Dari Abu Hurairah ra berkata; bersabda Rasulullah saw
“Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap ghanimah (rampasan), membayar zakat dianggap merugikan, beiajar bukan karena agama (untuk meraih tujuan duniawi semata), suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit jerit) di masjid, orang fasig menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhiaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan musik (hiburan berbau maksiat) banyak digemari, minum keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi pertama kaum Muslimin (termasuk para sahabat Nabi saw, tabi’in dan para imam muktabar). Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa,longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang lain seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi).”(HR. Tirmidzi)
“Apabila kekuasaan dianggap keuntungan, amanat dianggap ghanimah (rampasan), membayar zakat dianggap merugikan, beiajar bukan karena agama (untuk meraih tujuan duniawi semata), suami tunduk pada istrinya, durhaka terhadap ibu, menaati kawan yang menyimpang dari kebenaran, membenci ayah, bersuara keras (menjerit jerit) di masjid, orang fasig menjadi pemimpin suatu bangsa, pemimpin diangkat dari golongan yang rendah akhiaknya, orang dihormati karena takut pada kejahatannya, para biduan dan musik (hiburan berbau maksiat) banyak digemari, minum keras/narkoba semakin meluas, umat akhir zaman ini sewenang-wenang mengutuk generasi pertama kaum Muslimin (termasuk para sahabat Nabi saw, tabi’in dan para imam muktabar). Maka hendaklah mereka waspada karena pada saat itu akan terjadi hawa panas, gempa,longsor dan kemusnahan. Kemudian diikuti oleh tanda-tanda (kiamat) yang lain seperti untaian permata yang berjatuhan karena terputus talinya (semua tanda kiamat terjadi).”(HR. Tirmidzi)
KETIKA terjadi bencana alam, paling
tidak ada tiga analisa yang sering diajukan untuk mencari penyebab
terjadinya bencana tersebut. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa
yang dilakukan. Kedua, sebagai ujian dari Tuhan. Ketiga,
Sunnatullahdalamartigejalaalamatauhukum alam yang biasaterjadi. Untuk
kasus Indonesia ketiga analisa tersebut semuanya mempunyai kemungkinan
yang sama besarnya.
Jika bencana dikaitkan dengan dosa-dosa
bangsa ini bisa saja benar, sebab kemaksiatan sudah menjadi kebanggaan
baik di tingkat pemimpin (struktural maupun kultural) maupun sebagian
rakyatnya, perintah atau ajaran agama banyak yang tidak diindahkan,
orang-orang miskin diterlantarkan. Maka ingatlah firman Allah:
“Jika Kami menghendaki menghancurkan
suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah
(berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan daiam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya,” (Al-Isra'[17]: 16).
Apabila dikaitkan dengan ujian, bisa
jadi sebagai ujian kepada bangsa ini, khususnya kaum Muslimin agar
semakin kuat dan teguh keimanannya dan berani untuk menampakkan
identitasnya. Sebagaimana firman Allah:
“Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: Kami telah beriman’,
sedang mereka tidak diujilagi?”( Al-Ankabut [29:2).
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan
gejala alam pun besar kemungkinannya, karena bumi Nusantara memang
berada di bagian bumi yang rawan bencana seperti gempa, tsunami dan
letusan gunung. Bahkan, secara keseluruhan bumi yang ditempati manusia
ini rawan akan terjadinya bencana, sebab hukum alam yang telah
ditetapkan Allah SwT atas bumi ini dengan ber bagai hikmah yang
terkandung di dalamnya. Seperti pergerakan gunung dengan berbagai
konsekuensinya.
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu
kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak
sebagaimana awanbergerak.(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan
kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.( QS. Al-Naml [27]: 88).
Di samping harus tetap bersikap optimis
dan berupaya mengenali hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan atas alam
ini, adalah bijak untuk terus melakukan introspeksi terhadap keseriusan
kita dalam menaati perintah-perintah Allah SwT dan menghitung-hitung
kedurhakaan kita kepada-Nya.Sabda Rasulullah saw yang diriwayat kan Imam
Tirmidzi di atas patut menjadi renungan bagi bangsa ini atas berbagai
bencana yang menimpa secara bertubi tubi.
