Dalam banyak kasus korupsi, diduga keras, korporasi juga terlibat dan
menjadi bagian kejahatan tapi korporasi hampir tidak pernah dijadikan
subyek hukum yang diperiksa dan diminta pertanggungjawabannya di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ada fakta lain yang juga sangat
faktual, di sebagian besar kasus korupsi yang dilakukan korporasi juga
terjadi korupsi politik.
Bahkan, ada indikasi yang tak terbantahkan, ada korupsi politik di
dalam korupsi korporasi. Untuk itu diperlukan suatu kajian awal untuk
melihat relasi diantara keduanya. Di dalam kajian digunakan rujukan
berupa peraturan perundangan, informasi yang dikemukakan oleh media,
putusan pengadilan dan juga buku referensi. Ada persekutuan antara
tindak korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak
pemegang otoritas dengan jabatan politik tertentu dengan pihak yang
mewakili kepentingan korporasi. Mereka menyalahgunakan sumber daya
publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan privat dan
kelompoknya sendiri. Pada kasus tertentu, dana yang digunakan berasal
dari korporasi dan ditujukan untuk “membeli” otoritas yang dimiliki oleh
penyelenggaraan negara. Pada konteks ini, korporasi dengan kekuatan
kapitalnya dapat mendikte hingga menguasai kepentingannya sehingga
terjadilah apa disebut sebagai capitaland corporate driven
atas berbagai proyek yang tidak ditujukan untuk kepentingan publik.
Penegak hukum mengalami kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di
dalam kasus ini karena sifat kasusnya menjadi beyond the law.
PENDAHULUAN
Ada 2 (dua) frasa kunci yang menjadi bagian penting dari tulisan ini,
yaitu: Korupsi Politik dan Korupsi Korporasi. Tentu, kedua frasa itu
perlu dijelaskan makna operasionalnya tetapi juga akan dilacak, apakah
pada keduanya ada relasi sehingga terjadi pertautan satu dan lainnya.
Selama ini, ada dugaan, disebagiannya, korupsi korporasi tidak berdiri
sendiri, ada “jejak” korupsi politik yang menyertai dan menjadi bagian
dari korupsi korporasi. Bagaimana jika terjadi pertautan dan juga
konsolidasi kepentingan diantara keduanya, apakah modus operandi operasi
makin menjadi “solid” dengan “dampak” yang juga kian besar
magnitudenya.
Secara umum, korupsi yang diduga dilakukan korporasi telah dirumuskan
di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam rumusan pasal pada delik
kejahatan yang tersebut di dalam UU Tindak Pidana Korupsi, dimulai
dengan menggunakan frasa kata “setiap orang”. Pada frasa kata tersebut,
setiap orang dimaknai sebagai orang perseorangan dan juga termasuk
korporasi (Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Bahkan, di dalam Pasal 1, Angka 1 UU tersebut di atas, juga
dirumuskan pengertian dari korporasi, sebagai kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. Berdasarkan uraian tersebut, “setiap orang” juga termasuk
korporasi dapat dikualifikasi menjadi subyek dari suatu tindak pidana
korupsi. Bahkan, di dalam Pasal 20 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, sudah dijelaskan hal ihwal mengenai korupsi yang
dilakukan korporasi dan atau pengurusnya.
Ada 3 (tiga) hal menarik berkaitan dengan korupsi korporasi ini bila
dikaitkan dengan keinginan KPK untuk membawa kasus korupsi ke depan
pengadilan, yaitu: pertama, KPK menyatakan bahwa sebagian besar kasus
penyuapan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi; kedua,
tidak ada satu pun korporasi yang dihukum dalam seluruh kasus korupsi
yang ditangani KPK yang melibatkan korporasi karena korupsi yang
ditangani baru sebatas pribadi atau perorangan; ketiga, kasus korupsi
korporasi, disebagiannya, juga melibatkan politisi selain aparatur
birokrasi. Pernyataan ini hendak menegaskan, ada kepentingan lain yang
potensial bekerja di dalam kasus korupsi korporasi.
Berkaitan dengan pernyataan di dalam butir ketiga di atas, ada suatu
pertanyaan yang mengemuka, apakah korupsi politik menjadi sesuatu yang
berdiri sendiri atau menjadi bagian dari korupsi lainnya, khususnya
korupsi korporasi serta juga punya hubungan dengan kepentingan politik.
Pada kenyataan lainnya, ada banyak ditemukan fakta, korupsi juga
dilakukan oleh kalangan parlemen yang kerap disebut sebagai politisi,
dan korupsi juga dilakukan bersama birokrasi dan korporasi. Itu sebabnya
menarik untuk dikaji, adakah pengaruh politik tertentu yang menyebabkan
pihak lain menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan hukum.
