Kesenjangan sosial bukan lagi kata-kata yang asing, namun di bawah tekanan pandemi ini, pernyataan seperti “kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin” menjadi kenyataan rakyat yang tidak dapat diabaikan lagi. Diawali dari penemuannya virus SARS-CoV-2 di Wuhan, China, pada akhir tahun 2019, kestabilan dunia terguncang secara drastis. Virus Covid-19 ini tidak hanya mengguncang bidang kesehatan, rakyat pun terdampak berat dalam aspek psikologis dan terutama sosio-ekonomis. Pandemi ini berhasil mengubah aktivitas keseharian masyarakat, terutama dalam aspek karir per individu.
Per bulan Februari 2021, jumlah pekerja yang mengalami pengangguran massal telah mencapai lebih dari 8,75 juta (Badan Pusat Statistik (BPS), 2023). Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mencatat 17,8 persen perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), 25,6 persen merumahkan pekerja, dan 10 persen melakukan keduanya. Selain itu, pekerja yang tetap aktif di perusahaan tertekan di bawah penjualan yang menurun, sales yang tidak laku, dan kesulitan adaptasi ke dunia baru. Maka dari itu, banyak rumah tangga terdampak ombak pengangguran ini. Akan tetapi, melebihi pandemi ini, dunia kapitalisme dengan kekerasannya bekerja dan mencari kerja bukan merupakan konsep yang baru. Hanya saja, kehadiran virus ini yang menjadi salah satu katalis pembongkaran seluk-beluknya kerumitan kapitalisme ini.
Analisis yang dilakukan oleh SMERU Research Institute menemukan lima efek utama pandemi COVID-19 terhadap sosial dan ekonomi. Pertama, dampak COVID-19 pada keuangan rumah tangga sangat parah. Tiga perempat responden mengatakan mereka mengalami penurunan penghasilan dibandingkan dengan kondisi mereka pada Januari 2020. Tidak hanya itu, mereka juga mengalami kenaikan dalam pengeluaran karena harga kebutuhan primer yang cenderung naik. Kedua, bantuan sosial dari pemerintah tidak menggapai semua warga yang membutuhkan. Ketiga, banyak anak–anak yang tidak mendapatkan lagi edukasi dan pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan internet dan perangkat yang dimiliki sehingga tidak lagi dapat mendukung anak–anak bersekolah daring. Soal layanan kesehatan, banyak rumah sakit atau Puskesmas yang tidak menerima pasien anak–anak karena takut tertular COVID-19. Keempat, ketidaksetaraan gender membuat para ibu memiliki tanggung jawab yang lebih banyak karena sekolah yang tidak lagi luring. Terakhir, ketersediaan pangan yang mengkhawatirkan (Andrina et al., 2021).
Kemiskinan Struktural
Ada dua perspektif berbeda tentang kemiskinan: kemiskinan dalam konsep individual dan kemiskinan dalam konsep struktural. Biasanya konsep individual didukung oleh para sayap kanan, sedangkan konsep struktural didukung orang — orang kiri (Bramley, 2016). Dari sudut pandang kemiskinan individual, orang — orang berada dalam kemiskinan karena mereka kurang berpengetahuan, tidak berpendidikan, malas, atau inferior dalam beberapa hal (Bridges, 2016). Implikasi dari teori ini adalah orang — orang yang lahir dari keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan menjadi seorang yang miskin. Jika perspektif ini akurat, maka pemberantasan kemiskinan akan realistis dalam arti keluarga yang membutuhkan dapat didukung untuk keluar dari kemiskinan (Daas, 2018).
Perspektif kemiskinan dalam konsep struktural berimplikasi bahwa orang — orang “yang dimiskinkan” menyadari mereka terjebak dalam sebuah struktur ekonomi yang ditandai dengan pendapatan yang tidak mencukupi. Struktur yang dimaksud mengacu pada struktur politik, sosial, dan ekonomi yang memiliki nilai — nilai dan ideologi tertentu. Sebagian besar orang dalam struktur ini tidak selamanya berada dalam garis kemiskinan dikarenakan kehidupan manusia yang dinamis (Mosse, 2010). Masalahnya, kondisi dalam kebanyakan negara berkembang adalah orang — orang di bawah garis kemiskinan terjebak dalam lingkaran setan yang dikenal sebagai poverty trap atau perangkap kemiskinan. Poverty trap dapat dimengerti sebagai seperangkat mekanisme penguatan diri di mana negara-negara mulai miskin dan tetap miskin: kemiskinan melahirkan kemiskinan, sehingga kemiskinan saat ini itu sendiri merupakan penyebab langsung kemiskinan di masa depan (Azariadis & Stachurski, 2005). Oleh karena itu cara paling efisien untuk memberantas kemiskinan adalah dengan mengubah struktur ekonomi menjadi lebih fokus terhadap orang — orang berpenghasilan rendah (Daas, 2018).
