JAKARTA - Indonesia perlu memanfaatkan dan mengantisipasi risiko
ketidakpastian global yang ditimbulkan oleh kesepakatan antara Amerika
Serikat (AS) dan Tiongkok untuk menangguhkan pengenaan tarif baru dalam
90 hari di tengah peningkatan eskalasi perang dagang.
Ketidakpastian global tersebut diperkirakan mengancam kinerja ekspor
Indonesia sehingga perlu diantisipasi, antara lain dengan melakukan
diversifikasi negara tujuan ekspor. Ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus,
mengatakan “gencatan senjata” perang dagang tersebut bersifat temporer,
yakni 90 hari.
Oleh karena itu, Indonesia harus tetap mengantisipasi ketidakpastian
itu. “Dalam satu bulan ke depan, perlu dilihat lagi realisasi dari
kesepakatan terbaru antara Tiongkok dan AS tersebut. Apakah benar
direduksi tarifnya, kalau nggak dikurangi artinya masih menimbulkan
ketidakpastian,” kata dia, di Jakarta, Senin (3/12).
Untuk itu, Heri pun menyarankan agar negara berkembang mitra dagang
Tiongkok dan AS berkonsolidasi secara bilateral. Artinya, Indonesia juga
harus memanfaatkan momentum ini untuk melakukan diversifikasi pasar.
“Kita harus memetakan produk apa yang bisa diekspor selama perang
dagang, misalnya kelapa sawit.
Tiongkok menunda pembelian minyak nabati dari Amerika. Nah, ketika
Tiongkok butuh dan tidak mau beli dari AS, mereka bisa beli ke
Indonesia, yaitu minyak sawit untuk pengembangan biodiesel di sana,”
jelas dia. Menurut Heri, tujuan akhir dari antisipasi perkembangan
global ini adalah memperbaiki defisit neraca perdagangan dan defisit
neraca transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) Indonesia.
“Salah satu cara untuk memperbaiki CAD yang sustaine adalah dengan
meningkatkan ekspor. Kalau kita terbatas pasarnya dan barangnya itu-itu
aja, apa yang mau dieskpor? Dan, mau di ekspor ke mana?” tukas dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengingatkan
Indonesia harus menyiapkan negosiator yang unggul disertai materi dan
posisi yang jelas untuk menghadapi era perang dagang bilateral dan
melemahnya mekanisme solusi multilateral yang makin kompleks.
Dalam laman media sosial resmi, Sri Mulyani menjelaskan persiapan
patut dilakukan karena pemulihan ekonomi yang masih belum merata.
Terlebih, kebijakan ekonomi antara negara yang makin tidak sinkron
diperparah oleh kebijakan konfrontasi perdagangan. “Perang dagang telah
melahirkan keinginan G20 untuk melakukan reformasi multilateral dalam
World Trade Organization (WTO),” ujar dia, seperti dikutip Antara,
Minggu (2/12).
Impor Otomotif
Seperti dikabarkan, pertemuan Presiden AS, Donald Trump, dengan
Presiden Tiongkok, Xi Jinping, pada forum G20 di Buenos Aires,
Argentina, Sabtu (1/12), menghasilkan keputusan penundaan kenaikan tarif
pada produk ekspor Tiongkok senilai 200 miliar dollar AS yang
sebelumnya dijadwalkan pada 1 Januari 2019.
“Gencatan senjata” yang ditandai dengan penundaan kenaikan tarif
impor AS dari 10 persen menjadi 25 persen itu akan diberlakukan selama
90 hari. Presiden Trump mengungkapkan Tiongkok telah setuju untuk
memotong tarif impor mobil buatan AS. Kebijakan ini dinilai berdampak
positif bagi produsen mobil Tesla Inc dan BMW yang memproduksi mobil di
Negara Paman Sam untuk diekspor ke Tiongkok.
Seperti dikutip dari laman South China Morning Post, Senin, Trump
mengatakan di Twitter bahwa Tiongkok sepakat mengurangi dan menghapus
tarif atas mobil dari AS yang masuk ke Negeri Tirai Bambu itu. Saat ini,
tarifnya mencapai 40 persen.
Kesepakatan itu dinilai akan mendorong produsen mobil AS yang sempat
terpukul keras ketika Tiongkok meningkatkan pungutan atas mobil buatan
AS pada Juli sebagai bagian dari paket tarif balasan perang dagang.
Tiongkok, pasar mobil terbesar di dunia, menaikkan tarif impor otomotif
AS menjadi 40 persen dan memaksa banyak produsen mobil menaikkan harga.
Ini berdampak besar pada ekspor kendaraan penumpang AS yang dikirim
ke Tiongkok tahun lalu. Kenaikan tarif impor tersebut membuat mobil
buatan AS seperti Lincoln Tesla dan Ford Motor Co mengalami kerugian
besar.
Menurut Asosiasi Kendaraan Penumpang Tiongkok, sekitar 13,5 miliar
dollar AS dari total 51 miliar dollar AS nilai impor kendaraan Tiongkok
pada 2017, dari Amerika Utara. Impor itu termasuk kendaraan Eropa yang
dibuat di AS seperti BMW. Volume kendaraan yang diimpor Tiongkok dari AS
tahun lalu itu mencapai 280.200 unit.
0 comments:
Post a Comment