpin sebelumnya itu.
Ketiga, pada poin ke 5 MUI menegaskan, bahwa calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Sebutlah misalnya calon pemimpin yang berjanji ingin melegalkan minuman keras, perjudian, perzinaan atau prostitusi dan sebagainya.
Terkait hal ini, Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin mengatakan, tidak ada
ketaatan kepada makhluk, termasuk pemimpin, dalam hal bermaksiat kepada
Allah. Pemimpin seperti ini wajib untuk dilawan dan ditolak.
Bahkan dalam fatwa ini MUI menegaskan, jika calon pemimpin tersebut
berjanji yang menyalahi ketentuan agama maka haram dipilih, dan bila
ternyata terlanjur terpilih, maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
Keempat, pada poin 6 lebih tegas lagi disebutkan, bahwa pemimpin publik yang menjanjikan memberi sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam ketegori risywah (suap).
Poin ini adalah fatwa yang paling menarik karena paling sering dan banyak dipraktikkan oleh para calon pemimpin yang lagi bertarung memperebutkan kekuasaan. Dalam konteks ini, para calon pemimpin bukan cuma sekedar menjanjikan imbalan, bahkan mereka juga melakukan risywah langsung kepada pihak-pihak yang berjasa membantu mereka untuk merebut kekuasaan. Politik uang (mony politic) adalah salah satu contoh risywah politik yang paling populer ditengah-tengah kehidupan demokrasi masyarakat kita.
Terlebih lagi jika jabatan yang diemban para pemimpin itu dijalani di bawah sumpah, Allah mengingatkan; “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu . Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (QS. An-Nahl : 91).
Peringatan Allah SWT ini dikuatkan lagi dalam surat An-Nal : 94 ; “Janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar”.
Begitu juga Rasulullah SAW pernah mengatakan, janji adalah hutang (al wa’du dainun). Nasehat itu merupakan kata-kata bijak yang telah menjadi pegangan umat Islam selama ribuan tahun, namun kini sepertinya sering tidak diindahkan. Sekarang melanggar dan mengingkari janji dikalangan pemimpin seakan sudah menjadi galib dan cenderung dianggap lazim, padahal janji adalah hutang, hutang yang harus dibayar.
Selain itu, perlu diketahui dan disadari oleh para politisi dan pemimpin di republik ini, bahwa ingkar janji itu merupakan sifat dan perbuatan syetan. Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.(QS. An-Nisa: 120).
Dalam praktiknya, syaitan menggunakan janji itu dalam rangka mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam kesesatan. Dengan menjual janji itu, maka syetan telah berhasil menangguk keuntungan yang sangat besar. Karena alih-alih melaksanakan janjinya, syetan justru akan merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu.
Penutup
Begitulah, tanggungjawab kekuasaan itu sesungguhnya amat sederhana,
yaitu persoalan bagaimana sang penguasa mau dan mampu menunaikan semua
janji yang telah diumbarnya kepada rakyat sebelum ia berkusa. Itu saja.
Jadi, tidak perlu kiranya sesumbar melontarkan aneka slogan yang
bombasitis yang muykil untuk direalisasikan.
Oleh karena itu, kiranya sudah saatnya dalam kultur dunia politik kita digalakan budaya irit dalam berjanji. Tujuannya agar janji itu bisa sedapat mungkin dipenuhi. Ketika janji bisa ditunaikan, maka itulah sesunggunya kesuksesan sejati dari seorang pemimpin. Dan bagi pemimpin yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, Allah SWT memastikan keberuntungan dan kemulian bagi mereka.(QS. Al-Mu`minun:8).
Tentunya Fatwa MUI tersebut pantas untuk diapresiasi. Fatwa itu menjadi warning kepada seluruh pemimpin di seluruh jajaran dari tingkat nasional sampai tingkat daerah, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Maka seperti harapan MUI agar fatwa yang dikeluarkannya dapat dijadikan pegangan dan pedoman, sekaligus menjadi peringatan kepada setiap pemimpin, agar menepati janji yang pernah diucapkannya.
Namun, meskipun sudah berlaku selama 4 tahun, faktanya fatwa itu belum membawa implikasi signifikan untuk memperbaiki mentalitas para pemimpin di republik ini.
0 comments:
Post a Comment