Secara umum, tidak ada satu pun penjelasan normatif yang tersebut dan
disediakan oleh suatu peraturan perundangan yang dapat menjelaskan
pengertian korupsi politik. Artidjo Alkostar, Hakim di Mahkamah Agung,
mencoba melakukan “ijtihad hukum” dengan merumuskan korupsi politik
melalui berbagai pertimbangan hukum di dalam kasus-kasus yang
diputuskannya, khususnya pada kasus-kasus korupsi diajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Misalnya saja, di dalam kasus Rina Iriani Sri Ratnaningsih, mantan
Bupati Karanganyar, dihukum lebih tinggi dari tuntutan Penuntut Umum.
Salah satu alasan dalam pertimbangan hukum yang dirumuskan oleh Majelis
Hukum Kasasi menyatakan, korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang
hasil kejahatannya, sebagiannya, dialirkan untuk kegiatan politik.
Tindakan sedemikian oleh Majelis Hakim MA dikualifikasi sebagai tindakan
korupsi politik.
Begitupun, pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden PKS, Hakim
Agung Artidjo, memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 tahun penjara.
Dalam putusan ini, Artidjo membangun konstruksi hukum yang dirumuskan di
dalam pertimbangan putusan berkaitan dengan suatu tindak kejahatan yang
dikualifikasi sebagai “korupsi politik”. Korupsi politik dimaknai
sebagai suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang
kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat
kejahatan.
Di dalam Putusan Anas Urbaningrum yang dituduh dengan dakwaan
berlapis, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya dinyatakan, apa yang
dilakukan oleh Anas untuk memperkaya dirinya dan orang lain, tidak
hanya disebut sebagai tindak pidana korupsi saja. Perbuatan Anas yang
menggunakan uang hasil kejahatannya, sebagai bagian dari upaya sadar dan
sengaja untuk mencapai obsesi politiknya melalui berbagai upaya
“politik” oleh Mahkamah Agung dinyatakan dan dikualifikasi sebagai
tindakan yang disebut dengan korupsi politik juga.
Berdasarkan uraian di atas, ada hipotesis yang hendak dikemukakan,
yaitu: pertama, ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh
penyelenggara negara; kedua, tindakan itu, sedari awal, dapat
ditunjukkan dengan menggunakan “pengaruh” yang dimilikinya yang dapat
saja terjadi kombinasi antara penyelenggara negara dan pejabat publik
(kasus Anas dan kasus Luthfi Hasan); ketiga, sebagian uang dari hasil
kejahatan itu dilakukan untuk kegiatan yang dikatagorisir sebagai
aktivitas politik (kasus Iriana); keempat, adanya niat yang diwujudkan
dalam bentuk tindakan atau perbuatan tertentu yang dikualifikasi sebagai
suatu “kepentingan politik”; kelima, interpretasi terhadap pengertian
politik, aktivitas politik dan kepentingan, ditafsirkan secara eksesif
di dalam berbagai pertimbangan hukum di atas.
Untuk mengonfirmasi hipotesisi di atas, dapat dilihat pada salah satu
argumen pertimbangan hukum MA dalam kasus Anas. Pada pertimbangan hukum
dimaksud dikemukakan bahwa tindakan yang dilakukannya Anas itu
berkaitan dengan kepentingannya untuk “merebut” jabatan politik
tertentu. Lebih lanjut pertimbangan dimaksud menyatakan sebagai berikut:
"...Bahwa putusan Judex Facti bersifat
kontradiktif, karena dalam pertimbangannya telah menyebutkan bahwa
Terdakwa melakukan lobi-lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN
adalah untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua
Umum Partai Demokrat dan calon Presiden. Hal tersebut secara yuridis
memenuhi kualifikasi unsur hadiah dan janji yang patut diketahui dan
patut diduga diberikan untuk menggerakkan agar melakukan dan tidak
melakukan semata dalam jabatannya seperti tertuang dalam unsur-unsur
Pasal 12a Undang Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2001;..."
Ada hal yang menarik, di dalam kasus korupsi politik sesuai hipotesis
di atas, ada peran korporasi yang dijadikan sarana dan prasarana
kejahatan. Korporasi dipakai sebagai alat dan digunakan untuk melakukan
kejahatan korupsi, pada pelaksanaannya, bersekutu dan bersimbiose dengan
penggunaan kewenangan “politik” tertentu yang kemudian disebut sebagai
korupsi politik. Pada ujungnya, kesemuanya itu dapat ditujukan untuk
“kepentingan” politik tertentu.
Di dalam kasus Anas, ada perusahaan yang kemudian dikenal bernama
Permai Group, suatu badan usaha yang diindikasikan, baik secara langsung
dan tidak langsung digunakan untuk menjadi instrumen dalam melakukan
kejahatan bersama-sama dengan Nazaruddin dan kawan lainnya. Pada kasus
dimaksud dengan uraian dakwaan serta petimbangan hukum atas kasus di
atas, kelak dapat dilihat, sejauh mana relasi dan integrasi kepentingan
diantara korupsi korporasi dan korupsi politik.
