Hari ini 71 tahun yang lalu berkumpul
kalangan wartawan alias insan pers perjuangan. Perkumpulan dilaksanakan
di kota Solo pada 9 Februari 1946. Dari tanggal 9 februari itulah
diabadikan menjadi hari pers nasional. Dengan Kepres No.5/ tahun 1985 9
Februari resmi dijadikan Hari Pers Nasional sebagai hasil usulan Dewan
Pers.Pada 9 Februari 1946 di gedung Kantor
Palang Merah Indonesia (PMI)–kini Gedung Museum Pers Solo–ini Sumanang
terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pertama. Pria
kelahiran Yogya ini terpilih saat usianya menjelang 38 tahun. Beliau
ini salah satu murid dari wartawan sebelumnya, Parada Harahap pengelola
Koran Tjahja Timoer, yang berjasa sebagai perintis Kantor Berita Antara.
Pers dan Perjuangan
Kalau memperhatikan dinamika perjuangan
bangsa, maka tidak akan lepas dari peranan kalangan pers (wartawan).
Para pejuang hampir semuanya melibatkan dirinya dengan pers atau
aktivitas kewartawanan. Selain berjuang dengan fisik, mereka pun
berjuangan dengan pena. Kenapa demikian? Sebab untuk memperjuangkan
kemerdekaan para pejuang membutuhkan media untuk propaganda. Aktivitas
perjuangannya hanya bisa diketahui, dibaca jika mereka menulis Kita tengok siapa Soekarno? Beliau insan
pers penulis dan pengelola surat kabar Fikiran Rakjat. Mohammad Hatta,
dia pelaku pers pengelola Daulat Rakjat. Bahkan sejak di Nederland Hatta
sudah menulis ke berbagai media cetak terbit di tanah air dan di Eropa.
Cokroaminoto beliau ini pengelola Surat Kabar Fajar Asia–sebelumnya
Bendera Islam, jadi bukan sekedar dikenal pejuang penggerak SI. Kalau
dicermati satu-persatu niscaya ditemukan para pejuang itu merangkap
sebagai insan pers.Dengan demikian amat tepat jika sering
diungkapkan istilah pers perjuangan. Karena perjuangan ditopang oleh
kalangan pers (insan media). Sebaliknya pers didirikan di negeri kita
oleh kalangan pribumi tidak lain untuk menjadi corong perjuangan. Catat,
pers lahir untu perjuangan kemerdekaan. Bukan untuk aksi pribadi atau
mencari kehidupan mereka.Mengenang ini saya jadi terngiang-ngiang
kata-kata wartawan senior pengelola Indonesia Raya, Mochtar Lubis. Dia
menyatakan bahwa berkiprah di dunia pers tidak lain sebagai perjuangan.
Pers perjuangan saya terkagum pada Mochtar Lubis, yang
tulisan-tulisannya amat tajam mengkritik persoalan korupsi dalam tubuh
bangsa ini. Dalam benak Mochtar Lubis pers itu bervisi perjuangan.Kalau pun sering disebutkan pemerintah
pers itu membawa misi pembangunan, tentu saja pembangunan yang sesuai
dengan visi misi perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Karena itu
tak heran bila Mochtar Lubis menyatakan dalam kiprahnya untuk mengisi
kemerdekaan, insan pers yang sesuai dengan visi misi pers yang
sejarahnya identik dengan perjuangan, suka menyebutkan sebagai wartawan
jihad.Sesungguhnya bukan saja pasca kemerdekaan
di zaman Sumanang. Atau pun di zaman Mochtar Lubis. Pers dan perjuangan
jauh sebelumnya sudah identik dengan sikap kritik yang berani terhadap
pemerintah kolonial Hindia Belanda.Bukan saja bung Karno dan kawan-kawan,
bukan saja Cokroaminoto yang dijuluki Belanda sebagai Raja Jawa Tanpa
Mahkota, yang menjadikan pers identik dengan perjuangan.Bahkan sejak awal rintisannya oleh kalangan pers pribumi yang dimotori Raden Mas Tirto Adhie Soerjo dengan media cetaknya Koran Soenda Brita dan yang terkenal Medan Prijaji. Tirto inilah yang membongkar kasus skandal korupsi pejabat kolonial Hindia Belanda.Bayangkan di awal abad ke-20, tahun 1906
beliau sudah merintis pers pribumi dengan sumber daya manusia dan modal
dari kalangan pribumi sendiri.Karena dianggap bahaya, Tirto direkayasa
dilumpuhkan dibuang ke Maluku. Sepulangnya dari pembuangan, Tirto
sedemikian rupa bagaikan berada dalam Rumah Kaca, kemudian
diasingkan dengan publik. Bahkan aset-aset miliknya kemudian entah
bagaimana jadi berpindah tangan. Di akhir-akhir masa hidupnya Tirto
hidup dalam kesengsaraan. Akhirnya beliau wafat pada 9 Desember 1918 dan
dimakamkan di pemakaman Mangga Besar, Jakarta.Jadi persoalan berita kasus Korupsi
ternyata bukan terjadi saat ini saja, disaat ramai kontroversi di awal
tahun 2015 ini. Tetapi satu abad yang lalu, di awal abad ke-20 sudah
menjadi bidikan kalangan insan pers pribumi. Jadi sama saja perilaku
korupsi dan berita hangat sudah ada sejak seabad yang lalu.Bedanya, dulu pelakunya para pembesar
pejabat kalangan pemerintah Hindia Belanda. Kini yang tersandung kasus
dugaan korupsi itu kalangan pejabat bangsa sendiri. Kalau dulu kalangan
pejuang dan insan pers itu seperti peribahasa “berakit-rakit kehulu berenang-renang ke tepian”
(bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian). Mereka disiksa dan
dipenjara dahulu baru kemudian dielu-elukan sebagai pemimpin bangsa.Kini, banyak orang dipuji-puji dahulu
menjadi pemimpin tetapi kemudian banyak yang meringkuk dalam penjara.
Karena apa? terjerat kasus korupsi. Demikian yang kita ketahui dari
berita di media cetak, televisi dan media online sekarang ini.Selamat Hari Pers Nasional. Semoga tetap
setia berjuang untuk kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan sesuai
cita-cita luhur pendiri bangsa. Menuju kesejahteraan rakyat.[tulisan ini bahan yang tak sempat dikirimkan ke media cetak], tetapi semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment