Gaung Pilkada serentak tahun 2018 sudah mulai mewarnai kancah
candradimuka politik di Indonesia, tahapannya sudah mulai penetapan
calon pasangan kepala daerah oleh masing masing KPU. Pilkada 2018 ini
diwarnai munculnya beberapa pasangan Calon Tunggal di beberapa daerah
yang melaksanakan Pilkada.
Fenomena calon tunggal pilkada bukan
hal baru, sebelumnya ada 9 pasangan calon tunggal pilkada serentak
tahun 2017 lalu yakni Pilkada Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang
Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton,
Kabupaten Maluku Tengah, Kota Jayapura, Kabupaten Tambrauw, dan Kota
Sorong.
Adapun untuk tahun 2018 ini, berdasarkan data yang ada
di KPU, Calon tunggal jadi lebih banyak yakni 13 Pasangan Calon untuk
Pikada di Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Kabupaten
Karanganyar, Kabuupaten Pasuruan, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang, Kabupaten Tapin, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten
Enrekang, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Puncak dan Kabupaten Jayawijaya.
Pengalaman
menunjukkan, dalam Pilkada 2017, semua calon tunggal ahirnya dilantik
menjadi kepala daerah setelah dalam pilkada semuanya menang mutlak
mengalahkan Kotak Kosong atau bumbung kosong atau apapun namanya yang
juga dipilih oleh masyarakat.
Calon tunggal dan kotak kosong,
adalah fenomena menarik dalam sistem pemilihan di negeri kita. Calon
tunggal bisa dan sangat bisa terjadi dalam sistem pemilihan Kepala
Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) karena aturan perundang-undangan
membolehkan untuk itu.
Meski hanya ada satu pasangan calon,
dalam praktekanya bukan berarti tak ada lawan. Lawan tetap ada, hanya
lawannya tidak ada yang mengusung dan mendaftarkan ke KPU, lawan dari
calon tunggal tak lain adalah aturan perundang undangan yang membolehkan
"Kotak Kosong" untuk di pilih oleh masyarakat.
Calon tunggal
biasanya diusung oleh seluruh Partai Politik yang mendapat kursi di DPRD
masing masing daerah. Banyak hal yang memungkinkan Partai Politik
secara keseluruhan mengusung satu pasangan Calon. Hal hil hul itu hanya
masing masing Parpol yang secara ril mengetahui. Selanjutnya sudah
dipastikan, meski calon tunggal, tetap akan membentuk Tim sukses untuk
melawan kotak kosong yang sejatinya tidak ada calonnya tapi ada
pemilihnya.
Pertanyaannya adalah siapa pemilih kotak kosong itu.
Jika Calon diusung parpol baik calon tunggal atau tidak, sudah pasti
pemilihnya adalah konstituen parpol yang terdiri dari anggota parpol
atau simpatisan parpol termasuk simpatisan dari calon itu sendiri.
Sedangkan Kotak kosong, tidak ada Calon sehingga tidak punya konstituen
yang jelas.
Pemilih Kotak kosong tidak termasuk golput karena
mereka tetap datang ke TPS, kemudian memilih dan mencoblos surat suara
yang tidak ada gambar atau foto calon, artinya mereka tetap menyalurkan
aspirasi untuk memilih diantara dua pilihan antara surat suara yang ada
gambar calonnya dengan surat suara yang tidak ada gambar calonnya.
Segementasi
antara pemilih calon tunggal dengan pemilih kotak kosong, patut juga
dicermati mengingat kesadaran politik masyarakat saat ini sudah mulai
meningkat. Adanya calon tunggal dalam pilkada, bisa dilihat dari dua
sisi, satu sisi dianggap sebagai adanya keberhasilan calon yang diusung
parpol.
Calon tunggal biasanya adalah patahana di daerah yang
dianggap mampu membangun daerah sehingga parpol berpikir seribu kali
jika akan mencalonkan orang lain mengingat efek dari keberhasilan itu
adalah masyarakat yang justru akan menjadi pemilih. Sisi lain dari
adanya calon tunggal itu, ada yang menganggap partai politik di daerah
gagal dalam menciptakan kader kader yang mampu dan layak untuk memimpin
daerah.
Oleh karena itu, jangan heran jika kemudian dalam
pelaksanaan Pilkada yang hanya menyertakan calon tunggal, kemudian
muncul gerakan gerakan untuk mensukseskan kotak kosong sebagai
konsekwensi berlakunya demokrasi. Sekali lagi mereka ini bukan golput,
tapi pemilih yang tumbuh kesadaran demokrasinya yakni menyalurkan hak
politiknya dengan memilih kotak kosong dan itu dibolehkan.
Dalam
konteks politik, pemilih kotak kosong ini bisa disebut kelompok anti
kemapanan yang ingin adanya perubahan kepemimpinan di daerah. Gerakan
untuk mensukseskan kotak kosong ini jangan dianggap sepele karena
biasanya memanfaatkan berbagai jaringan seperti LSM, Mahasiswa, Kaum
Muda atau kelompok progresif lainnya yang kemudian bersatu membentuk
satu aliansi gerakan politik dengan alasan demokratisasi.
Soal
sejauh mana kemungkinan bisa melawan dan memenangkan pertarungan dalam
kontestasi politik pilkada, saya kira tergantung pihak lawan, jika lawan
lemah dan menganggap remeh gerakan kotak kosong, tidak menutup
kemungkinan akan membuat miris dari calon tunggal itu sendiri.
Selamat berkontestasi dalam Pilkada 2018.
Ir Bambang Sudewo MM,MSi
Pengamat Kebijakan Politik dan Dosen di Perguruan Tinggi
0 comments:
Post a Comment