JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Laode M
Syarief mengatakan, penuntutan merupakan kewenangan yang melekat pada
KPK.
Oleh karena itu, selama tak ada perubahan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka
penuntutan akan tetap menjadi kewenangan KPK. “Untuk sementara kami
bekerja sesuai Undang-Undang KPK yang ada.
Kami tidak bisa berandai bagaimana ke depan, selama undang-undangnya
masih seperti itu. Dan kami berterima kasih kepada Kejaksaan yang selalu
mengirimkan jaksanya bertugas di KPK,” kata Laode, dalam rapat dengar
pendapat dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Senin (11/9).
Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan KPK sore hari.
Pagi hingga siang hari, KPK menggelar raker dengan Jaksa Agung HM
Prasetyo. Prasetyo meminta ke Komisi III DPR agar kewenangan penuntutan
tindak pidana korupsi dipusatkan pada kejaksaan.
Laode menambahkan, tak ada kaitan antara pemisahan kewenangan
penuntutan dengan penyelidikan dan penyidikan dalam meningkatkan Indeks
Persepsi Korupsi (IPK), sebagaimana disampaikan Prasetyo.
Laode mengatakan peningkatan IPK berkaitan dengan kualitas pelayanan
publik. Dengan demikian, peningkatan IPK Singapura dan Malaysia bukan
karena pemisahan kewenangan penuntutan dengan penyelidikan dan
penyidikan pada lembaga pemberantasan korupsi di negara tersebut.
Bahkan, kata Laode, ada beberapa negara yang kewenangan penuntutan
dengan penyelidikan dan penyidikannya digabung, namun justru IPK-nya
berada di peringkat sepuluh besar dunia.
“Saya mau kasih satu contoh lain yang digabung antara penyidik dan
penuntutannya, SFO (Serious Fraud Office) di Selandia Baru. Dia IPK-nya
selalu masuk 10 besar dunia. Jadi, jangan dicampur antara hal yang
sifatnya penindakan dan pencegahan,” kata Laode.
Dikembalikan ke Kejaksaan
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menyarankam agar fungsi
penuntutan tindak pidana korupsi (tipikor) dikembalikan kepada korps
Adhyaksa. Menurut dia, Indonesia perlu berkaca pada pemberantasan
korupsi di Malaysia dan Singapura.
Ia mengatakan meski kedua negara memiliki aparat penegak hukum khusus
untuk memberantas korupsi, kewenangan penuntutan tetap berada pada
kejaksaan.
“Baik KPK Singapura dan Malaysia terbatas pada fungsi penyelidikan
dan penyidkan saja. Dan meskipun KPK Malaysia memiliki fungsi
penuntutan, tapi dalam melaksanakan kewenangan tersebut harus mendapat
izin terlebih dahulu ke Jaksa Agung Malaysia,” ujar Prasetyo, dalam
rapat kerja bersama Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Ia mengatakan model pemberantasan korupsi seperti itu justru lebih
efektif daripada yang berjalan di Indonesia. Hal tersebut, kata
Prasetyo, terlihat melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Malaysia dan
Singapura yang lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Saat ini, IPK Malaysia sebesar 49 dan menempati peringkat 55 dari 176
negara dan Singapura dengan survei sama memiliki IPK sebesar 84 dan
menduduki peringkat 7. Indonesia saat ini memiliki skor IPK 37 dan
berada di peringkat 90.
“Meskipun penindakan kasus korupsi dengan melakukan operasi tangkap
tangan yang dilaksanakan di negara kita yang terasa gaduh dan ingar
bingar, namun IPK Indonesia dalam beberapa tahun ini tidak mengalami
kenaikan yang signifikan,” tutur Prasetyo.
“Ini merupakan perwujudan asas universal dominus litis persecution
system, sistem penuntutan tunggal yang berlaku di hampir semua negara,”
lanjut dia.
0 comments:
Post a Comment