 |
Ketua KPU Banten Agus Supriyatna menerima perwakilan paslon cagub cawagub untuk menyerahkan LPPDK, Minggu (12/2).
|
SERANG - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten
menerima Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye (LPPDK) dari
pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy dan Rano Karno-Embay Mulya
Syarief, Minggu (12/2).Pasangan WH-Andika melaporkan telah menggunakan dana kampanye
Rp5.045.100.000, atau impas dengan penerimaan mereka yang juga
Rp5.045.100.000. Sementara penggunaan dana kampanye Rano-Embay lebih
sedikit mencapai Rp3.964.383.471 dari penerimaan Rp3.977.610.000. Ketua
KPU Banten Agus Supriyatna mengatakan, LPPDK rencananya akan diserahkan
kepada kantor akuntan publik (KAP) pada 13 Februari mendatang.
Sedangkan, proses audit yang dilakukan oleh KAP akan dilakukan selama 15
hari terhitung penyerahan berkas dari KPU Banten kepada KAP.“Masa
audit akan dilakukan oleh KAP tanggal 13 sampai dengan 27 Februari
mendatang. Kemudian, KAP akan menyerahkan hasil audit LPPDK kepada KPU
Banten Tanggal 28 Februari mendatang,” ujar Agus.Sedangkan,
lanjut Agus, KPU Banten akan menyampaikan hasil audit kepada kedua
pasangan calon dan kepada publik pada Tanggal 1 sampai dengan 3 Maret
mendatang. “Adapun hasil audit yang dilakukan KAP terhadap LPPDK kedua
pasnagan calon adalah, soal patuh atau tidak patuh,” ungkapnya.Terkait
sanksi yang akan diberikan jika hasil audit adanya ketidak patuhan,
Agus mengatakan, tidak ada sanksi dalam hasil audit ini. Sanksi akan
diberikan kepada kedua pasangan calon jika tidak menyerahkan LPPDK.
“Artinya tidak ada sanksi dari hasil audit. Sanksi tegas diskualifikasi,
jika salah satu dari dua paslon ini tidak menyerahkan LPPDK,” katanya.Dalam
perkembangan yang berbeda, pemerintah terus memantau tahapan pilkada
serentak gelombang kedua yang tinggal dua hari lagi. Tak kurang dari
41,2 juta pemilih, akan berpartisipasi menentukan kepala daerahnya
masing-masing di 101 daerah termasuk Banten.Berdasarkan
monitoring KPU RI, kebutuhan logistik dipastikan tidak ada persoalan.
Bahkan, proses distribusi untuk daerah pelosok sudah sampai ditingkat
kecamatan ataupun kelurahan. “Satu hari sebelum pemungutan baru tiba di
TPS,” kata Komisioner KPU, Arief Budiman di Jakarta.Meski
demikian, pelaksanaan Pilkada kali ini bukan berarti tanpa persoalan.
Ironisnya, persoalan yang mengemuka jelang dilakukannya PSU masih sama
seperti sebelumnya, yakni menyangkut pencairan anggaran.Hingga
kemarin, pencairan anggaran di sejumlah daerah tidak berjalan mulus.
