![]() |
Muhibbullah Azfa Manik |
SORE di Kompleks Istana Merdeka biasanya penuh rutinitas. Wartawan televisi menyiapkan kamera, reporter menyiapkan pertanyaan, dan protokoler istana menakar siapa saja yang boleh mendekat ke Presiden. Namun, Kamis lalu, suasana itu berubah.
Diana Valencia, reporter CNN Indonesia, mendapati kartu persnya tiba-tiba ditarik Biro Pers Istana. Alasannya tak pernah dijelaskan. Yang jelas, kejadian itu berlangsung setelah ia melontarkan pertanyaan pedas kepada Presiden Prabowo Subianto: soal kasus keracunan massal program makan bergizi gratis (MBG) yang tengah menyita perhatian publik.
CNN Indonesia memastikan kartu itu diambil dari kantornya pada malam hari. Pengelola redaksi pun bergegas mengirim surat resmi ke BPMI (Biro Pers, Media, dan Informasi) serta Kementerian Sekretariat Negara. Mereka ingin tahu apa salah reporter mereka. Sampai tulisan ini disusun, jawaban dari Istana belum juga datang.
Bagi publik, peristiwa ini terasa
janggal. Apakah sekadar administrasi yang disalahpahami, atau ada
ketidaknyamanan istana terhadap pertanyaan seputar MBG?
Program yang Tergelincir
Pertanyaan
Diana memang menyentuh urat nadi pemerintah. Program MBG adalah
kebijakan andalan Presiden Prabowo. Diluncurkan awal periode
pemerintahannya, program ini dijanjikan sebagai jawaban atas masalah
gizi kronis anak Indonesia. Ribuan dapur SPPG (Satuan Pelayanan
Pemenuhan Gizi) dibuka di sekolah-sekolah.
Tapi harapan itu mendadak suram ketika di berbagai daerah muncul laporan keracunan massal. Di Jawa Barat, puluhan siswa dilarikan ke rumah sakit. Di Sumatera Selatan, belasan anak pingsan setelah menyantap menu nasi lauk sayur. Data resmi Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari seribu anak terdampak dalam tiga pekan terakhir.
Presiden Prabowo sendiri memanggil Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, untuk memberi klarifikasi. Menko Pangan Zulkifli Hasan bahkan memerintahkan penutupan sementara sejumlah dapur MBG yang dianggap melanggar standar higienitas.
Dengan latar itulah pertanyaan Diana mengemuka. Bagi jurnalis, inilah saatnya menguji komitmen transparansi pemerintah.Reaksi Dewan Pers
Dewan Pers bergerak cepat. Pada 28 September 2025, lembaga ini mengeluarkan pernyataan resmi bernomor 02/P-DP/IX/2025. Intinya, mereka meminta semua pihak menghormati kebebasan pers. “Biro Pers Istana sebaiknya memberikan penjelasan mengenai pencabutan ID Card wartawan CNN Indonesia agar tidak menghambat pelaksanaan tugas jurnalistik,” tulis Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
Mereka
juga mengingatkan bahwa tugas wartawan dilindungi Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers. Hak untuk bertanya, meski terasa mengganggu
telinga penguasa, adalah bagian sah dari kerja jurnalistik. “Kebebasan
pers tidak boleh direduksi menjadi sekadar liputan seremonial,” kata
salah seorang anggota Dewan Pers yang dihubungi.
Politik di Balik ID
ID
pers istana selama ini dianggap “paspor” penting. Tanpa kartu itu,
seorang wartawan tak bisa masuk ke ruang konferensi pers atau mendekat
ke Presiden. Pencabutan kartu bukan hanya perkara administrasi, tapi
juga pemotongan akses informasi publik.
Dalam praktik global, jarang ada lembaga eksekutif yang mencabut izin liputan hanya karena pertanyaan kritis. Di Amerika, wartawan Gedung Putih kerap melontarkan pertanyaan yang keras, tapi pencabutan izin hanya dilakukan jika ada pelanggaran etik atau ancaman keamanan.
Kasus Diana mengirim sinyal berbahaya.
Jika wartawan bisa kehilangan akses hanya karena menyentuh isu sensitif,
media lain bisa ikut berhitung. Fenomena sensor-diri (self censorship)
pun berpotensi lahir.
Efek Jera
Bukan
pertama kali pers berhadapan dengan sikap keras penguasa. Di era Orde
Baru, kartu pers sering dijadikan alat kendali. Bedanya, kini Indonesia
punya payung hukum yang kuat: UU Pers menjamin tidak ada lagi sensor dan
pembredelan.
Meski begitu, praktik di lapangan bisa
berbeda. Sejumlah redaksi menilai pencabutan kartu CNN Indonesia bisa
menimbulkan efek jera. Reporter mungkin menghindari
pertanyaan-pertanyaan yang terlalu tajam. Padahal, pertanyaan itu justru
penting untuk menjaga akuntabilitas program sebesar MBG, yang
menghabiskan triliunan rupiah APBN.
Publik yang Dirugikan
Dampak
terburuk bukan hanya dirasakan media, tapi juga publik. Dengan
hilangnya akses, informasi penting tentang jalannya program pemerintah
bisa berkurang. Padahal, rakyat yang menanggung akibat langsung dari
kebijakan yang gagal.
Laporan WHO tahun 2024 menyebut
Indonesia masih menghadapi angka stunting 21 persen. Program MBG
dicanangkan untuk menurunkan angka itu menjadi 14 persen pada 2029. Jika
program tersandung masalah higienitas hingga menyebabkan keracunan,
publik berhak tahu detailnya. Dan pers adalah saluran utama untuk itu.
Jalan Tengah
Apakah
Istana benar-benar berniat membungkam media? Belum tentu. Bisa jadi ini
hasil miskomunikasi antara pejabat biro pers dengan redaksi. Tapi tanpa
klarifikasi, prasangka kebebasan pers terancam tetap melekat.
Beberapa pengamat komunikasi politik
menyarankan jalan tengah: memulihkan segera ID pers CNN Indonesia,
sambil membuat standar baru soal protokol pertanyaan. Jika ada
kekhawatiran soal keamanan atau etika, atur mekanismenya secara terbuka,
bukan dengan pencabutan mendadak.
Epilog
Kasus
ini menjadi pengingat: kebebasan pers tidak pernah datang gratis. Ia
harus terus dijaga, bahkan dalam demokrasi yang sudah mapan. Satu kartu
pers yang ditarik bisa jadi awal dari pembatasan yang lebih besar.
Bagi Diana, insiden ini mungkin sekadar hambatan pekerjaan. Tapi bagi publik, ini cermin hubungan antara kekuasaan dan keterbukaan. Apakah pemerintah siap menerima pertanyaan pahit, sama seperti kopi hitam yang diseruput di beranda Istana? Karena, dalam demokrasi, pertanyaan wartawan bukan ancaman. Ia adalah bagian dari napas bangsa yang sehat. (***)
Penulis | : | Muhibbullah Azfa Manik (Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta) |
0 comments:
Post a Comment