MUNDUR sedikit ke belakang, beberapa bulan silam,
serangkaian gerakan masif umat Islam bertajuk Aksi Bela Islam (ABI)
hingga episode atau jilid III (14 Oktober 2016, 4 November 2016, dan 2
Desember 2016) Puncaknya Reuni Akbar 212 2018 di monas di hadiri Jutaan Umat Islam dari seluruh penjuru tanah air memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk melakukan
konsolidasi. Aksi seperti ini belum pernah ada presedennya, terhitung
sejak Indonesia memasuki fase reformasi.
Konsolidasi dalam arti memperkukuh ikatan kesatuan entitas sebagai
kelompok mayoritas penting diupayakan. Kendati dari arah yang lain,
muncul pula gerakan yang lumayan masif dengan menggunakan isu
kebinekaan, seperti ingin menginsinuasi aksi yang berjilid-jilid itu,
berpotensi membelah masyarakat dan bangsa dalam berbagai ideologi yang
potensial menggerus ikatan kebangsaan.
Munculnya gerakan dari arah sebaliknya tersebut tidak terelakkan jika
mempertimbangkan peristiwa yang melatarbelakangi ABI, yakni reaksi atas
pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam
kunjungan kerjanya ke Kepulauan Seribu yang dianggap menistakan agama.
ABI tentu sangat berpotensi menggerus elektabilitas Ahok sebagai
kandidat petahana dalam Pilkada Jakarta yang diusung oleh parpol besar,
seperti PDIP, Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Sulit dimungkiri adanya intervensi kekuatan politik tertentu terkait
dengan kemunculan “Parade Kebinekaan 412”, selang dua hari setelah ABI
Jilid III yang fenomenal itu dan populer dengan sebutan Aksi 212. jadi,
baik pada aksi yang muncul secara bergantian serta dalam rentang waktu
yang berhimpitan itu maupun aksi-aksi berikutnya yang terkadang muncul
secara sporadis, tidak saja masyarakat pada umumnya yang tampak
terbelah, juga umat Islam sendiri.
Mengapa? Jawaban yang paling mudah adalah dengan menggunakan konsep sosiologis yang disebut dengan cross-cutting affiliations.
Konsep ini bisa memberikan pemahaman tentang kemungkinan kompleksitas
ikatan seseorang yang tidak hanya pada satu kelompok dan ideologi,
tetapi juga dengan yang lain.
Jika konsep ini dibawa ke dalam konteks umat Islam, bukan hal yang
mengherankan jika di satu sisi afiliasi kepada Islam sebagai agama
begitu kuat, di sisi lain, afiliasi kepada organisasi atau partai
politik tertentu juga tidak kalah kuatnya, meskipun organisasi dan
partai politik tersebut terlalu sulit dikaitkan dengan Islam.
Momentum Kebangkitan dan Umat yang Rentan
Namun, terlepas dari fenomena afiliasi ganda itu, lebih jauh, ABI yang menggiring ratusan ribu bahkan jutaan umat Islam, dan peristiwa berikutnya yang juga memantik sentimen umat Islam, dikatakan oleh sebagian pihak sebagai momentum kebangkitan Islam.
Namun, terlepas dari fenomena afiliasi ganda itu, lebih jauh, ABI yang menggiring ratusan ribu bahkan jutaan umat Islam, dan peristiwa berikutnya yang juga memantik sentimen umat Islam, dikatakan oleh sebagian pihak sebagai momentum kebangkitan Islam.
Pendapat tersebut tidak ada yang patut untuk disalahkan. Sebab, tak
ada yang menyangka sebelumnya, massa aksi umat Islam tersebut
berdatangan dari seluruh penjuru daerah di Indonesia. Paling tidak, aksi
ini membelalakkan mata kita semua bahwa suara umat Islam betapa pun
tetaplah memiliki resonansi dan terlalu berisiko jika diabaikan.
Namun, hendaknya kita tidak terlena dengan keberhasilan ABI tersebut.
Pasalnya, ada sejumlah pertanyaan kritis yang penting untuk
dikemukakan.
Pertama, apakah jumlah muslim yang mayoritas itu cukup berkualitas? Kedua, adakah
pengaruh signifikan bagi soliditas umat pasca-ABI itu, selain daripada
dipaksakannya simbol agama yang muncul di ruang-ruang publik serta
penokohan “pendatang baru” yang ingin berdiri paling depan di panggung
umat Islam.
Meski akan ada banyak pihak yang menentang hal ini, dua pertanyaan
tersebut sangatlah penting dalam rangka membuka kesadaran kritis umat.
Tujuannya agar umat tidak cukup berpuas pada aksi masif sesaat, tanpa
disertai langkah-langkah strategis seperti melakukan konsolidasi secara
terus-menerus. Tahapan itu adalah prakondisi menuju apa yang dibayangkan
sebagai kebangkitan atau revivalisme yang autentik.
Mengabaikan tindak lanjut strategis itu, aksi masif sesaat kendati
sempat mengundang decak kagum yang berlanjut pada rasa bangga akan mudah
diusik oleh isu dan arus wacana semisal isu atau wacana
anti-kebinekaan.
Dengan isu dan wacana ini, aksi masif umat Islam ingin
dikonstruksi—terutama oleh elite—sebagai suatu hal yang pantas
dikhawatirkan karena menjadi ancaman terhadap kebinekaan. Sejumlah
kejadian yang melibatkan umat Islam belakangan ini tampak ada pola yang
ingin memecah kekuatan muslim.
Sesama umat Islam, baik antarindividu, ormas, maupun hubungannya
dengan agama lain, seolah dibentur-benturkan satu sama lain. Energi umat
Islam terkuras untuk saling hujat dan mempertahankan pendapat
masing-masing. Alhasil, perbincangan seputar keagamaan sekarang ini
sarat dengan kebencian (hate speech) dan permusuhan.
Meski begitu, kondisi umat yang menggelisahkan ini tetap ada
pelajaran positifnya. Kejadian-kejadian yang mengemuka belakangan ini
mengonfirmasi kesadaran kita bahwa saat ini umat Islam mengalami sebuah
momen, di mana kecintaan terhadap agama tengah dijunjung tinggi,
khususnya untuk merespons problem-problem sosial, politik, dan
kebangsaan. Bangkitnya semangat keagamaan ini bisa menjadi modal penting
bagi soliditas umat Islam ke depan.
Menurut hemat penulis, langkah pertama yang bisa dilakukan untuk
memperkokoh kekuatan umat adalah dengan mengedukasi umat Islam agar
tidak rentan dengan berbagai isu, utamanya yang bergulir dengan begitu
cepat seiring dengan terjadinya konvergensi sosial media. Menghadapi
realitas yang begitu cepat dalam media sosial tersebut, sikap reaktif
dan emosional sering dipertontonkan sebagian umat Islam akhir-akhir ini.
Karena umat Islam tidak dibekali dengan budaya kritis dan pemahaman
literasi yang komprehensif, maka mudah sekali terbawa arus informasi
yang diputarbalikkan kebenaran faktanya. Padahal, tidak semua informasi
yang beredar sekarang ini baik untuk dikonsumsi oleh otak kita.
Perlu mengonfirmasinya berkali-kali agar pemahaman atas fakta menjadi
pengetahuan yang utuh dan benar adanya. Jika antarsesama umat tidak
lagi menaruh curiga satu sama lain, toleransi berjalan dengan baik, dan
masing-masing orang berlomba untuk kebaikan, kebangkitan yang autentik
bisa dicapai, meskipun harus diakui realitas ke arah itu memang tidak
mudah.
0 comments:
Post a Comment