Good and Clean Governance
Isu paling aktual didiskusikan saat ini, di tengah-tengah munculnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia. Di mana berbagai kasus pelanggaran hukum, norma-norma dan etika sosial yang muncul di permukaan sejauh ini jarang mendapatkan solusi hukum yang memuaskan masyarakat. Berbagai kasus seperti kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon, divestasi aset-aset negara, UU Ciptakerja dan lain-lain yang merupakan masalah kebijakan ekonomi namun kenyataannya memiliki dampak ekonomi, sosial dan politik yang sangat besar. Kebijakan tersebut sangat tidak populer di tengah himpitan biaya hidup masyarakat kelas bawah yang semakin tinggi. Hutang pemerintah 7500 Triliun, diluar swasta yang besar lagi.
Terwujudnya pemerintahan bersih dan berwibawa sangat dibutuhkan, guna membentuk negeri yang dapat melindungi segenap bangsa, selain dapat memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Menuju kepada pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut diperlukan pengelolaan berbagai bidang kehidupan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya secara lebih serius, transparan, dan terarah serta melibatkan semua komponen bangsa guna bersama-sama bangkit dari keterpurukan dan kehinaan di mata dunia internasional. Realitasnya, NKRI semakin mundur dan sulit.
Mengingat konteksnya adalah sistem sosial, maka hakekatnya iapun tidak selalu identik dengan sebuah lingkaran kekuasaan an sich (authority power minded), atau dalam penafsiran yang lebih bebas, bahwa tidak semestinya obyek ini hanya difokuskan pada satu pilar dari sekian banyak segmen sosial yang ada, apalagi jika pilar itu hanya terpaku pada pemerintah saja. Akan tetapi obyek ini seharusnya juga terkait dengan pilar yang “diperintah” yaitu rakyat, sehingga dalam mengemban tugas penciptaan sistem yang baik dan bersih tidak saja menjadi tanggung jawab salah satu segmen secara dikotomis, tetapi juga bagi kedua pilar tersebut. Namun memang akhirnya secara efesien harus muncul political will dari pemerintah untuk secara sungguh-sungguh dan tidak setengah hati merealisasikan misi ini. Faktanya pemerintah terkesan “masa bodoh”.
Pengertian Good and Clean Government
Istilah ini merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu politik. Muncul di awal tahun 1990-an. Memiliki pengertian segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan publik yang bersifat baik (good) dan bersih (clean). Dalam konteks ini, pengertian good governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah (lembaga swadaya masyarakat).
Good governance sebagai suatu kondisi yang menjamin tentang adanya proses kesejajaran, kesamaan, dan keseimbangan peran serta saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen seperti pemerintahan (government), rakyat (citizen), dan usahawan (business). Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan ini tidak sebanding, dipastikan terjadi pembiasan dari konsep Good Governance tersebut. Kondisi ini yang nyatanya terjadi dalam kehidupan berbangsa/bernegara kita.
Penyelenggaraan pemerintahan dalam good governance berkaitan dengan isu transparansi, akuntabilitas publik, dan sebagainya. Secara konseptual dapat dipahami bahwa good governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat dapat mengatur ekonominya. Institusi serta sumber sosial dan politiknya tidak hanya sekedar dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan integrasi bagi kesejahteraan rakyat. Good Governance juga dipahami sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar, pemerintahan yang efisien, serta pemerintahan yang bebas dan bersih dari kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya, maka pelayanan umum menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Sebagai bagian dari sistem pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah sadar bahwa untuk mewujudkan konsep good governance mengandung tantangan yang cukup berat, sehingga bermodalkan komitmen yang kuat dan kepercayaan masyarakat, secara bertahap mulai menata kembali sinergi hubungan antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta. Hubungan ketiga komponen tersebut akan dapat sinergis apabila masing-masingmemahami posisi dan tugasnya. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah kesenjangan pada ketiga komponen itu sangat tinggi. Maka tidak ada pilihan, pemerintah harus melakukan upaya dalam pemberdayaan menuju kemandirian melalui suatu sistem pelayanan yang optimal.
Prinsip-Prinsip Good and Clean Governance
Menurut United Nation Development Programme (UNDP), ada beberapa karakteristik dari good governance adalah:
Pertama; Participation(partisipasi); setiap warga negara memiliki suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi yang mewakili kepentingannya.
Kedua; Rule of law(berbasis hukum); kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi hukum (supremacy of law)
b. Kepastian hukum (legal certainty)
c. Hukum yang responsif
d. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif
e. Indepensi peradilan
Ketiga; Transparancy (terbuka); transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan, baik pusat maupun di bawahnya. Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu; a). Penetapan posisi, jabatan, dan kedudukan, b). Kekayaan pejabat publik, c). Pemberian penghargaan, d). Penetapan kebijakan yang terkait pencerahan kehidupan, kesehatan, e). Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik, f). Keamanan dan ketertiban, g). Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Keempat; Responsiveness(responsif); setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani setiap stakeholders. Saat ini dirasakan betul buruknya pelayanan publik. Belum lagi realitas di masyarakat menganalogikan pelayanan publik identik dengan pengeluaran uang, atau perlu “suap” agar segala sesuatunya berjalan lancar sesuai kebutuhan kita. Jujur saja rakyat sudah muak dengan pelayanan secara umum di berbagai instansi yang ada, mulai dari pusat hingga kedaerah sampai instansi yang lebih rendah.