Dari sisi penyelenggaraan misalnya, catatan KPU pusat menyebutkan, belum
semua pemda melunasi kewajibannya kepada KPU daerah. Bahkan, ada 12
daerah di antaranya masih di bawah 50 persen.“Tiap daerah
kurangnya macem-macem,” imbuhnya. 12 daerah tersebut adalah Kota Langsa,
Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie, Aceh Barat, Aceh Tamiang, Barito
Selatan, Buru, Kota Sorong, Kepulauan Yapen, Dogiyai, Provinsi
Gorontalo.Pria asal Surabaya itu menjelaskan, keterlambatan
tersebut memang tidak membuat pelaksanaan tertunda. Pasalnya, kebutuhan
logistik dan distribusinya sudah mendapat prioritas. Selain itu,
sejumlah efisiensi juga dilakukan.Hanya saja, dampak yang
dipastikan akan menimpa adalah tidak bisa dibayarkannya honor petugas ad
hoc. Baik di tingkat PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), PPS (Panitia
Pemungutan Suara), hingga KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara). Sebab, ada daerah yang dilaporkan mulai kehabisan anggarannya.Meski
secara teknis tidak mengganggu, namun tidak menutup kemungkinan, tidak
dibayarkannya hak petugas berimplikasi pada semangat kerja petugas di
lapangan. Oleh karenanya, dia mendesak pemerintah untuk mendesak pemda
segera melakukan pencairan.Terkait penyebab keterlambatan
tersebut, Arief sendiri mengaku heran. Pasalnya, Naskah Perjanjian Hibah
Daerah (NPHD) yang menjadi dasar hukum pembiayaan sudah disepakati
sejak Maret-April tahun lalu. “Menurut saya juga bukan prosedurnya, ini
political will dari pemerintah daerah aja,” imbuhnya.Namun saat
disinggung menyangkut adanya indikasi kesengajaan kepala daerah, dia
tidak menampiknya. Menurut informasi yang dihimpun, sejumlah daerah
ditenggarai sengaja memperlambat dengan alasan politis. Di Kabupaten
Dogiyai misalnya, dibatalkannya pencalonan incumbent membuat yang
bersangkutan mempersulit proses pencairan.Meski demikian, Arief
menolak untuk terlibat lebih jauh menyangkut adanya indikasi tersebut.
Dia menyerahkan persoalan tersebut ke pemerintah. Menurnya, pemerintah
tidak bisa menyelesaikan sebatas melakukan ajakan persuasif. “Pemberian
hibah itu mengikat kedua belah pihak. Nah, kalau ada ikatan hukum yang
dilanggar, tentu pelanggaran hukum kan,” sindirnya.Seperti
diketahui, persoalan keterlambatan pencairan juga terjadi dalam Pilkada
2015 lalu. Bahkan, saat itu honor pengawas pemilu baru benar-benar
tuntas pada akhir 2016 lalu. Atau sekitar satu tahun setelah pelaksanaan
Pilkada berlangsung.Atas dasar tersebut, saat revisi UU Pilkada
dilakukan awal tahun lalu, penyelenggara pemilu mengusulkan agar
pembiayaannya bisa dilakukan oleh APBN. Tujuannya, agar unsur-unsur
politis maupun teknis seperti sempitnya fiskal APBD bisa dihindari.“Tapi
kan ternyata putusan politiknya bahwa anggaran tetap APBD,” kata Arief
dengan raut sesal.Menanggapi hal tersebut, Dirjen Keuangan
Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnizard Moenek
menegaskan secara prinsip tidak ada persoalan. Pasalnya, NPHD yang
menjadi dasar pencairan sudah diteken di 101 daerah. Dengan demikian,
daerah dipastikan memiliki anggaran dan bisa dicairkan.“Tentunya
sepanjang administrasi dari pengaju itu lengkap, itu pasti disalurkan,”
ujarnya. Dengan demikian, jika belum dicairkan, dia mensinyalir hal itu
disebabkan belum terpenuhinya unsur administrasi dari penyelenggara.Pria
yang akrab disapa Doni itu menjelaskan, pihaknya sudah tidak
henti-hentinya mengingatkan pemda untuk segera melakukan proses
pencairan. Surat himbauan, radiogram maupun kordinasi terus dilakukan.Sebelumnya,
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono mengatakan, belum
dilunasinya anggaran disebabkan oleh teknis pencairannya yang tidak
sekaligus. Mayoritas daerah mencairkan dalam beberapa termin. “Ada yang
dua tahap, tiga tahap. Terkesan lambat karena pola pencairannya
berbeda-beda,” kata Soni.Terpisah, Direktur Eksekutif Komite
Pematau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng
mengatakan, aspek ketersediaan anggaran tidak bisa dikesampingkan. Oleh
karenanya, pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan dan membiarkan KPUD
“melobi” pemda.“Mendekati hari pelaksanaan, penyelenggara harusnya fokus
mensukseskan penyelenggaran. Bukan tugasnya untuk mencari-cari talangan
dana jelang pilkada,” tutunya.Endi menilai, berulangnya
persoalan pencairan anggaran menunjukkan pemerintah tidak belajar dari
pengalaman sebelumnya. “Harusnya mereka tahu risiko seperti ini. Tidak
ada terobosan kebijakan untuk pembenahan sebagai bentuk antisipasi,”
imbuhnya.Bukan hanya mendesak ataupun melakukan monitoring, Endi
meminta pemerintah harus mencari tahu penyebab macetnya pencairan oleh
pemda. Berdasarkan pengalamannya, ada tiga hal yang kerap melandasi,
yakni persoalan teknis, sempitnya kapasitas fiskal APBD, hingga faktor
politis. “Ditelepon dan jika perlu daerah dipanggil satu-satu.
