Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Dari mana harus dimulai? Jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang
sosiolog yang menekuni masalah-masalah patologi sosial, jawabnya sama
seperti yang diberikan oleh dokter dalam menghadapi pasiennya.
Korupsi
dan derivatifnya—kolusi, nepotisme, despotisme—adalah penyakit
masyarakat. Oleh karena itu harus dimulai dengan melakukan diagnosis,
yaitu mencari penyebab dari penyakit itu. Jika penyebabnya sudah
ditemukan, penyebabnya itulah yang diangkatkan melalui terapi-terapi
penyembuhan dan dengan resep obat-obat yang tepat.
Pertanyaan,
dapatkah korupsi sebagai penyakit masyarakat itu diangkat? Jawabnya,
sama seperti dokter menjawab pertanyaan pasiennya: Insya Allah, dapat!
Kecuali kalau penyakitnya sudah lajat, sudah sangat payah, memang tidak
bisa disembuhkan lagi. Yang ditunggu adalah kematian. Bukankah kematian
masyarakat akibat korupsi sudah kita temukan di mana-mana dalam
lembaran sejarah? Kuburannya pun bertebaran di mana-mana.
Memang,
penyakit masyarakat bernama ”korupsi” itu telah ada sejak manusia ada.
Secara potensial inheren ada pada tiap manusia. Namun, manusia itu
disebut manusia karena dia berusaha melawan dan memerangi sifat-sifat
buruk (sayyiah), jelek (lawwamah), dan kesetanan (syaithaniyyah)-nya
dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. Itu sebabnya, dalam
Islam, keimanan dan ketakwaan harus senantiasa diperbarui dan
diperkuat. Perjalanan hidup seseorang tak pernah berupa garis lurus
yang terus menanjak atau terus menurun, tetapi keduanya. Itu sebabnya
kenapa ada orang yang pada mulanya baik, lurus, jujur, tidak korupsi,
tetapi akhirnya jelek dan menjadi koruptor besar. Begitu juga
sebaliknya.
Karena itu, dari segi pendekatan psiko- teologis dan
dari tinjauan mikrokosmis ini, penyembuhan penyakit korupsi dan
antek-anteknya—betapapun luas dan meruyaknya—harus dimulai dari diri.
Pendekatan
bersifat kejiwaan yang dimulai dari diri, bagaimanapun, harus
dilakukan karena yang sakit itu sesungguhnya adalah jiwa. Penyakit jiwa
terapinya terutama agama. Tak ada terapi kejiwaan yang lebih ampuh dan
lebih menyentuh kecuali pendekatan kejiwaan bernuansa keagamaan. Dalam
psiko-terapi yang bernuansa keagamaan, manusia yang telah terputus
talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali sehingga dia
merasakan ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia, yaitu
Sang Pencipta.
Multilevel dan multifaset
Bagaimanapun,
manusia tidak sendiri hidup di dunia ini. Dia tak akan survive dan ada
kalau tak ada manusia lain bersamanya. Di tengah-tengah masyarakat
inilah dia hidup. Korupsi itu ada dan baru ada ketika dia hidup bersama
masyarakatnya.
Pada dimensi bersifat makrokosmis yang
berorientasi kemasyarakatan ini, maka korupsi yang tadinya bersifat
individual sekarang juga bersifat sosial, bahkan kultural. Sekarang
kaitannya tak hanya pada diri orang per orang, juga pada sistem yang
berlaku dan corak kebudayaan yang dianut. Ini yang membedakan ada
masyarakat yang bisa mengendalikan laju fenomena korupsi, kolusi dan
nepotisme itu, dan ada yang terbawa hanyut karenanya.
Fenomena
korupsi ini pada analisis pertama bisa dibagi dua menurut corak sistem,
lembaga, dan budaya yang berlaku. Pertama, bercorak demokratis,
egaliter, dan menempatkan hukum berdiri di atas penguasa. Kedua,
bercorak feodalistis, hierarkis, dan menempatkan penguasa berdiri di
atas hukum. Secara hipotetis dikatakan: yang pertama laju korupsinya
rendah dan terkendali, yang kedua laju korupsinya tinggi dan tak
terkendali.
Bukti historis-empirik dan aktual dari negara-negara
yang melaksanakan corak pertama ada di mana-mana. Begitu pun contoh
corak kedua. Negara-negara terbelakang dan dunia ketiga yang sedang
bergulat menyelesaikan dirinya dan yang telah melewati puncak
perkembangan dan kemajuannya relatif akut korupsi, kolusi dan
nepotismenya. Sementara negara-negara maju yang demokratis, terbuka, dan
menempatkan hukum di atas semua orang dan semua kepentingan umumnya
KKN- nya—kalau ada—terkendali dan rata-rata di bawah ambang toleransi.
Sekarang
ke pangkal kaji: dapatkah semua ini dihapus? Kalau dapat, dari mana
harus dimulai? Tentu saja dapat kalau memang kita mau menghapusnya!