Kolonialisme — Mulanya Ketimpangan Sosial (per-Wilayah) di Indonesia
Sejarah terbentuknya negara kita mulai jauh sebelum kemerdekaan kita, dimana perjuangan untuk keadilan masih dipertanyakan. Runtuhnya Kerajaan Mataram membawa pertukaran kekuatan ekonomi dan politik kepada Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) selama abad-18. Mayoritas populasi kerajaan kolonial tersebut saat itu berpusat pada pulau Jawa, yang juga menjadi pusat pengembangan sistem budidaya Belanda yang dikenali sebagai Cultuurstelsel sebagai bentuk eksekusi dari kegiatan ekonomi mereka (Dell & Olken, 2019). Sistem budidaya ini akhirnya membentuk produksi ekspor gula yang massal, sehingga cepat menjadi pendapatan terbesar Belanda; dimana sekitar 96 persen dari keuntungan datang dari hasil panen kopi dan gula dari abad 1850 ke atas (Elson, 1994). Bahkan, pendapatan dari sistem tersebut sempat membuat pulau Jawa sebagai koloni yang paling menguntungkan, yang menghasilkan lebih dari sepertiga keuntungan pemerintah Belanda (Zanden, 2010).
Sebagai hasil, wilayah-wilayah Indonesia dimana penguasa kolonial Belanda membangun industri penghasil gula tersebut tetap lebih produktif secara ekonomis sampai sekarang dibandingkan dengan bagian lain negara ini (Dizikes, 2020). Ditemukan, wilayah yang sebelumnya dimanfaatkan sebagai pusat produksi gula ini membawa infrastruktur berlebihan seperti rel kereta api dan jalan raya, yang akhirnya membawa hasil signifikan untuk negara. Sehingga, berbagai industri berkembang mengikuti industri gula ini (Olken, 2020). Tetapi, harus dipahami bahwa riset dan penemuan terhadap perkembangan industri yang dibawa oleh Belanda ini bukan merupakan hal yang positif untuk Indonesia. Perlu diketahui juga bahwa hanya gula olahan dengan kualitas buruk dapat diberikan untuk warga Indonesia sendiri, sedangkan yang berkualitas baik digunakan sebagai bahan ekspor yang berkontribusi ke dalam dompet pemerintahan Belanda saat itu. Belum lagi, akibat penjajahan Belanda, Indonesia kini tetap mengalami konsekuensi dalam bentuk ketimpangan sosial yang dipisah per daerah. Tentu saja, tidak mengejutkan untuk mengetahui bahwa pulau Jawa kini memiliki kelebihan ekonomis yang tidak adil dibanding wilayah Indonesia yang lain.
Tahun lalu pada bulan Agustus, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia menghadapi kesenjangan per wilayah. Beliau terutama membahas gap infrastruktur pulau Jawa dibanding pulau-pulau lainnya, keseluruhan Sumatera, hingga Papua. Hingga saat ini, pulau Jawa tetap menjadi kontributor terbesar PDB negara. Per 2020 kemarin, Jawa memberi sebanyak 58,75 persen dalam kontribusi PDB, diikuti dengan Sumatera yang sebanyak 21,36 persen dan Kalimantan sebanyak 7,94 persen (Badan Pusat Statistik, 2020). Sudah jelas, selisihnya antar-pulau jauh beda.
Masalahnya, pembangunan yang terlalu Jawa-sentris selama ini dihadapi dengan berbagai tantangan, tepatnya seperti kesenjangan sosial dan arus migrasi yang terus-menerus berat di Jawa (Rachbini & Abdullah, 2020). Ditemukan juga, tingginya kesenjangan antar-wilayah mengancam kestabilan sosio-ekonomis, diantaranya perihal kohesi sosial politik yang dapat dianggap buruk, mengurang kegiatan kewirausahaan, dan semakin melemah pertumbuhan ekonomi oleh karena ketidakmampuan kelompok miskin yang semakin kronis (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2017). Akar masalah dari kesenjangan sosial per-wilayah ini membawa efek bola salju, bahkan masyarakat yang lebih mampu yang tinggal di wilayah luar Jawa ini dirampas dari fasilitas berkualitas selayaknya pulau lain. Sebagai contoh, pelayanan dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) mengalami disparitas regional, sehingga angka kematian bayi di Jakarta menghitung 27 per seribu kelahiran berbeda jauh dengan angka di provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu 90 per seribu kelahiran.
Kesenjangan Sejak Dini dari Pendidikan Indonesia
Selain disparitas dalam kualitas fasilitas umum kesehatan, pendidikan pun kini dihadapi dengan tantangan baru sejak pandemi Covid-19; susah sinyal, masalah yang juga datang dari kemampuan ekonomis wilayah masing-masing (Prabowo, 2020). Belum juga membahas kemampuan ekonomis keluarga masing-masing seperti memenuhi kebutuhan laptop, ponsel, serta membayar kuota internet. Inilah kasusnya untuk warga di Distrik Samunage, Papua, sebuah kawasan pegunungan. Jangankan sinyal, listrik pun tidak ada (Santi, 2020). Alhasil, kasus-kasus seperti ini membuat warga semakin sulit untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai kabar Covid-19, lokasi vaksinasi, dan bantuan pemerintah yang disediakan lainnya.