Penghambatnya perlu di dalami. Jangan-jangan tidak punya uang. Seperti
Dogiai, Buru, Barito Selatan kapasitas fiskalnya kalau saya lihat kecil
sekali,” katanya.Ketua Komite Pemilih (Tepi) Indonesia Jerry
Sumampouw mengatakan, penganggaran Pilkada melalui APBD memang memiliki
banyak konsekuensi. Meski demikian, bukan berarti dimaklumi jika dalam
prosesnya terhambat. Apalagi, agenda Pilkada sudah dijadwalkan jauh-jauh
hari. “Semestinya sudah diantisipasi,” terangnya.Ke depannya,
lanjut Jerry, opsi adanya bantuan APBN perlu diutamakan. Khususnya
terhadap daerah-daerah yang tidak memiliki ruang fiskal anggaran yang
baik. Cara tersebut, menurutnya bisa dilakukan mengingat regulasi
membuka ruang tersebut. Dalam UU Pilkada, disebutkan jika pelaksanaan
Pilkada dibiayai APBD dan dapat dibantu APBN.Anggota DPR dari
Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali menyatakan, anggaran dari APBD
sangat penting bagi pelaksanaan pilkada. "Kami sudah cek ke lapangan,
memang masih ada beberapa daerah yang belum mencairkan anggaran," terang
dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin (12/2).Namun, kata dia,
anggaran yang belum cair itu tidak secara keseluruhan. Ada sebagian
anggaran yang sudah dicairkan dan sudah dimanfaatkan. Dia mendesak
kepada pemerintah daerah untuk mencairkan anggaran tersebut sebelum
pelaksanaan pilkada. Paling lambat satu hari sebelum pesta demokrasi di
daerah diselenggarakan.Ketua Komisi II DPR RI itu mengatakan,
pihaknya sudah berbicara dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
untuk membahas persoalan yang penting itu. Dia sudah meminta kemendagri
agar mengawasi dan daerah yang belum mencairkan anggaran. Jadi, tutur
dia, kementerian yang dipimpin Tjahjo Kumolo itu yang akan mengontrol
perkembangan pencairan.Terkait adanya kepala daerah yang
mempersulit pencairan anggaran, karena yang bersangkutan tidak bisa maju
lagi menjadi calon kepala daerah, Zainudin menyatakan, hal itu tidak
boleh terjadi. Jika belum dicairkannya anggaran itu disebabkan karena
ada mekanisme administrasi yang harus dilewati, alasan itu masih bisa
diterima.Namun, papar mantan Ketua DPD Partai Golkar Jatim itu,
kalau anggaran itu belum cair, karena ada alasan politis, maka kepala
daerah tersebut sudah melanggar aturan dan bisa masuk ranah hukum. "Saya
meminta tidak ada kepala daerah yang mempersulit pencairan anggaran
karena tujuan politis," tegas Zainudin.Sementara Polri
mengerahkan lebih dari 71 ribu personil untuk mengamankan pilkaa
serentak. Jumlah tersebut tersebar di 101 daerah yang akan menggelar
pilkada. Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa 71
ribu personil itu secara otomatis tergabung dengan sentra penegakan
hukum terpadu (Sentra gakumdu) di setiap daerah.”Yang pasti, mereka
disebar untuk melakukan antisipasi,” paparnya.Tidak hanya itu,
ada juga personil Brimob Mabes Polri sebanyak 5.400 personil yang siap
untuk diperbantukan di setiap wilayah. Personil Brimob dengan status
