SERANG – Puluhan mahasiswa yang tergabung dari DPD
GMNI Banten berunjuk rasa memeringati Hari Tani Nasional, di Kawasan
Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Selasa (25/9/2018). Mereka
memprotes sejumlah kebijakan pemerintah Banten soal lahan pertanian.
Dalam aksi tersebut mahasiswa menuntut pemerintah daerah agar
memperhatikan lahan pertanian yang ada di wilayah Banten. Sebab mereka
menilai sejumlah kebijakan pemeritah daerah membuat lahan pertanian di
Banten kian menyusut.
“Pemerintah daerah harus melaksanakan reforma agraria sejati seperti
yang tertuang dalam UUPA nomor 5 tahun 1960. Kemudian segera selesaikan
konflik-konflik agraria di tanah jawara (Banten) dan hentikan alih
fungsi lahan pertanian produktif di Banten,” kata Adit, koordinator aksi
unjuk rasa.
Ia menjelaskan kondisi tanah Indonesia yang agraris membuat sebagian
besar rakyatnya berprofesi sebagai petani. Namun, hal itu tidak ditopang
dengan kebijakan pemerintah dalam melaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960. Pada UU itu sudah diatur tentang
ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria nasional di Indonesia dengan filosofis untuk mengubah susunan
masyarakat yang adil dan sejahtera.
“Pada kenyataannya, kondisi agraria di Indonesia saat ini sangat
memprihatinkan, hal itu karena ketimpangan kepemilikan tanah yang sangat
besar, yaitu sekitar 71 persen tanah di seluruh Indonesia telah
dikuasai oleh korporasi kehutanan dan 23 persen lainnya dikuasai oleh
korporasi perkebunan skala besar dan para konglomerat,” ujarnya.
Disampaikan Adit, berdasarkan data BPS, ketimpangan tanah di
Indonesia mencapai 0,397 persen yang berarti rata-rata seluruh petani di
Indonesia hanya memiliki 0,8 hektar. Akibat ketimpangan yang sangat
besar itu maka melahirkan konflik-konflik agraria di seluruh penjuru
tanah air, tak terkecuali di Provinsi Banten. Selain itu, terjadi
penyusutan lahan pertanian yang sangat besar di Banten.
“Menurut data BPS Provinsi Banten tahun 2013, laju penyusutan luas
baku lahan pertanian dalam lima tahun terakhir besarannya mencapai 0,14
pertahun atau dengan kata lain telah menghilang sekitar 273 hektar tiap
tahun atau sekitar 5 hektar perminggu.
Tentu hal itu sangat mengkhawatirkan, terlebih pemerintah Kota Serang
berencana merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Serang yang
sebelumnya wilayah Kecamatan Kasemen dan Walantaka menjadi zona
pertanian menjadi zona industri,” ujarnya.
Akibatnya, lanjut Adit, tentu hal itu akan semakin mempersulit petani
memperoleh kesejahteraannya. Selain itu, privatisasi wilayah pesisir
pantai sudah terjadi di Banten. Sementara, pemerintah Indonesia di bawah
kepemimpinan Jokowi-JK melalui kabinet kerjanya dalam hal ini Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)hanya mampu
menjalankan reformasi agraria dalam definisi sempit dengan program
bagi-bagi sertifikat tanah yang bahkan hingga saat ini belum mencapai
target.
“Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung
tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong
besar tanpa isi, tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, tanah untuk
petani, tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah,” ucapnya
mengutip kata-kata Soekarno.







0 comments:
Post a Comment