Hal tersebut di atas menjadi penting untuk dilakukan pengkajian,
selama ini, korupsi korporasi seolah menjadi bagian terpisahkan yang
tidak ada kaitannya dengan korupsi politik. Padahal, relasi diantara
keduanya terjadi begitu faktual serta menyebabkan kejahatan menjadi
canggih dan kompleks serta kian memiliki kekuatan yang kian sulit untuk
“dikendalikan” oleh sebagian penegak hukum yang belum sepenuhnya
independen sehingga kasus-kasus tersebut potensial tidak sepenuhnya
dapat diperiksa dan dikontestasi secara fair trial.
Pendeknya, kini, korupsi tidak hanya dapat dikualifikasi sebagai
kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional saja tetapi juga
kejahatannya potensial dilakukan secara solid dan terintegrasi antara
kepentingan korporasi, birokrasi dan politisi sehingga terjadilah suatu
kejahatan korupsi terorganisir di sektor korporasi yang berkelindan
dengan suatu kejahatan yang dikualifikasi sebagai korupsi politik.
Ada intensi, cukup banyaknya fakta yang memperlihatkan, kasus korupsi
mempunyai hubungan segitiga diantara pihak korporasi, politisi dan
birokrasi. Pada situasi seperti ini, sebagian lembaga penegakan hukum
yang tidak independen, potensial berada di dalam “bayangan” kepentingan
kekuasaan dan pada situasi seperti itu, lembaga penegakan hukum yang
belum sepenuhnya independen akan kesulitan menjalankan fungsi dan
kewenangannya secara akuntabel serta berpihak sepenuh-penuhnya pada
kepentingan kepastian, kemaslahatan dan keadilan.
Yang agak mengerikan dan sangat menguatirkan, kini, ada diskursus
yang terus menerus muncul, yaitu: terjadinya politik kartel dan kian
solidnya kekuasan oligarki yang mempunyai kekuatan untuk mengkooptasi
kekuasaan. Bahkan, ada sinyalemen yang kian terang benderang yang
menunjukkan dengan sangat jelas, politik kartel dan kekuasatan oligarki
ini telah mulai bekerja secara sistematis dan terstruktur di dalam
sistem kekuasaan dan disebagiannya telah “menguasai” kepentingan
kekuasaan sehingga tidak lagi berpihak pada kepentingan kemaslahatan
publik.
METODE KAJIAN
Di dalam melakukan kajian digunakan 3 (tiga) sumber utama, yaitu:
pertama, peraturan perundangan yang berkaitan dengan kajian; kedua,
informasi berupa berita yang dikemukakan oleh media yang dapat diakses.
Bisa saja terjadi, pernyataan dari berbagai Pimpinan lembaga yang
dikutip media dan berkaitan dengan maksud pengkajian, dijadikan bahan
rujukan penulisan; dan ketiga, putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap karena sudah diputus oleh Mahkamah Agung.
Berpijak pada ketiga sumber utama di atas maka dilakukan kajian dan
pembahasan dengan merujuk pada maksud kajian dan penulisan. Ada asumsi
yang didasarkan atas suatu fakta yang telah dan tengah terjadi. Di satu
sisi, modus operandi korupsi terus berkembang melebihi kemampuan
pemahaman yang diketahui kebanyakan kalangan. Adakalanya, perkembangan
itu jauh melebihi lingkup peraturan perundangan yang ada. Di sisi
lainnya, aparatur penegakan hukum mempunyai keterbatasan untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya karena perkembangan kejahatan yang
bisa terjadi beyond the law.
Untuk itu diperlukan kajian yang ditujukan untuk melihat lebih teliti
tingkat perkembangan kejahatan, mengabstraksi kajian untuk membangun
diskursus pada level publik agar kesenjangan antara perkembangan
kejahatan dengan peraturan perundangan dapat terus dikendalikan agar
tidak terjadi “gap” yang terlalu lebar sehingga meniadakan
kepastian hukum. Selain itu, kajian juga penting dilakukan agar menjaga
prioritas perhatian dari aparat penegak hukum untuk terus menerus
“berpihak dan mengelola” kepentingan kemaslahatan publik
sepenuh-penuhnya.
Kajian ini juga dapat digunakan dan sekaligus ditujukan untuk
mengkonstruksi suatu gagasan dalam bentuk yang lebih solid yang kelak
dapat dipakai untuk membangun diskursus di level masyarakat. Selain itu,
kajian ini juga potensial digunakan untuk menginisiasi gagasan dan
memperdebatkannya, atau kajian awal yang kelak akan disempurnakan guna
mendorong percepatan perubahan berbagai peraturan perundangan agar
ketentuan perundangan dimaksud senantiasa kompatibel dengan berbagai
perkembangan kejahatan serta dapat digunakan secara efektif untuk
mengendalikan kejahatan tersebut.
FAKTA PERKEMBANGAN KORUPSI DAN PEMBAHASAN
Ada pernyataan yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Ketua KPK.