bawah kendali operasi (BKO) itu akan dikerahkan tergantung dari kondisi
ancaman setiap daerah Pilkada. ”Yang tingkat kerawanannya tinggi bisa
mendapat BKO,” terangnya.Setidaknya, ada tiga daerah yang
diprediksi memiliki tingkat kerawanan tinggi saat Pilkada, yakni DKI
Jakarta, Papua dan Aceh. Kalau untuk DKI Jakarta dikerahkan personil
mencapai 22 .848 orang. Kepala Brio Penerangan Masyarakat (Karopenmas)
Divhumas Mabes Polri Brigjen Rikwanto mengatakan, puluhan ribu personil
itu ke berbagai tempat di Jakarta. ”Tersebar semua ya,” ungkapnya.Dia
mengatakan, yang pasti pengamanan pilkada dilakukan dengan sebaik
mungkin. Harapannya, dalam pilkada 2017 tidak terjadi kejadian yang
menganggu kamtibmas. ”ya, semoga aman,” papar jenderal berbintang satu
tersebut.Yang juga penting, tidak ada tambangan pengawasan dari
unsur lainnya. Mengingat adanya ormas yang ingin ikut mengawasi pilkada
di setiap TPS. ”Kan prosedurnya saksi dari setiap calon gubernur,”
ungkapnya.Dia menuturkan, percayakan pengamanan kepada Polri dan
TNI yang setiap saat mengawasi TPS. Pengamanan ini juga dilakukan TNI
dan linmas. ”Kan pengamanan sudah banyak,” paparnya.Boy Rafli
menambahkan, netralitas dari penegakan hukum menjadi salah satu kunci
untuk kesuksesan dari pilkada serentak. Dengan begitu, semua pihak akan
merasakan bahwa memang pilkada berjalan dengan jujur dan adil. ”semua
pihak diharapkan mampu menjaga keamanan bersama,” ungkapnya.Presiden
Joko Widodo, saat kunjungan ke Ambon 8 Februari lalu mengingatkan
masyarakat untuk memanfaatkan hari tenang sebaik-baiknya. Semuanya harus
saling menahan diri untuk tidak menimbulkan gangguan terhadap
pelaksanaan pilkada. ’’Jangan sampai ada ribut-ribut sekecil apapun,’’
ujarnya.Presiden juga mengisyaratkan bahwa hari tenang itu
berarti juga tidak boleh adaaksi massa dalam bentuk apapun, meski
beralasan tidak terkait pilkada. ’’Apapun, yang namanya hari tenang ya
harus tenang,’’ lanjut mantan Wali Kota Solo itu.Senada, Wapres
Jusuf Kalla meminyta masyarakat ikut menjaga agar proses pemungutan
suara Rabu (15/2) mendatang berjalan dengan damai dan lancar.
Bagaimanapun, pilkada merupakan bagian dari proses demokrasi di
Indonesia. ’’Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang damai,
bertanggung jawab, dan juga tentu bersifat rahasia dan bersih,’’
ujarnya.Karena itulah, JK berharap prosesnya bisa berjalan
dengan baik agar masyarakat mampu memilih pemimpin yang tepat.
Kriterianya sederhana. Pemimpinnya baik, bersih, dan memang memiliki
kemampuan untuk memimpin daerahnya masing-masing. Dengan demikian,
barulah bida dihasilkan kemajuan di tiap-tiap daerah.Bila proses
pemungutan suara berlangsung baik dan damai, maka ujungnya adalah
kemajuan daerah. Karena untuk selanjutnya pemimpin yang terpilih bisa
langsung bekerja tanpa disibukkan menyelesaikan persoalan selama
pilkada. ’’Mari kita semua bersama-sama ke TPS degan senyum, bahagia,
mengharapkan pemimpin yang baik,’’ tambahnya. (
0 comments:
Post a Comment