Semua itu lalu harus dimulai dengan azam yang kuat, dengan tekad dan
iktikad yang bulat dan menyatakan perang sampai ke akar- akarnya. Niat
dan azam yang kuat ini tentu harus dibarengi perbuatan nyata yang
konkret dan terprogram. Pendekatannya pun harus bersifat multifaset,
multilevel, dan terpadu secara berkesinambungan.
Sedikitnya ada empat pendekatan multilevel yang secara serempak dan
terpadu harus dilakukan: pendekatan struktural- sistemik, pendekatan
kultural, pendekatan keagamaan, dan pendekatan suri teladan dari para
pemimpin.
Dengan pendekatan struktural-sistemik berarti semua
perangkat hukum dan pelembagaan dalam rangka pemberantasan korupsi
harus disiapkan. Undang-undang yang dikeluarkan harus bersanksi berat.
Adapun yang dikejar dengan cara capital punishment ini: pelajaran bagi
khalayak ramai agar tidak mencoba-coba melakukannya.
Di balik
semua perangkat hukum ini tentu saja adalah perlakuan hukum yang sama
dan tidak memihak. Hukum harus ditempatkan di atas semua orang,
golongan, dan kepentingan tanpa pilih kasih. Jika ini berjalan, korupsi
dan tindak kejahatan lain apa pun akan berkurang.
Hukum juga
akan berjalan secara efektif jika sistem kontrol yang bersifat timbal
balik dihidupkan kembali. Prinsip trias politika adalah sebuah
keniscayaan yang mau tak mau memang harus dihidupkan dan diberlakukan
kembali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di samping setara
juga harus bersifat saling mengontrol dan saling mengingatkan.
Pendekatan kultural
Pendekatan
kultural tak kalah penting dalam upaya menghapus korupsi secara tuntas
dan total. Seperti dimaklumi, penyebab utama maraknya KKN di bumi
Indonesia—terutama selama Orde Baru dan Lama—adalah karena kita kembali
ke dunia lama kita yang sesungguhnya sudah tidak cocok lagi dengan
kebutuhan hidup sekarang. Penghalang utama adalah kultur bangsa kita
sendiri yang selama berabad- abad hidup secara akrab dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme itu.
Peranan sebagai perantara yang dimainkan
oleh kelompok keturunan asing, khususnya China, dalam perdagangan
untuk kepentingan keraton berlanjut sampai hari ini dalam jumlah dan
skala yang makin besar. Kehidupan para priayi yang lebih memilih hidup
senang tanpa berpayah-payah telah menyebabkan kolusi dan nepotisme
menjadi bagian tak terpisahkan, bahkan telah membudaya dari kehidupan
feodal di bumi Indonesia.
Dengan pendekatan kultural, struktur
pemerintahan dan kekuasaan yang dijiwai oleh semangat feodalisme itu
harus dikikis habis. Kita harus menyatakan perang terhadap feodalisme
dan nepotisme itu sendiri. Dengan memberlakukan dan menggantikannya
dengan sistem demokrasi, di mana rakyat yang berdaulat—bukan raja atau
presiden—maka feodalisme dan nepotisme yang telah berurat berakar itu
diharapkan akan hapus pada waktunya.
Lalu, seperti telah
disinggung di atas, pendekatan agama. Apa pun corak pendekatan yang
dilakukan—struktural-sistemik, hukum, kelembagaan dan kebudayaan—jika
tak dijiwai semangat keagamaan, orang hanya takut korupsi karena ada
undang-undang, ada polisi, dan ada sanksi hukum yang sifatnya formal.
Semua itu, seperti selama ini, bisa dibeli dan dikelabui. Adapun yang
bisa menahan diri kita untuk tidak korupsi yang ternyata jauh lebih
efektif justru adalah pertahanan yang ada dalam diri sendiri. Pertahanan
itu namanya agama, walau yang keluar dalam bentuk norma, sikap, dan
perilaku. Melalui ajaran-ajaran keagamaan ini, orang lalu tertahan untuk
melakukan apa-apa yang tidak baik dan menyalahi hukum. Sanksi agama
yang melekat dalam diri orang per orang bisa lebih ampuh dan lebih
efektif daripada sanksi hukum mana pun. Praktik puasa hanyalah satu
contoh betapa tanpa dilihat oleh siapa pun orang tak akan makan-minum
yang membatalkan puasa.
Komponen keempat, walau bukan yang
terakhir, teladan yang baik dari para pemimpin. Adagium dalam Islam,
”mulailah dari dirimu sendiri”, sangat tepat dan berlaku dalam contoh
keteladanan ini. Apatah lagi dalam Islam tiap orang adalah pemimpin, dan
pemimpin itu bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Namun,
kombinasi dari semua ini secara terpadu, multilevel, dan multifaset
tentu lebih menjamin terkikis habisnya praktik dan budaya korupsi di
bumi Indonesia. Jika dikerjakan dengan sungguh- sungguh, seperti yang
kita lihat dengan contoh teladan dari negeri-negeri jiran, dalam satu
generasi yang sama sudah akan terlihat buktinya.
0 comments:
Post a Comment