Pernyataan tersebut menyatakan, ternyata, 90% kasus korupsi yang
ditangani KPK turut melibatkan sejumlah korporasi, baik sebagai pelaku
kejahatan, orang yang bersama-sama melakukan kejahatan maupun pihak yang
membantu memberi sarana dan prasarana kejahatan. Modusnya, antara lain,
berbentuk penyuapan untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau
memengaruhi kebijakan.
KPK juga mengemukakan suatu data yang menyatakan, sejak tahun 2004
hingga Juni 2016, kasus terbanyak yang ditangani KPK adalah kasus
penyuapan, yakni sebesar 50,9%. Ada sekitar 28,7% di antaranya adalah
kasus Pengadaan Barang dan Jasa, serta 8,5% merupakan kasus
penyalahgunaan anggaran. Fakta lainnya, kasus korupsi yang berkaitan
dengan korporasi yang ditangani KPK baru sebatas pribadi atau perorangan
tetapi KPK belum pernah menjadikan perusahaan atau korporasi sebagai
tersangka kasus korupsi.
Pada belakangan ini, ada satu kasus yang mendapatkan perhatian
publik. Kasus dimaksud tengah ditangani KPK, yaitu: kasus suap yang
berkaitan dengan pembahasan Perda Reklamasi Jakarta. Kasus itu
melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja yang
diduga keras melakukan tindak penyuapan terhadap anggota DPRD DKI
Jakarta Mohamad Sanusi. Dana penyuapan sebesar Rp.2 miliar, diduga,
ditujukan untuk kepentingan Agung Podomoro terkait reklamasi atas pulau
di sebelah utara Jakarta.
Kedua kasus di atas tengah diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta. Salah satu hal yang membuat kasus ini menjadi sangat
menarik, kasus ini menyangkut investasi dalam jumlah triliunan rupiah
serta juga keuntungan atas investasi sangat fantastis karena bisa
mencapai ratusan triliun rupiah. Penyuapan hanya sebesar Rp.2 miliar
adalah suatu jumlah yang nilainya bak serpihan pasir belaka bila
dibandingkan dengan keuntungan investasi yang dihasilkan pengembang.
Ada kekuatiran yang sangat mendalam dan masuk akal. Jika jumlah
keuntungan atas proyek itu begitu fantastis hingga mencapai puluhan
triuliun rupiah, bukan hal yang tidak mungkin bila dana tersebut
sebagiannya “digelontorkan” sebagai “pelumas” untuk menjustifikasi
proyek. Tindakan ini kerap disebut juga sebagai biaya rente
ekonomi-politik yang perlu “dilunasi” agar dapat legitimasi kekuasaan.
Bila hal dimaksud dilakukan, diduga, kekuasaan potensial akan terbeli
dan tidak akan mampu mengendalikan wibawa dan kehormatannya di bawah
kapital dan komoditifikasi kepentingan.
Selain itu, kasus ini juga menjadi sangat menarik karena masih ada
banyak hal belum terungkap termasuk dalam kaitannya dengan kepentingan
korporasi untuk kemudian ditarik relasinya dengan korupsi politik.
Misalnya saja, apakah Ariesman Widjaja dalam kapasitas sebagai Presiden
Direktur PT Agung Podomoro Land bertindak untuk dan atas nama dirinya
sendiri? Bukankah Ariesman hanya salah satu direktur saja yang
sesungguhnya menjalankan kepentingan dari kebijakan korpotasi atau
bahkan kepentingan dari owner korporasi? Ada begitu banyak
korporasi yang punya kepentingan atas persoalan pasal yang berkaitan
dengan tambahan kontribusi sebesar 15% bagi pemilik izin reklamasi,
apakah hanya satu korporasi saja yang terlibat atas kepentingan yang
melibatkan begitu banyak korporasi lainnya.
Pada konteks politik, apakah kepentingan kapital untuk “menundukkan
dan menguasai” parlemen, dilakukan hanya dengan menyuap seorang Sanusi
saja? Padahal ada begitu banyak pertemuan lain yang melibatkan cukup
banyak pimpinan parlemen daerah dan alat kelengkapan dewan di dalam
pembahasan draf peraturan daerah, khususnya yang menyangkut kontribusi
tambahan 15% tersebut. Lalu, kenapa hanya Sanusi saja yang
bertanggungjawab atas persoalan yang begitu besar. Semoga saja, kasus
Sanusi dijadikan pintu masuk untuk membongkar potensi penyuapan yang
lebih struktural.
Begitupun dalam kaitannya dengan birokrasi, juga muncul banyak
pertanyaan lainnya. Seperti misalnya, ada pembicaraan antara pimpinan
birokrasi dengan pemilik korporasi. Bahkan, pemilik korporasi juga
melakukan berbagai pertemuan, baik dengan politisi yang mewakili
kekuasaan di parlemen maupun dengan kalangan birokrasi lainnya, termasuk
Basuki TP sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta. Diduga, sebagian besar
pertemuan dimaksud memuat pembicaraan yang berkaitan soal reklamasi.
