SETIAP Iduladha, umat Islam di berbagai penjuru dunia melaksanakan
ibadah kurban sebagai bentuk ketakwaan dan pengorbanan. Di Indonesia,
semangat berkurban tidak hanya hadir dalam bentuk ritual penyembelihan
hewan, tetapi juga menjadi momen kebersamaan sosial yang kuat.
Namun, yang sering terlewatkan dalam perbincangan publik bahwa ibadah
kurban juga menyimpan potensi besar sebagai instrumen pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan sosial, khususnya bagi masyarakat akar rumput.
Dengan kata lain, kurban tidak semata-mata
bersifat simbolik dan spiritual, tetapi juga dapat berperan sebagai
motor penggerak ekonomi umat jika dikelola secara strategis dan
inklusif.
Dimensi ekonomi dari ibadah kurban sangat nyata. Setiap tahun, permintaan hewan ternak menjelang Iduladha melonjak signifikan, menciptakan efek domino pada sektor peternakan, perdagangan lokal, jasa transportasi, hingga pemotongan dan distribusi daging.
Dimensi ekonomi dari ibadah kurban sangat nyata. Setiap tahun, permintaan hewan ternak menjelang Iduladha melonjak signifikan, menciptakan efek domino pada sektor peternakan, perdagangan lokal, jasa transportasi, hingga pemotongan dan distribusi daging.
Perputaran uang yang tercipta dari kegiatan ini bernilai triliunan Rupiah, dan sebagian besar bersumber dari masyarakat kelas menengah ke atas yang menjadi pekurban. Di sinilah terletak potensi redistribusi ekonomi: dana dari kelompok berdaya beli tinggi dapat disalurkan secara produktif kepada peternak kecil, pelaku usaha mikro, dan masyarakat kurang mampu sebagai penerima manfaat daging kurban.
Namun, potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan. Sebagian besar pembelian hewan kurban masih terpusat pada penyedia besar, bahkan tidak jarang berasal dari luar daerah atau impor. Hal ini membuat peternak lokal di pedesaan tidak mendapatkan akses pasar yang layak, padahal mereka adalah aktor utama yang seharusnya paling diuntungkan dalam momentum ini.
Demikian pula, distribusi daging kurban seringkali tidak merata, bahkan menumpuk di wilayah-wilayah urban yang sebenarnya tidak kekurangan akses pangan. Akibatnya, tujuan sosial dari kurban yakni membantu kelompok rentan dan mengurangi kesenjangan akses terhadap sumber protein hewani tidak sepenuhnya tercapai.
Dalam perspektif ekonomi Islam, ibadah kurban memiliki nilai yang sejalan dengan prinsip keadilan distributif dan pemberdayaan ekonomi. Prinsip ta’awun (saling tolong-menolong) dan maslahah (kemaslahatan umum) dapat dijadikan dasar untuk mendesain tata kelola kurban yang lebih inklusif dan berpihak pada masyarakat lapisan bawah.
Penguatan sektor peternakan rakyat melalui skema kemitraan, pelatihan, dan akses pasar bisa menjadi strategi jangka panjang yang berangkat dari tradisi kurban. Selain itu, pendekatan teknologi seperti digitalisasi platform kurban perlu diarahkan tidak hanya untuk memudahkan transaksi, tetapi juga memastikan transparansi, keberpihakan pada peternak kecil, dan akurasi penyaluran manfaat.
Pemerintah dan organisasi masyarakat keagamaan memiliki peran strategis dalam hal ini. Mereka dapat mendorong regulasi dan program yang memfasilitasi sinergi antara umat sebagai pekurban, peternak lokal sebagai penyedia hewan, dan masyarakat miskin sebagai penerima manfaat.
Misalnya, penyaluran daging olahan atau
beku ke daerah tertinggal bisa memperluas dampak sosial kurban
sekaligus mengurangi ketimpangan geografis dalam distribusi pangan.
Dengan mekanisme yang tepat, kurban dapat menjadi bagian dari kebijakan
ketahanan pangan dan perlindungan sosial berbasis kearifan lokal.
Iduladha seharusnya tidak hanya menjadi momentum refleksi spiritual, tetapi juga ajang pembuktian bahwa ibadah dalam Islam memiliki dimensi sosial yang kuat dan relevan dengan tantangan zaman.
Kurban bukan sekadar ibadah individual, melainkan peluang kolektif untuk membangun sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan manusiawi. Dari sisi teologi hingga ekonomi, kurban menyatukan nilai-nilai pengorbanan, empati, dan keberpihakan terhadap yang lemah.
Pada akhirnya, mengelola ibadah kurban dengan cara yang lebih strategis dan inklusif bukan hanya akan memperbesar dampaknya bagi mustahik, tetapi juga menjadikan ibadah ini lebih bermakna bagi para pekurban sendiri.
Ketika kurban dipahami bukan hanya sebagai kewajiban tahunan, melainkan sebagai bagian dari ekosistem pemberdayaan sosial dan ekonomi umat, maka di sanalah letak kekuatan transformasionalnya.
Dari kurban menuju kesejahteraan itulah arah baru yang patut kita perjuangkan bersama.
Iduladha seharusnya tidak hanya menjadi momentum refleksi spiritual, tetapi juga ajang pembuktian bahwa ibadah dalam Islam memiliki dimensi sosial yang kuat dan relevan dengan tantangan zaman.
Kurban bukan sekadar ibadah individual, melainkan peluang kolektif untuk membangun sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan manusiawi. Dari sisi teologi hingga ekonomi, kurban menyatukan nilai-nilai pengorbanan, empati, dan keberpihakan terhadap yang lemah.
Pada akhirnya, mengelola ibadah kurban dengan cara yang lebih strategis dan inklusif bukan hanya akan memperbesar dampaknya bagi mustahik, tetapi juga menjadikan ibadah ini lebih bermakna bagi para pekurban sendiri.
Ketika kurban dipahami bukan hanya sebagai kewajiban tahunan, melainkan sebagai bagian dari ekosistem pemberdayaan sosial dan ekonomi umat, maka di sanalah letak kekuatan transformasionalnya.
Dari kurban menuju kesejahteraan itulah arah baru yang patut kita perjuangkan bersama.
ASEP Nugraha Mahasiswa
0 comments:
Post a Comment