![]() |
Antisipasi Krisis - Pelemahan Rupiah Bisa Picu BUMN Gagal Bayar Utang
|
JAKARTA – Kian terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat (AS) bakal berimbas kepada jumlah utang pemerintah, terutama
dalam bentuk valuta asing.
Pelemahan rupiah juga kian terasa ketika pemerintah akan membayarkan utang jatuh tempo pada saat pelemahan mata uang terjadi.
Pasalnya, ketika rupiah melemah, jumlah yang dibayarkan pemerintah
dalam rupiah akan lebih banyak meskipun total utang dalam valuta asing
tetap sama.
Selain itu, membengkaknya utang jatuh tempo juga berimbas pada
kewajiban bunga rutin yang harus dibayarkan pemerintah. Padahal,
anggaran negara pada tahun 2018 sudah terkuras hanya untuk membayar
bunga utang sebesar 220 triliun rupiah.
“Sehingga utang menyebabkan belanja produktif menjadi tergerus untuk
bayar bunga. Kondisi ini jelas membuat fiskal makin tidak sehat,” kata
peneliti ekonomi Indef, Bhima Yudhistira, saat dihubungi, Jumat (31/8).
Seperti diketahui, rupiah pada Jumat sore menembus 14.844 rupiah per dollar AS, tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Hal ini dipengaruhi krisis ekonomi di Argentina, sentimen global dari
pengetatan suku bunga acuan di AS, serta penurunan kinerja ekonomi di
Tiongkok dan Turki.
Sementara itu, utang pemerintah per Juli 2018 telah mencapai 4.253,0
triliun rupiah. Dari jumlah ini, sebanyak 1.804,42 triliun rupiah berupa
valuta asing atau sekitar 125 miliar dollar AS.
Utang valas ini berasal dari pinjaman luar negeri sebesar 779,71
triliun rupiah dan sebanyak 1.024,71 triliun rupiah berasal dari Surat
Berharga Negara (SBN) yang berdenominasi valas.
Bhima menambahkan, pelemahan rupiah juga bisa memicu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) gagal bayar utang dan membebani fiskal.
“Diagnosanya adalah contigent liability BUMN yang tidak sanggup
membayar utang akan disuntik oleh pemerintah atau dilikuidasi.
Ujung-ujungnya, APBN juga yang dipertaruhkan,” kata dia.
Dia mengingatkan, hasil stress test beberapa lembaga pemeringkat
rating mengungkap bahwa level 15.000 rupiah per dollar adalah kondisi
yang berbahaya. “Tekanan pada utang BUMN berisiko sistemik pada sektor
riil dan moneter,” jelasnya.
BI Intervensi
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo,
menegaskan bahwa komitmen BI sangat kuat untuk menjaga stabilitas
ekonomi, khususnya terkait kondisi nilai tukar rupiah.
“Kami tingkatkan intensitas untuk melakukan intervensi, khususnya
kami meningkatkan volume intervensi di pasar valas,” kata Perry.
Di samping intervensi di pasar valas, BI juga telah melakukan
pembelian SBN dari pasar sekunder serta membuka lelang foreign exchange
swap dengan target lebih dari 400 juta dollar AS dana masuk.
“Itu yang terus kami lakukan langkah stabiliasi di BI. Kami juga
lakukan koordinasi secara erat dengan Kemenkeu dan OJK untuk memastikan
bahwa stabilitas sistem keuangan dan nilai tukar tetap terjaga,” ujar
Perry.
Selain melakukan intervensi, Perry juga berupaya meyakinkan bahwa
kondisi ekonomi Indonesia kuat. Dia menjelaskan bahwa ketahanan ekonomi
Indonesia sejauh ini cukup kuat, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi
maupun inflasi Agustus yang diproyeksikan rendah di sekitar 0 persen.
Gejolak perekonomian yang sedang terjadi di Turki dan Argentina juga
tidak akan luput dari perhatian BI. Perry menjelaskan yang membedakan
Indonesia dan negara lain adalah kebijakan moneter dan fiskal dipastikan
berdasarkan prinsip kehatihatian (prudent).
“Yang membedakan lagi adalah komitmen pemerintah yang kuat di bawah
Presiden Joko Widodo untuk segera menurunkan CAD (defisit neraca
berjalan),” kata Perry.
Upaya penurunan CAD ditempuh melalui perluasan B20, mendorong
pariwisata, dan penundaan sejumlah proyek yang belum financial closing.
“Kami terus mewaspadai dampakdampak itu, tetapi yakinkan ketahanan
ekonomi kita kuat. Sinergi antarpihak untuk memastikan kebjakan prudent
dan sejumlah langkah menurunkan CAD telah dan akan diperkuat,” tegas
Perry. Ant/bud/ahm/AR-2
0 comments:
Post a Comment