Dari
Abdullah bin Amru bin ‘Ash RA, bersabda Rasulullah SAW, ada empat
perkara yang bila terdapat pada diri seorang maka ia munafik tulen. Dan
bila yang ada pada seseorang salah satu dari empat itu, berarti pada
dirinya ada sifat munafik, sampai ia memisahkan diri darinya; jika
berkata- kata ia berdusta, jika berjanji ia berkhianat, jika bersumpah
ia ingkar, jika bertengkar ia curang. (H.R. Bukhori dan Muslim)
Kemunafikan ibarat musuh dalam selimut. Jika kita mau menelaah
lembaran-lembaran sirah Nabawiyah, kita akan menemui banyak kisah dari
sifat munafiq baik dalam keadaan susah maupun lapang. Wajah yang kerap
kali ditutupi dengan topeng yang indah. Ciri khas mereka, bermuka manis
di depan, menatap bengis bila telah berlalu dari
i hadapan.
Ulama’ telah mendefinisikan dengan jelas tentang pengertian munafiq itu sendiri. Dalam syarh hadits ini di Kitab Jami’ Ulum wal Hikam dijelaskan
bahwa makna Nifaq secara bahasa adalah, penipuan, makar dan penampakan
kebaikan serta menyembunyikan hal yang bertentangan dengannya
(keburukan). Hasan Al-Bashri ra mengatakan, “Nifaq adalah bedanya yang
nampak dan yang tersembunyi, yang dikatakan dan amalannya, yang di dalam
dan yang di luar.
Menurut istilah syar’I, munafiq dibagi menjadi dua kriteria. Yang
sering kali kita tidak memahaminya dengan baik. Bahkan, orang yang
dianggap paham dalam ilmu agama pun tak jarang salah dalam
mendefinisikannya. Pembagian yang disebutkan oleh jumhur ulama’ adalah;
- Nifaq Akbar
Kemunafikan jenis inilah yang berbahaya dan fatal akibatnya. Pun,
jenis ini yang menjangkiti Abdullah bin Ubay bin Salul. Indikasi
terjangkit penyakit ini adalah secara dhohir orang ini menampakkan
keimanannya. Bahkan, dalam suatu riwayat diceritakan, orang munafik di
zaman Nabi dahulu memiliki dahi yang lebih hitam dari pada muslimin
lainnya, seakan mereka betul-betul kuat keimanannya. Akan tetapi, dalam
hatinya yang ada hanyalah kebusukan dan kedengkian yang mendalam
terhadap keberhasilan dan kejayaan Islam. Sampai-sampai, yang sudah
mencapai tingkatan akut; mereka menyembunyikan kekufurannya akan ajaran
Islam.
Maka, bagi mereka ancaman dan celaan dalam Al-Qur’an. Balasan yang
dijanjikan bagi mereka adalah neraka di tingkatan yang paling bawah.
Sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan
yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolongpun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Bahkan, jumhur ulama’ berpendapat bahwa siksaan orang munafik tingkat
ini lebih pedih jika dibandingkan dengan orang kafir dikarenakan lebih
besar istihza’nya terhadap Islam (Fathul Bari: 12/496).
- Nifaq Ashghor:
Kemunafikan ini kerap juga disebut sebagai nifaq ‘amali, alias
kemunafikan yang tidak mengkafirkan. Tetapi, orang yang menyandang
ciri-cirinya maka dia sudah dalam proses menuju predikat Nifaq Akbar dan
dianggap melakukan dosa besar atas kemunafikannya.
Seperti apa ciri-cirinya? Imam Abu Isa At-Tirmidzi R.A. menjelaskan,
“Indikasi yang tercantum dalam hadits ini (hadits di atas) adalah
kemunafikan ‘Amaly.” Sebagaimana juga disetujui oleh Imam Nawawi dan
Al-Qurthubi.
Jadi, sebagaimana yang diterangkan olehnya, dalam hadits di atas
disebutkan 4 cirinya. Sedang dalam hadits lain juga disebutkan beberapa
ciri yang lain. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim pada
hadits yang lain,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Ciri orang munafik ada tiga; jika dia berkata berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada prakteknya pembagian Nifaq secara syar’i ini menjadi rancu di
kalangan awam. Kerap kali kita dapati seorang mubaligh yang menjelaskan
tema munafik, menyitir hadits di atas –baik yang mencantumkan 4 ciri
munafik maupun yang 3-. Lalu dalam keterangannya pula, dikatakan bahwa
orang yang memiliki ciri-ciri orang munafik seperti itu, balasannya
adalah sebagaimana tercantum pada surat An-Nisa’: 14. Padahal ayat
tersebut menerangkan balasan bagi orang munafik pada tingkatan nifaq
akbar.
Hal ini kerap terjadi dalam realita keseharian kita. Entah mungkin karena ingin menambah unsur tarhib agar objek dakwah bertambah ngeri
dengan kata munafik, atau karena berbagai alasan lainnya. Akan tetapi,
apapun alasannya hal ini merupakan hal yang salah walau bertujuan untuk
kebaikan. Cara seperti ini layaknya kita jauhi, bagaimana mungkin dakwah
akan menghasilkan sesuatu yang baik, jika hal itu tidak dilakukan
dengan cara yang baik pula.
