Ibu, dialah sumber kasih sayang; mengasuh
dan memberi tanpa batas. Dialah prajurit malam yang selalu berjaga dan
terjaga. Menemani ketidakberdayaan kita. Dia yang selalu mendahulukan
anaknya dari dirinya sendiri, mencintai tanpa menuntut balas.
Ibu, sebuah kata yang jujur nan kuat, diucapkan semua makhluk hidup dalam bahasanya masing-masing. Dengan kata ‘ibu’
pada makhluk itu mendapatkan kasih sayang, ketulusan hati, kehangatan,
pengorbanan, cinta yang agung, yang dicipta dan ditumbuhkan Allah dalam
diri semua ibu terhadap anak-anaknya. Karena itu, Allah SWT berwasiat
kepada manusia untuk taat kepadanya, seperti juga Rasul-Nya telah
berpesan agar kita senantiasa berbakti kepadanya.
Ada dua kata yang selalu dipakai Al Qur’an untuk menyebutkan ibu: “Umm” dan “Walidah”. Kata “umm”,
digunakan Al Qur’an untuk menyebutkan sumber yang baik dan suci untuk
hal yang besar dan penting. Maka Makkah Al Mukarramah disebut “Ummul Qura”
karena kota ini adalah tempat turunnya risalah yang diberikan Allah
azza wa Jalla kepada Islam, yang merupakan inti ajaran para rasul dan
semua risalah. Allah berfirman,
وَهَٰذَا
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُّصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ
وَلِتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا ۚ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۖ وَهُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang
telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang
(diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada
(penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar
lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat
tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara
sembahyangnya.” (QS. Al An’am : 92)
Imam As Suddi mengatakan, disebut Ummul Qura’, kerena Makkah rumah yang pertama kali dibangun di tempat itu.
Allah juga menyebutkan kata “umm” untuk sesuatu yang menghimpun ilmu-Nya, yaitu pada lafaz “Ummul Kitab”. Allah berfirman,
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah
terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar Raad : 39)
Pada kerangka inilah, Al Qur’an kemudian membedakan antara kata “umm” dan “walidah”, di mana Allah menyebut “walidah”
kepada perempuan yang melahirkan anak, tanpa melihat karakter dan
sifatnya yang baik atau yang buruk. Karena ternyata ada juga segelintir
ibu yang tak punya hati terhadap anaknya. Kata “walidah”
digunakan hanya karena adanya proses melahirkan, baik bagi manusia
maupun makhluk lain, dengan keadaan-keadaan yang menyertainya; hamil dan
menyusui, seperti firman Allah,
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن
يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ
مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ
أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 233)
Ibu yang dibahasakan “walidah” inilah tempat menumpahkan segala bakti, pemuliaan, tanpa membedakan apakah ia baik atau tidak. Allah berfirman,
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا
كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra : 23)
Bahkan meskipun si ibu adalah seorang pelaku maksiat dan kafir.
Adapun “umm”, seperti telah
disebutkan di atas, Al Qur’an menggunakannya untuk menyebutkan sesuatu
yang menjadi sumber kemuliaan, merupakan simbol pengorbanan, penebusan,
kesucian, kejernihan, cinta dan kasih sayang. Sumber yang menjadikan
seseorang tumbuh menjadi manusia yang terhormat, menemukan kemuliaan dan
bangga menisbahkan dirinya kepada ibu yang melahirkannya. Mari kita
perhatikan perbedaan itu ketika Isa alaihissalaam bicara soal kewajiban
berbakti dan menghormati ibu, dimana Allah SWT berfirman,
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam : 32)
Namun ketika Al Qur’an mengisahkan tentang Isa as dan tentang karakter dan sifat ibunya yang mulia, Ia menggunakan kata “umm”. Allah berfirman,
مَّا
الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ
الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ انظُرْ
كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انظُرْ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Al Masih
putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar,
kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami
menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami),
kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan
ayat-ayat Kami itu).” (QS. Al Maidah : 75)
Pun ketika Al Qur’an hendak menarik
perhatian anak-anak agar memperhatikan ibu yang telah melahirkannya
dengan segala kendala dan kesulitan, Al Qur’an menggunakan kata “umm”.
Karena dari ibu, memancarkan cahaya kesabaran dan kemuliaan pada hari
kiamat, sehingga kita diperintahkan untuk memuliakannya di dunia dengan
pemuliaan yang mutlak dan tanpa batas.
Di sini kita bisa melihat betapa indahnya
bahasa Al Qur’an. Ketika ia berpesan kepada kita untuk berbakti kepada
orang tua, Al Qur’an menggunakan kata “al walidain”, tapi setelah itu ia menyebut ibu dengan kata “umm” karena keutamaannya lebih di atas ayah. Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14)
Imam Asy Syarbini, seperti juga dikatakan
Syaikh Muhammad bin Amin, “Ibu disebutkan secara khusus karena
menanggung beban berat dan banyak dari rasa sakit dan kesulitan dalam
melahirkan, menyusui, dan mengasuh.” Ar Razi mengatakan, “Karena itu hak
ibu lebih agung.”
Begitulah Al Qur’an bicara soal keutamaan
ibu. Demikian pula, ketika Al Qur’an hendak memberitakan kepada kita
dalamnya cinta ibu kepada anak-anaknya, dan besarnya kasih sayang dan
kelembutannya kepada mereka, kembali Al Qur;an menyebutnya dengan kata “umm”. Allah berfirman,
وَأَصْبَحَ
فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَارِغًا ۖ إِن كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَن
رَّبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
‘Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa.
Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya
tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya
(kepada janji Allah).“ (QS. Al Qashahs : 10)
Dan ketika Al Qur’an menceritakan betapa
bahagianya ibunda Musa setelah bertemu kembali anaknya, Al Qur’an juga
menggunakan kata “umm”. Allah berfirman,
إِذْ
تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ مَن يَكْفُلُهُ ۖ
فَرَجَعْنَاكَ إِلَىٰ أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ ۚ
وَقَتَلْتَ نَفْسًا فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا ۚ
فَلَبِثْتَ سِنِينَ فِي أَهْلِ مَدْيَنَ ثُمَّ جِئْتَ عَلَىٰ قَدَرٍ يَا
مُوسَىٰ
“(yaitu) ketika saudaramu yang
perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): “Bolehkah
saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” Maka Kami
mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka
cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan
kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan;
maka kamu tinggal beberapa tahun diantara penduduk Madyan, kemudian kamu
datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa,” (QS. Thaha : 40)
Ketika menunjukkan kesucian dan kemuliaan para istri Rasulullah SAW, Al Qur’an pun menyebut mereka dengan “al Ummahat”, bukan “al walidat”. Allah berfirman,
النَّبِيُّ
أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ
أُمَّهَاتُهُمْ ۗ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي
كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَن
تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي
الْكِتَابِ مَسْطُورًا
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama
lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat
baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab (Allah).” (QS. Al Ahzab : 6)
Al Qur’an yang lafaz-lafaznya kaya makna,
begitu dalam menjelaskan kepada kita tentang ibu. Maka selamilah itu,
agar kita bisa lebih memahami ibu, keajaiban yang Allah karuniakan
kepada kita. [Syahida.com]
0 comments:
Post a Comment