Kelima; Consensus orientation(orientasi konsensus); good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas. Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat mengambil kebijakan secara personal sesuai batas kewenangannya, tetapi menyangkut kebijakan- kebijakan penting dan bersifat publik harus diputuskan secara bersama dengan seluruh unsur terkait.
Keenam; Equity(kesetaraan); semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Asas kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini mengharuskan agar setiap pelaksanaan pemerintahan dapat bersikap dan berperilaku adil, khususnya dalam pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial. Bukan rahasia umum, seringkali ASN memberikan pelayanan tergantung kepada siapa yang dihadapi. Mereka yang punya status sosial tinggi biasanya jadi prioritas, tentunya karena adanya “imbalan”.
Ketujuh; Effectiveness and efficiency (efektif dan efisien); proses- proses dan lembaga-lembaga menghasilkan produknya sesuai yang telah digariskan, dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Adapun asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar.
Kedelapan; Accountability(akuntabel); para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society), bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.
Implementasi Good Governance di Indonesia
Fakta yang terjadi saat ini, tidak dapat dipungkiri tumbuh suburnya virus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalam birokrasi Indonesia. Penyebabnya karena lembaga yang mudah menghasilkan uang ini tidak diselenggarakan secara transparan dan accountable karena sistemnya yang otoriter dan tidak demokratis. Sehingga ia tidak dapat diawasi oleh lembaga negara itu sendiri maupun oleh masyarakat. Untuk membenahi hal tersebut, maka diperlukan perpaduan dua semangat atau kesadaran yang saling terkait; yaitu semangat struktural yang diejawantahkan melalui proses regulasi- regulasi dan aplikasinya ke arah penciptaan sebuah pemerintahan yang bermoral; baik dan bersih,selain semangat budaya yang disertai integritas moral rakyat untuk berpartisipasi aktif menopang suatu pemerintahan yang baik dan bersih.
Good and Clean Governance dalam Prespektif Syariat Islam
Landasan bagi diterimanya konsep good governance dalam Islam dapat dilihat pada beberapa sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu Alquran dan hadis Nabi. Kisah Nabi-nabi seperti Zulqarnain (QS. al- Kahfi: 83-101), Musa (QS. al-Baqarah: 40), Thaluth (QS. al-Baqarah: 246-252), Daud (QS. Shad: 18-26, al-Ankabut: 15-45), Yusuf (QS. Yusuf: 55), mengungkapkan banyak isyarat berkaitan perjuangan mengimplementasikan good and clean governance.
Dalam pelaksanaan tugas sebagai pengelola umat, baik dalam konteks keagamaan maupun sebagai pemimpin pemerintahan, para nabi memiliki sifat-sifat seperti shiddiq, amanah, fathanah, istiqamah, dan tabligh. Menurut Andi Faisal Bakti, sifat-sifat ini dapat diparalelkan dengan beberapa prinsip yang terdapat dalam good governance. Sifat shiddiq dipahami sebagai sikap jujur dapat dipadankan pada prinsip transparansi, sifat istiqamah yang bermakna teguh pendirian diparalelkan dengan prinsip konsistensi dan komitmen, sedangkan amanah yang berarti bertanggungjawab dapat diparalelkan dengan akuntabilitas, dan tabligh yang dipahami terbuka diparalelkan dengan prinsip komunikatif.
Syamsul Anwar dalam tulisannya tentang good governance mengungkap beberapa nilai dasar tersebut, yaitu:
Pertama, nilai keadilan. Dalam Islam penegasan tentang keadilan dilakukan secara berulang-ulang dalam Alquran, misalnya: berbuat adillah kamu, (karena) berbuat adil itu lebih dekat kepada takwa…(Qs. Al-Maidah: 8), ….dan apabila kamu memberi keputusan, hendaklah kamu memutuskan secara adil (Qs. An-nisa’: 58). Dari nilai keadilan diturunkan asas perlakuan yang sama (al-muamalah bi al-mitsl). Perlakuan yang sama dalam hukum Islam menjadi landasan hubungan antara manusia termasuk pemberian pelayanan.
Kedua, nilai amanah. Alquran menyatakan: …dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya (QS. Al- Baqarah: 2: 42). Salah satu asas yang dapat ditarik dari nilai ini adalah asas transparansi dan akuntabilitas.
Ketiga, nilai kejujuran, sebagaimana firman Allah yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)”. Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang selama ini marak terjadi, dikarenakan hilangnya ruh ketakwaan (kejujuran) pada individu-individu yang bersangkutan. Sangat memprihatinkan realiatas ASN dan rakyat saat ini. Moralitas berada dalam kondisi nadir.
Keempat, nilai syura. Nilai didasarkan pada pernyataan Alquran:… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (QS. Ali Imran: 159). Dari ini dapat diturunkan asas hukum penyelenggaraan pemerintahan berupa asas partisipasi masyarakat.
Kelima, nilai meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Hal ini didasarkan pada hadis dari Abu Hurairah: Sebaik-baik Islamnya seseorang adalah bahwa ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya (HR. Tirmidzi dan Ahmad). Dari nilai ini dapat diturunkan asas efisiensi dalam penyelenggaraan kepentingan publik (bahkan kepentingan diri sendiri).
Keenam, nilai ukhwah dan tanggung jawab. Nilai ini didasarkan pada adanya asas responsivitas dalam pemberian pelayanan. Responsivitas ini dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta merencanakan program-program pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Disampaikan dalam kajian Majelis Tasbih oleh Dr. Agus Suarman Sudarsa, M.Si (Dosen Magister Administrasi Publik Sekolah Pascasarjana Universitas Djuanda)
0 comments:
Post a Comment