Lihat saja keterangan Sugianto Kusuma yang kerap dipanggil dengan
nama Aguan, di muka persidangan di awal September 2016, mengemukakan
pertemuannya dengan kepala pemerintahan DKI "... 2013 pertama datang
untuk silaturahmi Pak Wagub, ... sebetulnya saya kenal dia sudah cukup
lama ... Kalau ketemu yang bukan resmi sudah sering ... Waktu di Pantai
Mutiara waktu Pak Ahok wagub minta ada tambahan kontribusi ... Dari
pihak Pemprov yang mengumpulkan di Pantai Mutiara, yang datang dari
Intiland, Agung Podomoro, Ancol dan saya ... karena pemerintah daerah
mau bangun rusun, jadi perlu banyak dana maupun tanah ...".
Ternyata, Aguan juga bertemu pimpinan DPRD Jakarta untuk membahas
rancangan aturan pulau reklamasi pada awal Desember 2015. Pada suatu
media dikemukakan, Aguan memanggil Ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudi,
Wakil Ketua Mohamad Taufik, anggota Badan Legislasi Ongen Sangaji, dan
Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin, diperantarai Mohamad
Sanusi yang menjadi tersangka suap Rp 2 miliar. Mereka membahas
kemungkinan menurunkan kontribusi tambahan dari 15 menjadi 5%, Aguan
keberatan karena 15 persen setara Rp 11,8 triliun. Media dimaksud
menyatakan Ongen Sangaji membenarkan pertemuan tersebut. “... Pertemuan
itu ada, saya sudah jelaskan ke KPK ...”.
Pada kasus Jakabaring dan Hambalang juga terjadi hal serupa, seperti
yang sudah di kemukakan di atas. Pada kasus Jakabaring dan Hambalang,
bertemulah tiga kepentingan besar, yaitu para politisi yang punya akses
pada parlemen dan juga pemerintahan untuk menentukan suatu proyek
tertentu, korporasi yang mencari akses untuk mendapatkan proyek
pembangunan dari kementerian dengan menggunakan dana APBN dan pihak
birokrasi yang biasa ditunjuk mewakili kepentingan kementerian dalam
mengurus proyek.
Pertama kali, kasus suap Jakabaring terungkap melalui Operasi Tangkap
Tangan (OTT) KPK tanggal 21 April 2011. Ada tiga lembar cek, yaitu: 2
(dua) lembar dari Bank BCA dan satu lembar dari Bank Mega senilai Rp.
3.289.850.000 digunakan sebagai sarana penyuapan yang berkaitan dengan
proyek pembangunan Wisma Atlet Jakabaring di Sumatera Selatan. Proyek
ini dibiayai APBN melalui Daftar Isian Pembangunan Anggaran (DIPA) 2010,
berupa block grant dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) ke
Pemerintah Daerah Sumatera Selatan.
Di dalam kasus di atas, Muhammad Nazaruddin juga diperiksa oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan dinyatakan bersalah. Mahkamah Agung
memutuskan untuk memeriksa dan mengadili sendiri kasus dimaksud. Salah
satu pertimbangan hukum yang menjadi dasar untuk Mahkamah Agung
menyatakan telah terpenuhinya tindak pidana adalah sebagai berikut:
- Bahwa perbuatan Terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu Anggota DPR R.I secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan dengan beberapa orang dari Anggota Komisi X DPR R.I yaitu Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Koordinator di Badan Anggaran DPR R.I dari Komisi X), Mahyudin (Ketua Komisi X DPR R.I);
- Bahwa Terdakwa juga aktif mengadakan pertemuan dengan Wafid Muharam (Sesmenpora) dan Andi Malarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga) yang bertujuan mengatur agar anggaran Proyek Pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring, Sumatera Selatan disetujui oleh Badan Anggaran DPR R.I;
- Bahwa Terdakwa juga aktif melakukan pertemuan dengan Dudung Purwadi dan Mohamad El Idris selaku Direktur Utama dan Direktur Marketing PT. DGI Tbk. dan mengupayakan PT. DGI Tbk. menjadi pelaksana pekerjaan proyek Pembangunan Wisma Atlet Jakabaring. Dari upaya aktif tersebut, Terdakwa meminta komitmen fee kepada Mohamad El Idris Direktur Marketing PT. DGI Tbk.;
Pada kasus di atas, ada tiga peran strategis yang dilakukan terdakwa.
Dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, terdakwa “menggalang” para
koleganya sendiri di parlemen untuk menyetujui kebijakan penganggaran
bagi kementerian tertentu. Selain itu, terdakwa juga bertemu dan
berkomunikasi dengan kementerian yang memiliki pos anggaran atas proyek
tertentu yang dananya sudah disetujui parlemen; dan juga, terdakwa
berkordinasi dengan penguasa yang korporasinya akan digunakan untuk
melaksanakan proyek pembangunan.