Indikasi Kemunafikan Ashghor
Pemaparan para ulama’ yang berhubungan dengan kemunafikan ini amatlah
banyak, baik yang disandarkan pada hadits-hadits Nabawiyah, maupun yang
di sandarkan pada dalil Al-Qur’an. Termasuk di dalamnya adalah 2 hadits
riwayat Bukhori dan Muslim di atas.
Mengenai pihak yang mengatakan bahwa dua hadits ini bertentangan,
atau tidak bersesuaian, karena perbedaan jumlah ciri-ciri yang
disebutkan, maka Al-Qurthubi menjawabnya dengan jawaban yang sangat
baik, “Sesungguhnya hal ini dikarenakan bertambahnya pengetahuan Rasul
SAW atas apa yang sebelumnya tidak diketahuinya, ditambahkan pula oleh
Ibnu Hajar, “tidak ada pertentangan dalam 2 hadits tersebut.” (Fathul Bari 1/54)
Mengenai dua hadits ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab menyimpulkan 5 indikasi kemunafikan yang beliau tuangkan dalam Jami’ Ulum wal Hikam,
- Mengabarkan sesuatu yang nampak benar dihadapan orang lain, padahal dia sedang menipu orang tersebut.
Hasan Al-Bashri berpendapat tentang hal ini, “Pondasi yang di atasnya dibangun sebuah kemunafikan adalah kebohongan.”(Sifatul Munafiq: 50)
- Jika berjanji dia mengingkarinyaHal ini menurut Ibnu Rajab, ada dua bentuk pengingkaran. Pertama,
dia berjanji dan tidak ada niatan untuk memuhi janjinya itu tadi. Dan
ini adalah seburuk-buruk pengingkaran. Sedang menurut Al-‘Auza’I,
walaupun dia sebelumnya mengatakan insyaAllahtetapi niatannya mengingkari janji itu, maka sama saja, dia juga berbohong.
Kedua, seseorang berjanji tanpa niatan untuk mengingkarinya. Akan tetapi, ketika sampai pada waktuny untuk menepati janji tersebut, orang tadi menundanya dan tidak menepati janjinya tanpa ada udzur yang memperkanankan dia untuk mengingkari janjinya.
- Jika bermusuhan dia berbuat curang.
Demikian pula Ibnu Rajab, beliau melandaskan pada hadits Rasulullah riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Mas’ud RA,
إيَّاكم والكَذِبَ ، فإنَّ الكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلى النَّارِ
“Janganlah kalian berbohong, karena sesungguhnya kebohongan itu akan menjurus kearah kefujuran dan kefujuran menjurus ke Neraka.”
- Jika dia bersepakat melanggarnya.
Padahal Allah telah memerintahkan untuk menetapi kesepakatan, seperti tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’: 34,
“Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
Dan menetapi kesepakatan ini juga berlaku bagi siapapun. Baik bagi
orang mukmin maupun orang kafir. Sebagimana telah terjadi pada
Perjanjian Hudaibiyah.
- Jika diberi amanah, dia mengkhianatinya.
Padahal dalam syari’at diperintahkan, jikalau kita dipercayai oleh
seseorang untuk mengemban sebuah amanah, maka kita harus
melaksanakannya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (An-Nisa: 58)
Lalu Ibnu Rajab menutup kelima indikasi ini dengan mengembalikannya pada perkataan Hasan Al-Bashri, “Inilah
lima point indikasi kemunafikan ‘amaly, pada dasarnya semua point ini
kembali kepada apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri, ‘Kemunafikan adalah
adanya perbedaan antara yang tersembunyi dan yang nampak, antara yang di
lisan dan yang diamalkan’.”
Padahal kalau kita mau jujur, hal-hal yang tersebut di atas seakan
sudah menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan kita. Artinya, kita
kerap kali melakukan salah satu dari indikasi kemunafikan ini, yang
artinya kita sedang membiasakan diri menjadi pribadi seorang munafik.
Sedangkan Hudzaifah bin Yaman telah berpesan, “Sungguh kalian mudah
untuk megatakan perkataan (yang mengarah kepada kemunafikan) sedangkan
kami amatlah takut mengatakannya.”
Para sahabat sebagai contoh terbaik bagi kita sendiri juga amat
menjauhi sifat-sifat munafik ini. Pernah suatu kala Umar bertanya kepada
Hudzaifah bin Yaman mengenai pribadinya, Umar merasa takut kalau-kalau
di dalam pribadinya ada indikasi yang menunjukkan kemunafikan.
Pada kala lain Umar memperingatkan para sahabat yang lainnya di atas mimbar, “Sesungguhnya
yang paling aku takuti adalah seorang munafiq yang alim, yaitu orang
yang berkata-kata dengan penuh hikmah, akan tetapi perilakunya
menampakkan kemungkaran.”
Sedemikian khawatirnya para sahabat kalau dalam diri mereka terdapat
indikasi yang mengarah kepada kemunafikan. Meskipun nifaq ‘amaly sendiri
tidaklah menjadikan pelakunya kafir, akan tetapi pelakunya dihukumi
seperti pelaku dosa besar. Dan dia bisa disebut muslim munafik. Tidakkah
kita merasa khawatir seperti halnya para sahabat…?
Ustad Muctar Anam Efendi
0 comments:
Post a Comment