Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang. Para pemimpin bangsa dan masyarakat mempunyai keinginan luhur dan mulia supaya negara Indonesia terus berkembang dan bisa menjadi negara maju. Kita sangat berharap Indonesia bisa menjadi salah satu negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang.
Di era demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan pembangunan ekonomi. Terlebih lagi akhir-akhir ini terjadi perebutan kewenangan antara KPK dan Polri. Sebagai institusi yang sama-sama menangani korupsi, seharusnya KPK dan Polri bisa bekerja sama dalam memberantas korupsi. Tumpang tindih kewenangan seharusnya tidak terjadi jika dapat dikoordinasikan secara baik.
Penyebab terjadinya korupsipun bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi, yaitu rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan gaya hidup yang konsumtif, budaya memberi tips (uang pelicin), budaya malu yang rendah, sanksi hukum lemah yang tidak mampu menimbulkan efek jera, penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, dan kurangnya pengawasan hukum.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, diperlukan kerja sama semua pihak maupun semua elemen masyarakat, tidak hanya institusi terkait saja. Beberapa institusi yang diberi kewenangan untuk memberantas korupsi, antara lain KPK, Kepolisian, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kejaksaan. Adanya KPK merupakan salah satu langkah berani pemerintah dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional maka mau tidak mau korupsi harus diberantas, baik dengan cara preventif maupun represif. Penanganan kasus korupsi harus mampu memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Tidak hanya demikian, sebagai warga Indonesia kita wajib memiliki budaya malu yang tinggi agar segala tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dapat diminimalisir.
Negara kita adalah negara hukum. Semua warga negara Indonesia memiliki derajat dan perlakuan yang sama di mata hukum. Maka dalam penindakan hukum bagi pelaku korupsi haruslah tidak boleh pilih kasih, baik bagi pejabat ataupun masyarakat kecil. Diperlukan sikap jeli pemerintah dan masyarakat sebagai aktor inti penggerak demokrasi di Indonesia, terutama dalam memilih para pejabat yang akan menjadi wakil rakyat. Tidak hanya itu, semua elemen masyarakat juga berhak mengawasi dan melaporkan kepada institusi terkait jika terindikasi adanya tindak pidana korupsi.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik menggembirakan. Hal ini dikarenakan banyak kasus korupsi di Indonesia yang belum tuntas diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, LSM dan alat perangkat negara lainnya.
Pemerintah mengharapkan masalah korupsi di Indonesia segera terselesaikan. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan beberapa hal seperti pembenahan dari aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak rambu-rambu berupa peraturan-peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, UU No.31 tahun 1999, UU No.20 tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 tahun 2002, sepuluh UU anti korupsi lainnya, dua Perpu, lima Inpres, dan tiga Kepres.
Perang terhadap korupsi dilakukan dengan masif dan berbagai cara. Dengan pertimbangan bahwa praktik pungutan liar (Pungli) telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pemerintah memandang perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera. Dalam upaya pemberantasan pungutan liar itu, pemerintah memandang perlu dibentuk satuan tugas sapu bersih pungutan liar.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, yang selanjutnya disebut Satgas Saber Pungli. Sejak Satuan Tugas ini dibentuk berbagai Operasi Tangkap Tangan (OTT) telah terjadi diberbagai dinas / instansi yang berpotensi melakukan pungutan liar.
Korupsi seakan sudah menjadi budaya yang telah mengakar. Dibentuknya lembaga super bodi dengan kewenangan full power untuk memberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan belum ada hasilnya. Kita gembira KPK berhasil menangkap dan memenjarakan banyak koruptor. Tetapi ternyata banyaknya koruptor yang ditangkap KPK dan dipenjara seakan tidak mengurangi koruptor-koruptor lainnya yang terus bermunculan, seakan tidak akan ada habisnya. Para koruptor terus membanjiri bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Kita sering dibuat heran, para koruptor merupakan mereka yang mempunyai gaji ratusan juta rupiah. Harta yang melimpah mewah. Tapi kenapa mereka tetap melakukan korupsi. Apalagi masih banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Kita hampir yakin para koruptor sudah kehilangan hati nuraninya.
Apalagi baru-baru ini kita dikejutkan dengan kasus korupsi e-KTP yang disinyalir melibatkan banyak pejabat. Kasus korupsi e-KTP diperkirakan sebagai salah satu kasus terbesar yang pernah ditangani KPK dari sisi kerugian negara. Kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp. 2,3 trilyun. Kita dapat membayangkan uang sebesar itu digunakan untuk merehabilitasi atau membangun sekolah akan sangat terasa manfaatnya.
0 comments:
Post a Comment