SERANG, (KB).- Kasus
dugaan korupsi proyek rehabilitasi saluran sekunder Begog Daerah
Irigasi (DI) Ciujung, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang tahun 2014
senilai Rp 1,9 miliar menyeret nama lain. Selain terdakwa Direktris CV
Selamat Putra Bersaudara (SPB) Elis Laila Sari, JPU Kejari Serang
menilai peran kuasa pengguna anggaran (KPA) Paino juga patut untuk
dimintai pertanggungjawaban.
Hal
tersebut terungkap dalam sidang yang mengadili terdakwa Elis di
Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (11/10/2017). Sidang beragendakan
pembacaan tuntutan JPU Kejari Serang Subardi dihadapan Ketua Majelis
Hakim Ketua Majelis Hakim Mien Trisnawati dan terdakwa Elis.
Paino
sendiri merupakan Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Pelaksana Jaringan
Pemanfaatan Air (PJPA) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-
Cisadane pada Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementrian
Pekerjaan Umum (Kemen PU) dan Perumahan Rakyat RI. Dia Merupakan
pimpinan dari pejabat pembuat komitmen (PPK) yang mengundurkan diri
Kushendar Prawijaya yang juga tersangka dalam perkara ini.
“Bahwa
benar terhadap kekurangan volume pekerjaan rehabilitasi irigasi
sekunder Begog bukan hanya lemahnya mekanisme pengendalian pekerjaan
oleh pejabat pembuat komitmen tetapi juga lemahnya pengendalian oleh Plh
pejabat pembuat komitmen Muhammad Irhan karena tanggal 17 September
2014 Kushendar Prawijaya mengajukan pensiun dini,” ujar Subardi.
Muhammad
Irhan sendiri pada November 2014 tidak ikut kunjungan ke lapangan saat
akan pemeriksaan PHO (serah terima pekerjaan). Pada saat tandatangan PHO
hanya dimintakan tandatangan terhadap Kushendar di rumahnya. Sementara
Paino selaku kasatker memintakan kepada Muhammad untuk tandatangan
berita acara hasil pemeriksaan pekerjaan tanggal 11 November 2014.
“Padahal
seharusnya saudara Paino melakukan verifikasi terhadap pekerjaan yang
dimaksud karena pada pencairan 95 persen dan pencarain uang retensi 5
persen yang mencairkan saudara Paino bukan saudara Kushendar Prawijaya
sehingga saudara Paino patut dimintai pertanggungjawaban,” kata Subardi.
Penandatangan
PHO sendiri seharusnya tidak dilakukan karena ditemukan ketidaksesuaian
spesifikasi bangunan. Di antaranya, tinggi atau lebar lining, plesteran
bangunan penutup atas saluran lining, dan fondasi bangunan lining. Tim
teknik Untirta juga menemukan kekurangan plesteran, siar, dan pasangan
batu kali.
Hasil
audit fisik itu menjadi dasar audit penghitungan kerugian keuangan
negara oleh BPKP. Keuangan negara dirugikan sebesar Rp 400 juta lebih.
Karena pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi tersebut terdakwa Elis
dituntut JPU dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 4 bulan, uang
pengganti Rp 400.005.000 subsider 1 bulan. “Serta membayar denda Rp 50
juta subsider tiga bulan kurungan,” ucap Subardi.
Dalam
pertimbangan tuntutannya, perbuatan terdakwa tidak mendukung program
pemerintah dalam hal pemberantasan kasus korupsi. “Hal-hal yang
meringankan terdakwa mengakui perbuatan yang didakwakan kepadanya,
kerugian negara telah dikembalikan, terdakwa menyesal,” tutur Subadri.
Atas
perbuatannya tersebut, terdakwa dinilai JPU telah terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menanggapi
tuntutan JPU tersebut tim kuasa hukum terdakwa menyatakan keberatan.
Rencananya kuasa hukum terdakwa akan mengajukan pembelaan atau pledoi
tertulis pada sidang yang digelar Rabu pekan depan.
0 comments:
Post a Comment