Bila dipelajari dengan sangat cermat, kasus ini bermula dari hanya
dari 3 (tiga) orang tidak dikenal banyak dikenal publik (Mindo Rosalina
Manulang, Mohamad El Idris dan Wafid Muharam). Kemudian, kasus ini
berkembang dan ternyata melibatkan Nazaruddin. Pada akhirnya, juga
menyeret berbagai figur yang sudah begitu dikenal publik sehingga
menjadi 11 (sebelas) kasus lainnya berhasil dibawa ke pengadilan oleh
KPK.
Adapun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan korporasinya Nazaruddin,
yaitu antara lain: kasus Anas Urbaningrum. Putusan Mahkamah Agung di
dalam salah satu pertimbangannya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Permai Group adalah salah satu
tempat bisnis Terdakwa menerima fee di samping yang lainnya. Dalam
Permai Group, Terdakwa sebagai owner (Pemilik) yang dikelola oleh Mindo
Rosalina Manulang dan Yulianus serta M. Nazaruddin sebagai Bendahara.
Uang tidak bisa keluar tanpa persetujuan Terdakwa;
Bahwa perbuatan Terdakwa mempunyai
hubungan kausal dengan dititipkannya PT. Adhi Karya memperoleh Proyek
Hambalang dan persiapan Terdakwa untuk menjadi Calon Ketua Umum Partai
Demokrat;
Bahwa Yulianis berangkat ke Kongres
Partai Demokrat di Bandung dengan membawa uang sejumlah USD 7,000,000
yang hampir semuanya bersumber dari Permai Group, uang tersebut untuk
dibagikan kepada DPC-DPC;
Bahwa pembelian tanah di Jogyakarta
mempunyai hubungan kausal dengan sisa uang dari fee-fee proyek yang
berasal dari APBN sehingga Terdakwa melakukan tindakan menyamarkan uang
dari fee-fee proyek Hambalang/APBN sebagaimana terungkap dalam fakta
hukum di persidangan yang disampaikan oleh saksi Yulianis dan M.
Nazaruddin sehingga perbuatan Terdakwa merupakan tindakan pencucian
uang;
Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan
korupsi politik. Rangkaian perbuatan Terdakwa secara berlanjut memenuhi
unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 64 KUHP
sebagaimana dakwaan pertama dan Pasal 3 Undang Undang No. 8 Tahun 2010
Jo Pasal 65 ayat (1) (dakwaan kedua) dan Pasal 3 ayat (1) Undang Undang
No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 25
Tahun 2003;
Adapun pihak lainnya yang terlibat dengan perusahaan Nazaruddin,
yaitu antara lain: Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng. Mereka adalah
politisi dari partai yang sama yang kebetulan menjadi partainya penguasa
dan kasusnya sudah diadili. Selain itu, ada nama beken dari partai
lainnya, sepert: Olly Dondokambey dan I Wayan Koster yang belum jelas
penanganannya yang diduga terlibat bersama Angelina.
Di berbagai kesempatan lainnya, Nazaruddin mulai dan acapkali
menyebut berbagai pihak lainnya, seperti: Setya Novanto, Marwan Jafar,
Ganjar Pranowo, Abdul Kadir Karding, Azis Syamsudin, Mirwan Amir,
termasuk Ibas dan Gamawan Fawzi. Menurut Nazaruddin, mereka
dinyatakannya sebagai pihak yang diduga punya keterlibatan dengan
kasus-kasus lainnya, seperti antara lain: kasus E-KTP dan kasus lainnya.
Sementara itu, ada kasus lainnya, yaitu: Rina Iriani Sri
Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar 2003-2013 yang tersangkut kasus
korupsi dengan modus menyalahgunakan anggaran subsidi perumahan dari
Kementerian Perumahan Rakyat Tahun Anggaran 2007-2008 untuk proyek
perumahan Griya Lawu Asri (GLA).
Pengadilan Negeri Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman enam tahun
penjara ke Rina. Putusan ini dikabulkan pda 29 April 2015. Tapi di
tingkat kasasi, Hakim Agung Artidjo Alkostar, bersama MS Lumme dan
Krisna Harahap memperberat hukuman Rina menjadi 12 (dua belas) tahun
penjara atau 2 (dua) tahun di atas tuntutan jaksa.
Pada putusan itu, Hakim Agung Artidjo menyatakan dan merumuskan bahwa
tindakan Rina dikualifikasi sebagai korupsi politik yaitu korupsi yang
dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya digunakan untuk
kegiatan politik. Lebih lanjut dikemukakan "... Terdakwa mempergunakan
sebagian uang hasil korupsi sebesar Rp 2,4 miliar untuk kepentingan
pribadi, yaitu dibagikan kepada pengurus politik pendukung terdakwa
dalam rangka Pilkada 2008 sehingga perbuatan terdakwa merupakan korupsi
politik ...".
