Ada sebuah nasehat menarik yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo. Nasehatnya tentang gaya hidup pejabat. Saat itu, Tjahjo
baru usai memberikan kuliah umum di hadapan para taruna Akademi
Kepolisian di Semarang, pekan kemarin. Di lobi, sesaat sebelum memasuki
mobilnya, ia dihadang para wartawan yang ‘membombardirnya’ dengan
berbagai pertanyaan. Salah satunya, tentang banyaknya kepala daerah yang
masih terjerat korupsi dikaitkan dengan gaya hidup mewah para pejabat.
Menurut Tjahjo, dari sisi aturan sebenarnya sudah lengkap. Pengawasan
juga tak kalah lengkap. Ada kejaksaan, kepolisian, KPK, BPK dan
lain-lain. Tapi kalau kemudian masih ada yang korupsi, itu kembai ke
mental yang bersangkutan. “Maka revolusi mental penting, tapi enggak
bisa sehari dua hari, ini perlu tahap yang panjang.
Apakah faktor biaya politik yang tinggi mempengaruhi? Ya, tergantung
orangnya,” ujarnya. Terkait gaya hidup mewah pejabat, Tjahjo memberi
nasehat, hendaknya para pejabat, atau siapa pun yang sedang memangku
kuasa atau dapat amanah, jangan terus melihat ke atas. Terus mendongak
ke puncak.
Karena siapa pun yang terus melihat ke atas, akan sakit jadinya. Tak
pernah akan puas. Yang sedang di atas, lanjut Tjahjo, justru harus terus
melihat ke bawah. Bahkan wajib ke turun ke lembah. Ke tempat di
bawahnya. Sehingga disadarkan, bahwa di bawah banyak yang masih
kekurangan. “Siapapun pejabat kalau melihatnya ke atas enggak akan
pernah puas. Harus melihat ke bawah, bahwa di bawah masih banyak yang
jauh di bawah saya. Makan saja mungkin sehari kurang,” ujarnya.
Kalau terus melihat ke atas, kata dia, ujungnya hanya melahirkan
ketidakpuasan. Itu yang kemudian menyulut hawa nafsu, bermewah-mewah.
Pada akhirnya, jalan salah pun tak dipedulikan. Demi tetap bisa terus di
atas. Demi bisa hidup seperti kalangan atas. Akhirnya yang terjadi
adalah korupsi. “Kalau lihat ke atas pasti ada nafsu untuk mendapatkan
sesuatu yang tidak halal,” kata dia.
Tak lupa Tjahjo kembali mengingatkan untuk dewasa dalam berujar.
Terutama di media sosial. Sebab, sampai 72 tahun Indonesia merdeka,
justru tantangan dan ancaman terberat datang dari perkembangan ilmu dan
teknologi yang disalahgunakan. Saat ini, banyak kalangan begitu mudahnya
menerima masukan.
Sangat gampang menyebar informasi, tanpa mengecek sumbernya apa dan
sebagainya. “Nah ini fitnah dikemas memang tujuannya tidak untuk memecah
bangsa, tapi untuk kepentingan politik. Tapi tanpa disadari kelompok
orang yang tidak bertanggung jawab ini menyebarkan fitnah, menghujat
presiden, memfitnah presiden.
Dia tanpa sadar ini bisa memecah kesatuan bangsa,” tuturnya. Tjahjo
pun mengingatkan, kedepan adalah tahun politik yang pasti akan memicu
meningkatnya dinamika politik. Tahun 2018, ada agenda besar Pilkada
serentak lalu dilanjutkan pada 2019, dimana untuk pertama kalinya bangsa
Indonesia akan melaksanakan pemilihan legislatif dan presiden secara
serentak. ags
0 comments:
Post a Comment