Tapi tentu saja, kesenjangan pendidikan ini bukan hal yang baru terjadi setelah Covid-19, hanya saja masalah kesenjangan ini semakin disoroti di bawah efek virus mewabah ini. Saat ini salah satu kesenjangan pendidikan yang paling menonjol berada dalam perbedaan pendidikan di desa dibanding pendidikan kota. Tidak heran bahwa fasilitas pendidikan lebih terkonsentrasi pada kota-kota besar seperti Jakarta sedangkan pendidikan di desa tertinggal, tepat karena sumber daya manusia yang berkualitas hadir dari perekonomian yang lebih baik. Selebihnya, minimnya akses transportasi serta buruknya fasilitas komunikasi ke desa menyebabkan rendah minat pengajar (Vito et al, 2014).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Joyo Nur Suryanto Gono (2006) bahwa struktur lembaga-lembaga sosial itu dikuasai oleh para pemilik modal. Struktur lembaga-lembaga sosial seperti pendidikan yang seharusnya berlaku membebaskan warga dari belenggu kemiskinan ini justru diberikan secara tidak proporsional. Pendidikan disproporsional ini semakin meninggalkan beberapa rakyat dalam kemiskinan sedangkan hanya upper-class Indonesia yang dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.
Dalam suatu penelitian mengenai kesenjangan pendidikan di Nusa Tenggara Timur, ditemukan bahwa walaupun angka melek huruf meningkat tahun ke tahun, kesenjangan yang diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ketika dibandingkan dengan IPM secara nasional tidak dapat dirapatkan (Kennedy et al, 2019). Ditemukan sebagian besar akibatnya karena NTT terletak secara geografis di kawasan perbatasan antarnegara juga, tempat yang terisolasi dan kekurangan aksesibilitas kepada layanan umum. Secara ekonomis, NTT juga mengalami kondisi ekonomis yang kurang baik oleh karena eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, seperti dari pertambangan mineral kepada perusahaan internasional, suatu masalah yang menambahkan kerumitan masalah besar yang dihadapi oleh perbatasan wilayah-wilayah Indonesia (Kennedy 2018). Seperti yang dapat dilihat, tanpa perubahan struktural secara sosio-ekonomis maka daerah-daerah terbelakang seperti ini pun tidak akan mengalami pengembangan.
Kesenjangan Sosial dari Ketidaksetaraan Gender
Indonesia, sebagai negara yang masih seringkali menunjukkan dirinya berakar dari patriarki, tidak lagi bisa memisahkan masalah kesenjangan sosial dari masalah ketidaksetaraan gender. Jumlah buruh perempuan yang mengalami diskriminasi dalam pekerjaan dan kekurangan kesempatan mobilitas tidaklah jarang. Salah satu kasusnya dapat dilihat dari perusahaan Aice tahun lalu. Perwakilan serikat buruh Aice, Sarinah, dari Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan Aice. Menurut Palmira Permata Bachtiar (2020), peneliti SMERU Research Institute, kasus Aice ini hanya puncak gunung es dari apa yang sebenarnya kondisi buruh perempuan di pabrik-pabrik lainnya.
Kasus ketidaksetaraan lain dapat dilihat pada penelitian industri sepatu di Tangerang, dimana upah tenaga kerja laki-laki berasal dari 10–15 persen dari total biaya produksi, sedangkan tenaga kerja perempuan ditekan hingga 5–8 persen. Padahal, pada kasus tersebut seluruh tenaga kerja terdiri dari 90 persen buruh perempuan (Khotimah, 2009). Lepas dari kota, kaum perempuan di Kampung Bungung Katammung Kabupaten Bantaeng mengalami marginalisasi dimana laki-laki lebih diutamakan untuk kerja di sawah atau kebun, sedangkan perempuan hanya mengerjakan pekerjaan kecil seperti mengait dan merontok padi, sehingga kurang kesempatan untuk upah yang lebih tinggi dan menetapkan buruh perempuan dalam lingkaran kemiskinan (Suardi, 2016).
Data dari International Labour Organization (ILO) mengenai persentase ketidaksetaraan di Indonesia pun konsisten menunjukkan perbedaan privilese gender. Contohnya pada jumlah partisipasi kerja tahun 2020, laki-laki sebanyak 67,4 persen sedangkan perempuan hanya 53,2 persen. Rasio pengerjaan per populasi pun mengalami ketimpangan, dimana laki-laki sebanyak 77,8 persen dan perempuan sebanyak 51,2 persen. Tentu tidak heran juga angka-angkanya menunjukkan konklusi yang sama untuk indikator pembagian jatah agrikultur serta pembagian industri, jasa, dan seterusnya.
0 comments:
Post a Comment