Berkaitan dengan tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai 'korupsi
politik', Hakim Agung Artidjo juga menyatakan, mantan Presiden PKS
Luthfi Hasan Ishaaq LHI telah melakukan kejahatan 'korupsi politik',
yaitu suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang
kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat
kejahatan sehingga memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 (delapan belas)
tahun penjara.
Dalam putusan tersebut dikemukakan "... Hubungan transaksional antara
terdakwa yang anggota badan kekuasaan legislatif dengan Maria Elizabeth
Liman, pengusaha impor daging sapi, merupakan korupsi politik karena
dilakukan terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik
sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) ...".
Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan seperti tersebut di atas maka dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan seperti tersebut di atas maka dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, tindakan yang dilakukan berbagai pihak,
seperti: Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Rani Iriani dan Luthfi
Hasan Ishaaq telah dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dan
keputusannya telah tetap menurut hukum karena sudah diputuskan oleh
Mahkamah Agung.
Ada pihak lainnya yang belum diperiksa di pengadilan tetapi di dalam
dakwaan sudah disebutkan dan tindakan kejahatan dilakukan secara
bersama-sama maka kepada mereka telah layak untuk dikualifikasi
melakukan tindakan yang disebut koruptif. Ada juga kasus dari Ariesman
Widjaja dan Mohamad Sanusi yang proses hukumnya di pengadilan sedang
dilakukan tetapi belum selesai.
Karena pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, berasal dari
bahasa latin yaitu “corruptio atau corruptus” atau dari kata asal
“corrumpere“, yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua dan
turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi; serta dipadankan dengan
pengertian yang dirumuskan The Lexicon Webster Dictionary, maka tindakan
koruptif adalah tindakan yang bersifat kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Para pihak yang sudah disebutkan di dalam dakwaan, rumusan dakwaannya
telah diuji di muka pengadilan dan para pihak itu dinyatakan telah
menerima sesuatu yang bertentangan dengan perundangan, kewajiban hukum
serta kepatutan, para pihak tersebut sudah dapat dikualifikasi telah
melakukan suatu tindakan yang dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi.
Kedua, tindakan subyek hukum tersebut di dalam poin
pertama dilakukan oleh para pihak yang menjadi bagian dan punya relasi
dengan politik dalam berbagai aspeknya. Salah satunya, korupsi tersebut
dilakukan pejabat publik yang juga politisi dan sebagian uang hasil
kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Pada konteks itu, mereka
menggunakan korporasi sebagai sarana dan prasarana kejahatan.
Pendeknya, tindakan sebagian para pihak seperti tersebut di dalam
butir pertama, juga berkaitan dengan korporasi, baik langsung maupun
tidak langsung. Misalnya Permai Group, perusahaan itu secara faktual
dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, perusahaan dimaksud juga
melakukan tindakan lain yang merupakan bagian dari kejahatan lainnya
dengan menggunakan uang yang didapatkan dari hasil kejahatan.
Ketiga, ada fakta kongkrit yang tidak terbantahkan,
korporasi yang dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan
dimaksud, secara hukum, tidak pernah dinyatakan sebagai perusahaan
pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Selama ini, di dalam pratik
penegakan hukum di Indonesia, sebagian besar kejahatan korupsi, pihak
atau subyek hukum yang dibawa dan diperiksa serta dihukum pengadilan
hanyalah pelaku yang mewakili korporasi atau sebagian pemiliknya saja.
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 1, Angka 3 UU No. 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dimana ada frasa kata “setiap orang”
yang artinya, setiap orang adalah orang perseorangan dan juga termasuk
korporasi belum diefektifkan dan diaktifkan secara paripurna. Oleh
karena itu, perusahaan Permai Group, PT Agung Podomoro Land, PT. Adhi
Karya, PT DGI, Dutasari Citra Laras, PT. Indoguna Utama dan perusahaan
lainnya yang terlibat di dalam tindak pidana korupsi masih terus dapat
bekerja dan beroperasi kendati secara faktual telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan para pemiliknya.
Fakta ini hendak menegaskan, sebagian besar pelaku kejahatan,
maksudnya, korporasi yang terlibat maupun menjadi bagian dari kejahatan
belum disentuh dan ditarik menjadi pihak yang juga harus
mempertanggungjawabkan tindakannya. Pemerintahan melalui lembaga dan
aparatur penegakan hukumnya telah melakukan pembiaran dengan sangat
sempurna atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
Itu sebabnya, KPK harus didorong untuk segera mengaktualisasikan
komitmennya dan kehendak kuatnya untuk membawa kasus korporasi,
khususnya, korporasi yang diduga terlibat melakukan tindak pidana
korupsi ke depan persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Fakta bahwa korporasi belum dibawa ke pengadilan dapat dimaknai
sebagai tindak pembiaran. Di KPK ada sekitar 90% kasus korupsi yang
ditanganinya berkaitan dan turut melibatkan korporasi. Oleh Karena itu,
KPK harus didorong untuk sesegera mungkin menanganai penyuapan yang
dilakukan korporasi untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau
memengaruhi kebijakan. Itu juga artinya, dugaan kasus penyuapan yang
dilakukan korporasi, yakni sebesar 50,9%, serta 28,7% di antaranya
adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, dan 8,5% kasus penyalahgunaan
anggaran.
