Sejak reformasi 1999, Indonesia secara resmi beralih menjadi negara yang menganut sistem demokrasi, seiring dengan lepas dan hilangnya sistem pemerintahan diktator di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Bergulirnya reformasi yang digagas publik, diharapkan membawa angin baru bagi perbaikan bangsa ini.
Torehan dari revolusi yang di perjuangkan masyarakat Indonesia atas represinya terhadap dictatorial pemerintahan orde baru menghasilkan sebuah demokrasi yang katanya membuat masyarakat (khususnya kalangan bawah) lebih terpenuhi hak-hak nya. Namun, pada kenyataannya, tujuan reformasi dan harapan lahirnya demokrasi yang baik untuk kesinambungan bangsa ini, tidak seperti yang diharapkan.
Dalam perjalanannya, banyak yang berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia saat ini diwarnai oleh oligarki politik, dimana pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Pun demikian dengan praktik politik, dimana kenyataan bahwa partai politik di Indonesia dikuasai oleh kelompok tertentu yang merupakan keturunan, keluarga, klik, yang membentuk elit yang menguasai Parpol. Bahkan, dalam pencalonan pemimpin atau pejabat negara diwarnai dengan praktik demokrasi yang menyimpang.
Oligarki tumbuh subur di Indonesia dalam sistem demokrasi Tanah Air, khususnya dalam gelaran Pemilu dan Pilkada. Hal ini disebabkan oleh tata kelola partai politik yang belum demokratis, regulasi, penegakan hukum lemah, hingga kesadaran masyarakat yang rendah.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, tentu praktik politik oligarki akan membawa dampak buruk terhadap perjalanan bangsa ini. Terjadinya monopoli kekuasaan, akan membawa bangsa ini mundur ke belakang. Artinya, reformasi telah gagal dan sia-sia.
Monopoli kekuasaan akan mengganggu demokrasi dan mengurangi keterlibatan masyarakat. Sehingga keterlibatan masyarakat menjadi kurang maksimal, dan seterusnya. Terjadi hegemoni dan sebagainya.
Dalam monopoli kekuasaan sangat memungkinkan terjadinya dinasti politik. Beberapa elite politik bahkan berhasil membentuk simpul dinasti politik baru melalui kemenangan kerabat mereka dalam pilkada. Dinasti politik yang dibangun Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya, anak dan menantunya, Gibran Rakabuming Raka yang kini calon Wakil Presiden dan Bobby Nasution dari Medan, serta Kaesang Pangarep yang langsung mencuat menjadi Ketua Umum PSI hanya beberapa hari setelah masuk sebagai anggota.
Secara hukum, memang tidak ada larangan terhadap politik dinasti. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Tapi dari segi demokrasi, politik dinasti merupakan ancaman karena membelokkan angan-angan demokrasi. Demokrasi membutuhkan adanya kesempatan yang terbuka dan adil bagi seluruh warga negara tanpa memandang latar belakang keluarga untuk dapat ikut ambil bagian di Pemilu. Selain itu, dinasti politik juga berpotensi menciptakan oligarki, nepotitisme, dan rentan melahirkan perkara korupsi.
Korupsi dapat terjadi jika ada monopoli kekuasaaan yang dipegang oleh seseorang, yang memiliki kewenangan berlebihan, tanpa disertai pertanggungjawaban yang jelas. Sedangkan akar terjadinya tindak pidana korupsi, biasanya diawali dengan gratifikasi, yakni suatu pemberian secara luas yang terkait dengan jabatan seseorang.
Tentu persoalan ini merupakan alarm bahaya yang menuntut kita semua (masyarakat) untuk waspada. Rasa curiga terhadap pemerintah perlu ditingkatkan. Sebab walaupun kekuasaan telah didistribusikan pada entitas yang berbeda, kekuasaan tetap tidak lepas dari kecenderungan yang korup. Apa lagi bila kekuasaan eksekutif dan legislatif berada ditangan orang-orang yang berasal dari keluarga yang sama.
Mari kita berbenah diri, untuk menjaga NKRI ini dari penyelewengan kekuasaan akiabt monopoli kekuasaan.
Ketua BEM Univesitas Trisakti Jakarta
0 comments:
Post a Comment