"Sembilan puluh persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter"
(Stephen Covey,2012)
Setiap manusia mengharapkan pemimpin yang adil. Dan setiap manusia didunia ini dilahirkan untuk menjadi seorang khalifah atau
pemimpin. Tapi, untuk seorang pemimpin yang adil itu sangat susah
didapat terutama di Indonesia menurut saya. Para pemimpin di Indonesia
mungkin sudah cukup baik, tapi mereka belum bisa adil. Contohnya rakyat
kecil, mereka di abaikan. Tak terurus, tinggal dibawah jembatan,
ditempat yang kumuh yang menyebabkan mereka terserang penyakit seperti
busung lapar. Pemimpin di Indonesia hanya memikirkan tahta dan harta.
Banyak sekali orang yang terbuai dan berlomba-lomba untuk menjadi
penguasa dan atau menjadi pemimpin. Namun banyak juga yang melupakan
konsekuensi menjadi penguasa atau pemimpin. Sungguh keadaan yang
menyedihkan.
Kita tidak perlu mengelu-ngelukan
pesta demokrasi, karena hal yang terpenting adalah bagaimana memilih
pemimpin tanpa pertikaian yang tajam, bahkan sampai menumpahkan darah,
dan bagaimana mengawasi bersama jalannya pemerintah, dan yang lebih
penting lagi membantu jalannya pemerintahan.
Pemimpin
jaman sekarang mungkin hanya berpikir kenikmatan semata. Tahta yang
mereka dapat bisa menghasilkan uang yang banyak. Nikmat duniawi mereka
dapatkan. Bagaimana dengan tanggung jawab yang harus dilaksanakan?
Apakah mereka sudah adil kepada bawahan serta rakyatnya? Apa mereka
sudah cukup bijaksana? Uang yang mereka dapatkan juga tak lain didapat
dari rakyat. Seharusnya mereka memikirkan bagaimana nasib rakyatnya.
Bukan malah asik memperebutkan tahta tertinggi, bersaing didalam dunia
politik, sibuk korupsi sana sini demi membahagiakan keluarga., tak
peduli nasib orang lain.
Tidakkah hati mereka
tersentuh saat melihat berita di televisi tentang penderitaan rakyat
kecil? Dimana hati kecil mereka? Apa tak terpikirkan jika mereka ada di
posisi rakyat kecil itu?
"Pemimpin seharusnya orang yang dicintai rakyatnya memberi motivasi dan inspirasi dan orang yang mempunyai visi ke depan"
(Y.Y. Alim)
Kata-kata
adil sepertinya sudah menjadi materi dari retorika politik saja. Hanya
sebagai bahan kampanye dan sekedar simbol politik. Pelaksanaannya jauh
dari prinsip adil dan keadilan itu sendiri. Bagaimana dengan prinsip
keadilan dan kepemimpinan dalam Islam? Prinsip keadilan dan kepemimpinan
dalam Islam berlandaskan pesan universal: "Rasulullah SAW diutus ke
muka bumi ini adalah untuk membawa berkah bagi alam semesta". Kita
sebagai muslim akan menjunjung misi ini untuk membawa keberkahaan bagi
alam semesta. Pesan ini sangat universal, karena tidak ada satupun
manusia di muka bumi ini ingin melihat kerusakan alam semesta, tidak
perduli apakah dia muslim atau tidak, semua ingin melihat alam yang
lestari.
Pemimpin
yang baik mengarahkan hidupnya berdasarkan keyakinan agama, pengalaman
dan nilai-nilai kehidupan yang dianutnya. Dia meyakini bahwa hidup akan
menjadi lebih baik kalau disertai dengan kerja keras dan sikap optimis.
Pemimpin berkarakter sehat akan bisa mempengaruhi pengikutnya untuk
berperilaku sehat dan akan disegani oleh mereka yang berkarakter tidak
baik. Ya, pemimpin berkarakter sehat akan bisa mencegah korupsi di
lingkungannya.
Seorang
pemimpin yang berkarakter dia mampu menilai dirinya, kelebihan dan
kekurangannya baik secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan
sebagainya. Dia menyadari bahwa untuk menjadi pemimpin dibutuhkan akhlak
mulia yang memampukan dia untuk berlaku adil, jujur, berani, tegas dan
bijaksana. Seorang pemimpin juga seharusnya mampu menghadapi situasi
atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistis. Mau menerima
secara wajar apapun yang terjadi dalam kehidupannya, tidak mengharapkan
kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna. Artinya tidak "gila
hormat", "gila uang" atau "kedudukan".
Hal
lain yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah kemampuan
menyelenggarakan konsultasi timbal-balik atau "mutual consultation". Di
sinilah terlihat urusan membangun sistem kepemimpinan jauh lebih penting
daripada urusan memilih pemimpin itu sendiri. Konsultasi timbal-balik
menuntut terjadinya dialog. Jadi adanya majelis syura atau dewan
perwakilan/pertimbangan, seharusnya dijadikan landasan menciptakan
dialog timbal-balik antara pimpinan pemerintah (lembaga eksekutif)
dengan lembaga legislatif.
0 comments:
Post a Comment