Suara dari generasi milenial sangat penting di Pilpres 2019
mendatang. Sebab, kaum muda berusia 15-34 tahun ini, memiliki populasi
yang besar di Indonesia, dengan persentase hingga 34%.
Hal tersebut diungkapkan, Ketua Forum Indonesia Muda Cerdas (FIMC)
Asep Ubaidilah di Jakarta, Sabtu (15/4)."Dalam konteks politik, suara
pemilih milenial dalam Daftar Pemilih Tetap KPU proporsinya sekitar 34 %
dari total 152 juta pemilih dan keberadaannya kerap disebut bakal
menentukan arah politik bangsa Indonesia ke depan," ujar Asep.
Ia melanjutkan, saat ini banyak dipasang calon-calon pemimpin dari
daerah sampai ke pusat mengambil peran dengan figur muda yang
menyesuaikan gaya milenial. Walaupun demikian, Asep melihat generasi
milenial pasti selalu mendukung calon yang berasal dari generasi mereka.
Ada beberapa faktor, kata dia, terkait kapabilitas dan kecenderungan
untuk lebih memilih incumbent yang berprestasi, serta tidak peduli
berapapun usia calon pemimpin yang harus dipilih. Kemudian, dalam
konteks perilaku pemilih, kelompok milenial tergolong jenis pemilih
rasional atau kritis.
Akan tetapi, berkenaan dengan Pilpres 2019 nanti, pola pikir kelompok
milenial terkait partisipasi dalam menentukan pilihan dapat saja bisa
berubah dan tidak hanya bersikap apatis. "Kita sangat optimis, sebagai
contoh untuk provinsi DKI Jakarta saja sebanyak 44,78 persen lebih dari
sekitar 7,4 juta penduduk DKI yang berkemungkinan memilih ada dalam
kategori generasi milenial," kata dia.
Lebih lanjut, Asep menyebut ada 3 kelompok partisipasi politik
generasi milenial. Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang alergi
terhadap politik bahkan menarik diri dari proses politik yang ada.
Biasanya kelompok seperti ini kurang mengakses informasi dan terkesan
terlalu eksklusif.
Kedua, kelompok spektator yakni mereka yang kurang tertarik dengan
politik tetapi terkadang masih kerap menggunakan hak pilihnya.
Ketiga, kelompok gladiator yaitu generasi milenial yang sangat aktif
di dalam politik seperti aktivis partai, aktivis organisasi dan milenial
yang aktif sebagai pekerja kampanye.
Jika merujuk hal diatas, pemilih milenial memang cenderung masuk pada
kelompok apatis. Namun demikian, apatisme pemilih milenial disini
bukanlah apatis yang buta dan skeptis pemikiran. "Pemilih milenial lebih
tepat disebut sebagai kelompok 'apatis yang kritis'. Mereka lebih suka
berpartisipasi dalam bentuk non-konvensional, karena bagi mereka makna
partisipasi politik tidak hanya dalam arena pemilu," jelas Asep.
Ia mengatakan, generasi milenial tidak serta merta menggunakan hak
pilihnya terhadap calon pemimpin yang sesuai dengan generasinya.
0 comments:
Post a Comment