Salah seorang Hakim Agung, Surya Jaya dalam diskusi bertajuk
"Pertanggungjawaban dan Pemidanaan Korporasi dalam Perkara Tipikor"
menuyatakan “... korporasi seringkali digunakan sebagai sarana untuk
melakukan tindak pidana, bahkan sampai dijadikan tameng untuk melindungi
hasil kejahatan yang dilakukan seorang pengurus korporasi. Hampir
setiap perkara korupsi yang dilakukan seseorang atas nama perusahaan
bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri ...”.
Korupsi korporasi sudah menjadi perhatian dari komunitas
internasional. Setidaknya hal ini dapat dilacak dari aturan yang
dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal UNCAC Tahun 2013 yang
menyatakan “... Each State Party shall take measures, in accordance
with the fundamental principles of its domestic law, to prevent
corruption involving the private sector, enhance accounting and auditing
standards in the private sector and, where appropriate, provide
effective, proportionate and dissuasive civil, administrative or
criminal penalties for failure to comply with such measures ...”.
Di dalam pasal di atas, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan
untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta dan bahkan diminta
memberikan sanksi, baik perdata, administratif atau pidana yang efektif.
Di bagian pasal lainnya, juga diatur, tindak pidana korupsi oleh
korporasi, yaitu: penyuapan di sektor swasta dan penggelapan kekayaan di
sektor swasta.
Di dalam kriminologi kejahatan, semula dikenal kejahatan korporasi,
baik yang dilakukan pihak yang mewakili atau menjadi manajer di
perusahaan maupun perusahaan itu sendiri. Di beberapa referensi
dikemukakan “... corporate crime refers to crimes committed either
by a corporation (i.e., a business entity having a separate legal
personality from the natural persons that manage its activities), or by
individuals acting on behalf of a corporation or other business entity
...”.
Selain itu, di berbagai ketentuan, terjadi apa disebut sebagai
overlaps antara kejahatan korporasi dengan white-collar crime, organize
crime maupun state corporate crime. Sebenarnya, di sisi lainnya, juga
tidak bisa disebut sebagai tumpang tindih karena di dalam kejahatan
korporasi juga dapat terdapat sifat dan karakter yang berkaitan dengan
white-collar crime, organize crime maupun state corporate crime.
Hal ini disebabkan, sebagian besar pelaku kejahatan di korporasi
adalah kalangan profesional yang memang memiliki kemampuan
mengorganisasikan kejahatan lebih baik dan canggih ketimbang kejahatan
yang dilakukan penjahat biasa, misalnya: melalui pencucian uang. Hal
serupa juga dengan state-corporate crime karena di dalam banyak kasus,
kejahatan terjadi karena adanya kerjasama penyelenggara negara dengan
pejabat korporasi yang disebutkan “... in many contexts, the opportunity to commit crime emerges from the relationship between the corporation and the state ...”.
Bahkan ada pernyataan yang provokatif yang menyatakan “... there
is evidence that the private sector has as much responsibility in
generating corruption as the public sector ... particular situations
such as state capture can be very damaging for the economy ...”. Pada situasi seperti itu, indikasi bekerja kekuatan oligarki menjadi menarik untuk diperhatikan.
Di Amerika dan Inggris, kejahatan korporasi, termasuk di dalamnya
korupsi di korporasi menjadi salah satu fokus utama yang sangat
diperhatikan. Oleh karena itu, ada aturan yang sangat ketat yang
mengatur hal dimaksud, khususnya pada berbagai perusahaan besar yang
operasinya mencakup level internasional. Perusahaan dimaksud, diwajibkan
untuk mencari partner bisnis yang juga memperhatikan hal yang berkaitan
dengan etik dan perilaku anti bribery. Hal tersebut dikemukakan oleh
Sullivan (John D Sullivan, 2011, 2) dengan menyatakan:
In fact, legislation such as the U.S.
Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) or the United Kingdom Bribery Act
places legal responsibility on large companies for the behavior of their
suppliers and distributors in global value chains. Enforcement of these
laws is creating pressure for companies to seek overseas business
partners who share their commitment to anti-corruption. It also removes
deniability of wrongdoing at the C-suite level when a local agent or
supplier pays a bribe. Therefore, internal compliance becomes a key
element of the board’s approach to risk management.
Apa yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan bila dilihat
berbagai fakta kejahatan yang melibatkan korporasi di berbagai negara
tersebut. Daftar di bawah ini menjelaskan kejahatan korporasi yang
dilakukan di Amerika yang ditangani dengan menggunakan FCPA di dalam
pemerintahan Obama (Merrill, 2011, The Ten Largest Global Business Corruption Cases), yaitu sebagai berikut:
0 comments:
Post a Comment