JAKARTA KONTAK BANTEN - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah bikin gaduh Senayan. Selain DPR, MPR juga ikut gerah. Para pimpinan fraksi akan dikumpulkan. Dorongan agar MPR amandemen konstitusi pun kembali menguat.
Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2025 yang mengubah penyelenggaraan Pemilu itu, dikhawatirkan pimpinan MPR bisa menabrak konstitusi bila dijalankan.
Ketua MPR Ahmad Muzani termasuk yang berpandangan seperti itu. Usai bertemu Mendagri Tito Karnavian dan Ketua KPU Muhammad Afifudin, Muzani bilang putusan MK itu bisa bikin kisruh baru.
“Putusan ini bukan hal baru dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu di Senayan, tapi jelas bakal memunculkan masalah baru,” ujar Muzani usai temu kader Gerindra, di Makassar, Jumat (4/7/2025).
Muzani menegaskan, ide memisahkan Pemilu nasional dan daerah sudah sering dibahas, tapi tak pernah dipilih. Alasannya, semangat negara kesatuan. Pemisahan dianggap mengarah ke sistem federal.
“Makanya, DPR selalu menyatukan Pemilu nasional dan daerah,” jelasnya.
Lucunya, lanjut Muzani, MK sendiri dulu pernah memutuskan Pemilu serentak. Sekarang malah diubah sendiri. “Dulu kita ikuti, sekarang berubah lagi,” sindirnya.
Menurut Muzani, pelaksanaan Pemilu serentak sudah sesuai Pasal 22E UUD 1945. Sementara putusan baru MK ini, justru berpotensi bertabrakan dengan konstitusi. “Kami masih butuh waktu mengkaji,” tandasnya.
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, Taufik Basari bicara lebih keras lagi. Katanya, putusan MK ini, bisa bikin negara masuk zona berbahaya: krisis konstitusional.
“Kalau jabatan DPRD diperpanjang, melanggar prinsip Pemilu lima tahunan. Kalau dikosongkan, melanggar Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang mewajibkan daerah punya DPRD. Ini deadlock!” tegasnya.
Anggota Fraksi PKB Muhammad Khozin mengungkapkan, MPR akan memanggil para pimpinan fraksi untuk bahas putusan MK. “Kalau nggak salah, minggu depan diagendakan,” katanya.
Menurut Khozin, putusan MK ini membuat bola liar. Bisa jadi jalan menuju amendemen terbatas, tapi ada juga opsi lain: DPR langsung laksanakan putusan dengan tafsir sendiri, tapi itu berisiko digugat lagi. “Kalau mau aman, ya amendemen. Kalau dipaksakan, bisa berujung judicial review lagi,” cetusnya.
Senada, disuarakan Nurdin Halid dari Golkar. Ia mendorong MPR gelar sidang istimewa untuk mengembalikan UUD 1945 yang “asli dan utuh”. Katanya, kewenangan MK sudah kebablasan, sampai ngatur hal-hal teknis Pemilu.
Putusan MK ini bukan cuma ngawur secara konstitusional, tapi juga bikin bingung publik, memporak-porandakan sistem Pemilu, sistem pemerintahan daerah, dan keuangan negara,” semprot Nurdin.
Di khawatir putusan MK bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung siapa hakimnya. “Kalau kayak gini, MK jadi legislatif sekaligus yudikatif,” cetusnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Irawan menilai, putusan MK tidak cukup hanya ditindaklanjuti dengan revisi UU Pemilu. Alasannya, putusan tersebut bertolak belakang dengan Pasal 22E UUD 1945.
Hanya dengan melakukan amandemen konstitusi, putusan MK itu bisa dijalankan,” ujarnya.
Pakar: Elite Parpol Terlalu Emosional
Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menilai, elite politik terlalu buru-buru bicara amandemen. “Negara ini nggak bisa diatur pakai emosi,” katanya.
Titi menyindir, dulu waktu MK bikin putusan kontroversial soal syarat capres, para politisi diam. Sekarang karena putusannya bikin repot, pada ngamuk. “Jangan suka-suka dong atur negara ini,” sentilnya.
Ia menyarankan elite politik patuh saja pada konstitusi. “Lebih baik DPR segera revisi Undang-Undang Pemilu. Tunjukkan budaya berkonstitusi,” katanya.
Titi juga membantah MK kelewat batas. “MK memang bukan cuma negative legislator, dia bisa jadi penafsir konstitusi yang progresif,” jelasnya.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah ikut membela MK. “Kalau DPR lambat bikin aturan, wajar MK bikin norma. Itu namanya judicial activism,” katanya.
Senada, Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada bilang, putusan MK ini bukan sekadar soal jadwal Pemilu, tapi soal desain besar kepemiluan. “Hati-hati salah tafsir. Jangan sampai malah berubah jadi penunjukan kepala daerah oleh pusat atau DPRD,” tegasnya.
Peneliti BRIN Siti Zuhro juga tak setuju buru-buru amandemen. “Fokus saja bikin Undang-Undang Pemilu yang matang, seksama, dan kontekstual,” katanya.
Diketahui, putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 ini lahir dari gugatan Perludem. Dalam putusannya, MK memisah Pemilu nasional dan Pemilu lokal dengan jeda minimal dua tahun.
Pemilu nasional meliputi Pilpres, DPR, dan DPD. Sementara Pemilu lokal berisi Pilkada dan DPRD. Konsekuensinya, Pemilu lokal baru digelar tahun 2031. Padahal sebelumnya, Pemilu serentak digelar dua kali: Pemilu lima kotak dan Pilkada serentak.
0 comments:
Post a Comment