Jika kita cermati hampir semua penyebab
bencana yang disebut Rasulullah saw dalam Hadits tersebut tengah melanda
bangsa ini. Pertama, masalah kepemimpinan, amanah dan penguasa. Jika
suatu bangsa memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat, baik (shalih),
cakap/cerdas dan kompeten (gawiy) dan amanah (amin), maka kebangkrutan
dan kehancuran sebuah bangsa tinggal menunggu waktu saja. Se bab,
pemimpin seperti itu menganggap kekuasaan bukan sebagai amanah untuk
menciptakan kesejahteraan dan ketentraman bagirakyatnya, tetapi sebagal
sarana dan kesempatan untuk memperkaya diri dan bersenang-senang.
Akibatnya, perilaku korupsi merajalela,
penindasan dan pemiskinan menjadi pemandangan yang lumrah, dan
kebangkrutan moral menjadi hal yang sangat sulit untuk dihindari. Oleh
karena itu, memilih pemimpin atau pejabat harus hatihati dan selektif,
sebab mereka akan memanggul amanah yang sangat berat.
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya; “Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau menjawab,”Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak memenuhi syarat)”. ( H R. Bukhari).
Kedua, orang kaya tidak menunaikan
kewajibannya. Zakat adalah kewajiban minimal bagi orang kaya untuk
peduli kepada orang miskin. Jika kewajiban minimal ini tidak ditunaikan,
maka kegoncangan social tdak bisa ditawar-tawarlagi, karena tindakan
orang miskin yang terampas haknya tidak bisa dipersalahkan. Sehingga
azab Allah menjadi keharusan (Al-Isra': 16). Demikian intisari
istinbathAmirul Mu’minin Umar bin Khathab ra yang didukung Ibnu Hazm
rahimallahu ta’ala.
Ketiga, hilangnya ketulusan dan
kebijakan para ulama dan cendekiawan. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
penguasa dan pengusaha (orang kaya) itu akan menjadi-jadi jika
ulama/cendekiawan sebagai pilar penting suatu bangsa yang bertugas untuk
memberi peringatan dan beroposisi secara loyal terseret ke dalam
kepentingan pragmatis para penguasa dan pengusaha tersebut.
Aktualisasinya bisa berwujud pada
terbitnya fatwa-fatwa pesanan yang tidak memihak orang-orang lemah dan
tertindas serta opini yang menyesatkan dan membingungkan umat sebagai
akibat terialu banyak menerima pemberian yang tidak jelas dan sering
mengemis pada musuh-musuh Islam dan bangsa pada umumnya. Karena
ketulusan telah hilang, para ulama pun menjadi orang yang membuat gaduh
di masjid dengan perdebatan dan berbantahan mengenai hal yang sudah
diputuskan dengan jelas oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pada akhirnya, bukan hanya perintah
Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperhatikan dan disia-siakan. Akan
tetapi para sahabat Rasul dan generasi mereka sesudahnya (ulama dari
kalangan tabi’in dantabi’tabi’in)sebagaigenerasiterbaik umat Muhammad
saw menjadi bahan olok-olok dan ejekan dalam perbincangan mereka dengan
merendahkan dan mencampakkan kezuhudan dan hasil ijtihad mereka yang
cemerlang.
Jika ketiga pilar bangsa penguasa,
pengusaha dan ulama atau cendekiawan sudah tidak menjalankan fungsi yang
semestinya, maka kebangkrutan moral yang lain seperti durhaka pada
orangtua, suami yang manut pada hawa nafsu istrinya, mewabahnya khamr
(narkoba) dan kesenangan pada hiburan yang memancing keliaran syahwat
menjadi pemandangan yang biasa. Pada saatitu”kemarahan” Tuhan dipastikan
tidak bias dihalang-halangi untuk menghancurkan bangsa yang durhaka. [
0 comments:
Post a Comment